Politik Anak Muda, Mau Kemana?
Antusiasme pemilih muda terhadap Pemilu 2024 lumayan tinggi, namun kebimbangan masih menyelimuti mereka. Apa yang harus dilakukan anak muda menghadapi kontestasi pemilu?
Salah satu narasi yang kerap kita dengar bahwa pemilihan umum 2024 akan didominasi oleh pemilih muda. Namun apakah kelompok pemilih ini akan menjadi faktor penentu sebuah perubahan politik akan terjadi? Ada kecenderungan kelompok pemilih muda ini justru berada di persimpangan.
Sinkronisasi data yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum antara data pemilih berkelanjutan dengan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) per 11 Februari 2023 mencatat, jumlah pemilih mula dan muda tercatat total mencapai 117 juta pemilih atau setara dengan 57,3 persen dari total pemilih.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Di atas kertas, jumlah ini semestinya menjadi penentu kemana arah politik dari hasil pemilu nanti. Namun, sejumlah gejala yang ada menunjukkan, sikap politik pemilih dari kelompok ini juga tidak jauh berbeda pilihan politiknya dengan kelompok pemilih yang secara usia di atas mereka.
Dari pilihan presiden, misalnya, nama-nama yang selama ini beredar, seperti halnya hasil survei Kompas per Januari 2023, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil adalah empat nama teratas yang banyak disebutkan sebagai tokoh yang difavoritkan menjadi pilihan presiden.
Hal yang sama juga terjadi pada pilihan-pilihan partai politik. Pendek kata, secara pilihan politik tidak ada kekhususan yang bisa dilihat dari kelompok pemilih muda ini.
Selain isu elektoral, anak-anak muda cenderung apolitis. Gejala ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pada pertengahan Agustus 2022 lalu. Lima dari 10 responden muda jarang mengikuti pemberitaan politik, bahkan tidak sedikit yang mengaku tidak pernah sama sekali.
Hanya seperempat responden yang mengikuti isu politik nasional maupun lokal, sebanyak 16 persen di antaranya menyebut sering dan 9,4 persen menyebut selalu mengikuti.
Sementara itu sebanyak empat dari 10 responden muda mengaku jarang turut serta dalam diskusi atau perdebatan politik di media sosial. Dalam proporsi yang serupa, mereka bahkan tidak pernah mengikuti sama sekali. Hanya 21,7 persen yang mengaku terlibat dalam diskusi daring dengan intensitas tinggi dan sedang (Kompas, 9/9/2022).
Lima dari 10 responden muda jarang mengikuti pemberitaan politik, bahkan tidak sedikit yang mengaku tidak pernah sama sekali
Survei Kompas juga merekam bagaimana minat pemilih mula, sebagai bagian dari kelompok pemilih muda, sebagian besar lebih tertarik menikmati konten-konten hiburan dibandingkan informasi maupun pemberitaan. Hal ini terutama dilakukan ketika mereka mengakses sosial media.
Sebanyak 33,1 persen responden dari kelompok pemilih mula mengaku lebih banyak menonton hiburan dibandingkan pemberitaan. Sementara sebanyak 44,6 persen lainnya mengaku hanya menikmati konten hiburan. Hal ini menjadi gambaran bagaimana isu-isu pemberitaan, termasuk terkait politik, tidak memiliki daya tarik dan kemudian menjadi pilihan bagi pemilih-pemilih muda dan mula ini.
Baca juga : Survei Litbang “Kompas”: Ganjar dan Ridwan Surplus Dukungan Pemilih Mula
Antusiasme
Meskipun demikian, antusiasme pemilih muda dan mula untuk menggunakan hak pilih di pemilu tetap terjaga. Setidaknya sejumlah hasil survei Kompas merekam, lebih dari 80 persen pemilih muda berniat akan menggunakan hak pilihnya di pemilu nanti.
Hal ini semakin terkonfirmasi dari survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2022 yang khusus dilakukan terhadap responden anak muda.
Survei CSIS yang khusus anak muda ini merekam adanya tren angka partisipasi pemilih muda. Dari responden pemilih muda dalam survei CSIS ini menunjukkan angka yang relatif tinggi. Sebanyak 85,9 persen mengaku ikut serta memilih dalam pemilu 2014. Angka tersebut meningkat di tahun 2019 menjadi 91,3 persen.
Dalam laporannya, CSIS mencatat, partisipasi politik untuk memilih di antara pemilih muda memiliki potensi untuk menjadi penggerak utama partisipasi pemilih dalam pemilu, terutama ketika jumlah mereka semakin dominan. Hal ini terutama jika dibandingkan dengan angka riil partisipasi pemilih KPU secara keseluruhan.
Data KPU menyebutkan, angka partisipasi pemilih di Pemilu Presiden 2014 dan 2019 sebesar 69,6 persen dan 81,9 persen. Sementara itu tingkat partisipasi pemilih untuk Pemilu Legislatif berada di angka 75,11 persen dan 81,69 persen.
Baca juga : Preferensi Politik Gen Z Makin Terbaca
Komitmen demokrasi
Survei CSIS yang khusus dilakukan terhadap populasi pemilih muda ini juga merekam bagaimana komitmen anak-anak muda terhadap demokrasi. Secara umum komitmen generasi muda di Indonesia pada demokrasi masih terbilang tinggi, meskipun mengalami sedikit penurunan dibandingkan data di survei sebelumnya.
Mayoritas responden dalam survei CSIS memaknai demokrasi sebagai sistem politik yang lebih baik ketimbang sistem lainnya. Meskipun demikian, ada tren penurunan persepsi ini jika dibandingkan survei tahun 2018. Di tahun 2018 angkanya mencapai 68,5 persen, namun di survei 2022 ini menjadi 63,8 persen.
Sikap yang menghormati dan mendukung demokrasi ini tidak lepas dari karakter dari pemilih muda, terutama mereka yang berasal dari Gen Z, yang cenderung sangat akomodatif terhadap perbedaan.
Mengutip ulasan Pengajar Departemen Studi Pembangunan FDKBD ITS Sonny Harry B Harmadi di Harian Kompas 28 Desember 2022, Gen Z sudah terbiasa dengan perbedaan karena mereka dilahirkan dari orangtua yang mengalami mobilitas penduduk antar-daerah/negara yang sudah tinggi.
Tidak heran jika kemudian, Sonny menulis banyak gen Z yang memiliki orangtua berbeda latar belakang sosial-budaya. Kondisi ini yang kemudian membentuk sikap mereka yang cenderung lebih menerima perbedaan, sesuatu yang menjadi keniscayaan bagi demokrasi.
Namun, gen Z memang cenderung belum memiliki ikatan politik apapun ketika dikaitkan dengan kontestasi elektoral. Meskipun arah pilihan mereka, seperti yang disebutkan di awal berdasarkan survei Kompas, kemantapan pilihan mereka relatif masih belum kokoh. Porsi pemilih muda dari kelompok pemilih bimbang ini relatif besar.
Pemilih bimbang sendiri dimaknai tidak saja mereka yang sudah memutuskan namun belum yakin dengan pilihannya, namun juga termasuk mereka yang benar-benar belum memutuskan kepada siapa pilihan politik akan diberikan di Pemilu 2024 nanti.
Dari total responden survei Kompas yang mengaku pilihan politiknya masih bisa berubah, meskipun saat disurvei sudah ada pilihan, khususnya terhadap sosok calon presiden, sebanyak 32,8 persennya atau sepertiga lebih disumbang dari kelompok responden gen Z ini.
Hal ini makin menegaskan, di satu sisi komitmen terhadap demokrasi relatif tinggi, antusiasme menggunakan hak pilih di pemilu nanti juga tinggi, namun sikap apolitis juga melekat dari diri pemilih muda ini.
Seperti yang disebutkan di awal tulisan, kelompok ini lebih banyak menggunakan sosial media, namun tidak begitu intensif mengkonsumsi isu-isu politik. Arah politik pemilih muda memang berkomitmen pada penguatan demokrasi, namun mereka tetap membutuhkan panduan kemana jalan menuju demokrasi ini harus dilalui.
Kontestan pemilu, terutama partai politik, semestinya menjadikan kesempatan ini sebagai peluang untuk melakukan pendidikan politik kepada publik, terutama kepada anak-anak muda. Dengan jumlah yang relatif besar, pemilih muda bisa berperang sebagai aktor perubahan dan pemengaruh bagi tumbuh kembangnya demokrasi di negeri ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Survei Litbang ”Kompas”: Membaca Arah Pilihan Gen Z di Pemilu 2024