Jalan Panjang Mewujudkan Karbon Netral di Indonesia
Pemerintah menjalin kemitraan dengan negara International Partners Group (IPG) untuk skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP). Kerja sama ini bertujuan mempercepat dekarbonisasi di Indonesia.
Oleh
Budiawan Sidik A
·5 menit baca
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Paiton Energy membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk mendukung penyediaan sumber energi terbarukan. Perusahaan membangun PLTS dari stasiun photovoltaic (PV) untuk keperluan konsumsi sendiri dengan total kapasitas terpasang 1.013 kW dengan sistem tenaga surya on-grid. Proyek PLTS ini dipasang di area pembangkit Paiton (689KW), atap gedung administrasi (65KW), dan atap balai rekreasi di perumahan Paiton (289KW). Listrik yang dihasilkan ini juga digunakan untuk mengisi daya bus listrik yang berfungsi sebagai transportasi karyawan sehari-hari. Hal itu dilakukan untuk menekan penggunaan batubara.
Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025 nanti. Namun, hingga kini realisasi mix renewable energy itu masih sebesar 12,3 persen. Dalam tempo dua tahun ke depan, pemerintah dituntut akseleratif mewujudkan target jangka pendek itu agar tahapan jangka menengah dan panjang berikutnya dalam meraih karbon netral 2060 dapat tercapai.
Energi menjadi sektor yang sangat penting untuk segera direduksi emisi karbonnya karena sektor ini diproyeksikan akan menyumbang polusi gas rumah kaca (GRK) terbesar pada tahun 2030 nanti. Dari berbagai sumber penghasil energi, pembangkit listrik merupakan kontributor emisi karbon terbesar saat ini. Pasalnya, sekitar 50 persen pembangkit listrik Indonesia bersumber dari energi fosil batubara.
Menurut World Nuclear Association, batubara merupakan sumber polutan GRK terbesar dari berbagai sumber pembangkit energi yang ada di dunia saat ini. Untuk memproduksi 1 kWh listrik dari PLTU batubara akan dihasilkan emisi karbon sekitar 820 gram CO2. Tingginya emisi karbon ini membuat komoditas batubara tersebut akan mendominasi emisi GRK kelompok bahan bakar di Indonesia hingga beberapa tahun ke depan.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) Tahun 2021-2030, emisi GRK batubara meningkat pesat pada kurun waktu 10 tahun ke depan. Pada tahun 2021, emisi karbon batubara sekitar 230 juta ton CO2 atau menyumbang sekitar 87 persen dari seluruh emisi GRK kelompok bahan bakar. Besaran polusi tersebut terus meningkat secara bertahap sehingga pada tahun 2030 diperkirakan kontribusi emisi GRK-nya mencapai 314 juta ton CO2 atau menguasi hampir 90 persen emisi karbon bahan bakar.
Proyeksi tersebut selanjutnya disikapi pemerintah dengan merancang sejumlah kebijakan untuk mereduksi emisi karbon di sektor pembangkitan energi. Pada kurun 2021-2030, pemerintah mengimplementasikan ”green RUPTL” sebagai landasan mencapai emisi karbon netral Indonesia 2060. Pada rentang satu dekade ke depan, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik baru hingga sebesar 40,6 GigaWatt (GW) dengan mengedepankan prinsip ramah lingkungan. Dari 40,6 GW itu, sebesar 51,6 persennya merupakan sumber pembangkit energi baru terbarukan (EBT). Pembangkit listrik EBT yang akan dioptimalkan dalam kurun satu dekade ini mayoritas bersumber pada tenaga air (PLTA), panas bumi (PLTB), tenaga surya (PLTS), dan aneka EBT lainnya.
Selain mengakselerasi peningkatan sumber pembangkitan EBT itu, pemerintah juga berencana mengurangi sejumlah sumber pembangkit dari energi fosil. Di antaranya, merencanakan pensiun sejumlah PLTU batubara hingga sebesar 1,1 GW dan penggantian beberapa pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan tenaga gas (PLTG) yang sudah menua hingga sebesar 3,6 GW.
Apabila rencana tersebut terwujud, kapasitas pembangkit listrik yang terpasang pada tahun 2030 nanti akan mengalami perubahan kontribusi. Diperkirakan, sumbangan pembangkit energi dari fosil yang pada tahun 2021 mencapai 87 persen menyusut menjadi sekitar 71 persen pada tahun 2030. Kontribusi sumber pembangkitan EBT melonjak relatif signifikan dalam kurun 10 tahun dari sekitar 13 persen menjadi 29 persen. Diproyeksikan sumber EBT pada tahun 2030 nanti sekitar 15 persen berasal dari PLTA, 6 persen PLTB, 5 persen PLTS, dan aneka EBT lainnya sekitar 3 persen.
Proyeksi jangka panjang
Proyeksi jangka pendek-menengah pada kurun 2021-2030 itu menjadi acuan penting untuk memasuki tahapan rencana berikutnya dalam jangka panjang rentang 2030-2060. Dalam jangka pendek-menengah, sejumlah rencana pemerintah untuk melakukan sejumlah tahapan transisi harus dimaksimalkan tingkat capaian keberhasilannya. Program pensiun dini PLTU batubara, dedieselisasi sejumlah PLTD, biomassa co-firing batubara, serta pengembangan PLTG pada kurun 2021-2030 sangat penting keberhasilannya guna menyukseskan tahapan berikutnya.
Dengan maksimalnya capaian jangka pendek-menengah itu, pemerintah dapat semakin fokus untuk mengembangkan sejumlah rencana jangka panjang. Misalnya saja, terkait pengembangan pembangkitan EBT yang menyertakan teknik penyimpanan baterai serta membangun jaringan interkoneksi smart grid. Selain itu, pemerintah juga dapat kian intensif mendorong penggunaan teknologi carbon capture utilization and storage (CCUS) pada sejumlah PLTU batubara dan sekaligus melakukan terminasi PLTU yang tidak efisien. Pemerintah juga dapat mengakselerasi pengembangan energi yang sangat ramah lingkungan berbasis hidrogen.
Berbagai rencana tersebut juga disertasi sejumlah program yang harapannya dapat mengubah gaya hidup masyarakat yang saat ini sangat bergantung pada energi fosil. Dalam jangka panjang, pemerintah berupaya mendorong masyarakat untuk mulai secara bertahap menggunakan kendaraan berbasis energi listrik. Mulai tahun ini, pemerintah membuat skenario subsidi kendaraan listrik agar masyarakat tertarik untuk beralih pada kendaraan yang ramah lingkungan itu.
Pemerintah juga berupaya menciptakan kebijakan energi yang bersifat jasa agar masyarakat mau turut serta memproduksi energi ramah lingkungan yang dapat diperjualbelikan. Salah satunya dengan mekanisme transaksi ekspor energi dari PLTS atap yang diproduksi kelompok rumah tangga. Dengan mekanisme ini, akan terjadi jual-beli energi dari masyarakat kepada PT PLN sehingga kedua belah pihak mendapatkan benefit. Rumah tangga dapat menghemat biaya energi listriknya dan PLN dapat meningkatkan bauran EBT dari PLTS secara signifikan tanpa harus mengeluarkan biaya investasi yang sangat besar. Setidaknya menghemat biaya penyediaan panel surya dan juga sewa lahan untuk pemasangan instalasi PLTS atap tersebut.
Untuk mengakselerasi berbagai rencana jangka pendek hingga panjang tersebut, pemerintah juga berupaya menggandeng sejumlah pihak untuk mendukung sejumlah skenario transisi energi itu. Bahkan, pemerintah juga berkolaborasi dengan sejumlah negara asing agar program-program transisi energi di Indonesia dapat segera mendapat pendanaan. Salah satu langkah yang sudah ditempuh pemerintah terkait hal ini adalah menjalin kemitraan pendanaan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership atau JETP) dengan sejumlah negara kaya.
JETP ini diluncurkan pada acara KTT G20 di Bali pada November 2022 lalu. Presiden Joko Widodo bersama Presiden Amerika Serikat Joe Biden beserta para pemimpin negara International Partners Group (IPG) meluncurkan perjanjian internasional skema pendanaan JETP senilai 20 miliar dollar AS. Pendanaan setara sekitar Rp 300 triliun ini berasal dari investasi publik dan swasta dalam bentuk hibah dan pinjaman bunga rendah yang berasal dari negara-negara partner internasional. IPG ini terdiri dari AS dan Jepang sebagai ketuanya dan beranggotakan sejumlah negara, seperti Kanada, Denmark, Uni Eropa, Perancis, Jerman, Italia, Norwegia, dan Inggris.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (kanan) bersama staf khusus bidang iklim Kemeterian Keuangan Amerika Serikat (AS) John Morton melakukan konferensi pers di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) di Nusa Dua, Bali, Selasa (15/11/2022). Pemerintah mengumumkan hasil kerja sama pemerintah Indonesia dengan AS dan Jepang terkait pendanaan transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Nilai komitmen awal pendanaan yang disepakati adalah 20 miliar dollar AS untuk melakukan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
Dengan program kemitraan JETP itu diharapakan Indonesia dapat mempercepat dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dengan capaian sejumlah target cukup ambisius. Salah satunya adalah target meraih puncak emisi karbon sektor ketenagalistrikan yang diproyeksikan terjadi tahun 2030 dapat lebih dipercepat estimasi waktunya. Selain itu, net zero emissions sektor ketenagalistrikan yang diperkirakan terjadi pada tahun 2060 juga dapat dipercepat satu dekade lebih awal pada tahun 2050. Pada tahun 2030 nanti, sumber pembangkit EBT setidaknya sudah mencapai 34 persen dengan program kemitraan JETP itu.
Program JETP Indonesia tersebut merupakan bentuk skema kemitraan pendanaan yang telah diluncurkan kedua di dunia setelah Afrika Selatan. Harapannya, dengan skema ini berbagai skenario Pemerintah Indonesia dalam jangka pendek, menengah, dan panjang dalam menuju karbon netral 2060 dapat tercapai secara maksimal.
Menurut proyeksi PT PLN, emisi karbon di Indonesia dari sektor pembangkit listrik akan mencapai titik tertinggi pada tahun 2030 dengan besaran emisi GRK sebesar 335 juta ton CO2. Setelah itu, secara bertahap emisi karbon menyusut perlahan-lahan sekitar 40 juta ton per lima tahun. Penyusutan terbesar terjadi pada kurun 2050-2060 dengan estimasi penyusutan sekitar 112 juta ton per lima tahun sehingga pada tahun 2060 nanti Indonesia sudah mencapai zero emisi karbon.
Tentu saja, dengan kemitraan JETP yang diluncurkan oleh Indonesia bersama dengan negara-negara mitra IPG tersebut harapannya skenario penyusutan emisi karbon Indonesia dapat berjalan lebih akseleratif lagi. Oleh karena itu, untuk kian memaksimalkan sejumlah rencana reduksi emisi karbon sudah sepantasnya pemerintah melibatkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya dekarbonisasi. Pemberian insentif dan juga benefit bagi masyarakat yang turut menggunaan energi ramah lingkungan sangat besar dampaknya dalam mendukung akselerasi pencapaian karbon netral nasional. (LITBANG KOMPAS)