Optimisme Pencapaian Bauran Energi Baru Terbarukan
Pemerintah optimis mampu mencapai bauran energi baru terbarukan atau EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025. Perlu akselerasi kebijakan agar semua sumber energi baru terbarukan dapat lebih masif lagi dikembangkan.

Pencapaian bauran energi baru terbarukan atau EBT yang masih relatif jauh dari target yang direncanakan, ternyata tidak menyurutkan semangat pemerintah untuk tetap merealisasikannya.
Target bauran EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025 optimis dapat tercapai dengan sejumlah skenario yang sudah direncanakan. Waktu tersisa sekitar 4 tahun ini masih sangat memungkinkan untuk mengejar ketertinggalan bauran EBT yang sekarang ini hanya berkisar 11-an persen.
Keyakinan tersebut disampaikan oleh Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka EBT, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM pada pertengahan Desember ini.
“Kami optimis pada tahun 2025 target EBT sebesar 23 persen dapat terealisasi. Ada sejumlah skenario yang sudah kami persiapkan. Salah satunya dengan melaksanakan “green RUPTL” sebagai landasan untuk mencapai zero carbon 2060”, tuturnya.

Chisnawan juga mengatakan, “Green RUPTL” dalam rentang 2021-2030 ini akan didominasi oleh pembangkit yang bersumber dari EBT. Total penambahan kapasitas baru pada kurun 2021-2030 mencapai kisaran 40,6 GW. Sekitar 51,6 persen atau 20,9 GW berasal dari porsi EBT.
Dominasi EBT itulah yang menjadikan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang diskenariokan semakin bernuansa “green” atau ramah lingkungan.
Semakin besar porsi penambahan kapasitas pembangkit dari EBT maka peluang untuk meraih sasaran bauran EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025 semakin terbuka lebar.
Selain itu, mendorong transisi sumber energi dari fosil menuju EBT secara bertahap. Dominasi sumber pembangkitan yang saat ini sekitar 87 persen berasal dari fosil secara perlahan menyurut seiring dengan penguatan sumber pembangkitan EBT.

Manajer Unit Layanan PLTA Musi, Martin Wahyunus, menunjukan sejumlah tombol pengendali unit pembangkit di ruangan Power House PLTA Musi yang berada di bawah tanah Desa Susup, Kecamatan Merigi Sakti, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu, Selasa (28/9/2021). PLTA yang beroperasi sejak 2006 ini merupakan penyumbang terbesar bauran energi baru terbarukan (EBT) di wilayah Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (UIKSBS) dengan daya terpasang 210 MW atau sekitar 29 persen dari total EBT di UIKSBS.
Pada kurun satu dekade ke depan, ada sejumlah sumber pembangkitan EBT yang direncanakan akan mengalami penambahan yang cukup pesat. Setidaknya ada tiga macam, yakni pembangkit hidro, solar PV (PLTS), dan panas bumi.
Ketiga sumber pembangkitan ini diperkirakan masing-masing akan meningkat kapasitasnya lebih dari 8 persen dari kapasitas sekarang. Bahkan, untuk pembangkit hidro (PLTA) kapasitasnya akan bertambah hingga 26 persen hingga tahun 2030 nanti.
Secara akumulatif pembangkitan EBT akan meningkat pesat. Apabila saat ini sumber elektrifikasi dari EBT kurang dari 13-an persen, nanti pada tahun 2030 diperkirakan produksi listriknya secara nasional mencapai 29 persen.
Di saat bersamaan, kontribusi pembangkitan dari fosil secara nasional diperkirakan akan menyusut secara bertahap. Pembangkit dari batubara susut dari 50 persen menjadi 45 persen.

Energi Baru Terbarukan (EBT) Jenis EBT Tahun 2020, dan Target EBT Per Sumber Pembangkit Target Bauran Eenergi Nasional 2025.
Pembangkit dari gas menyusut drastis lebih dari 10 persen, yakni dari 37 persen menjadi 26 persen. Penyusutan pembangkit dari fosil ini disertai dengan peningkatan elektrifikasi dari sejumlah sumber EBT.
Pada tahun 2030 nanti diperkirakan pembangkitan dari hidro kontribusinya mencapai 15 persen, panas bumi 6 persen, PLTS 5 persen, dan EBT lainnya sekitar 3 persen.
Hal ini tentu saja menjadi gambaran yang cukup optimis bagi negeri ini bahwa rencana transisi energi menuju ramah lingkungan setidaknya mulai terdeskripsikan relatif baik. Ada harapan besar apabila target “green RUPTL” ini dapat tercapai maka sasaran menuju zero emission pada tahun 2060 juga dapat semakin didekati.
Baca juga : Kemandirian Energi Melalui Hilirisasi Batubara
Pembiayaan EBT
Berdasarkan rencana pengembangan “Green RUPLT” pada kurun 2021-2030, pemerintah memprioritaskan pihak swasta dalam pembangunan pembangkitan baru dari EBT.
Peranan pemerintah cenderung lebih sedikit dan minim. Terbukanya peluang yang besar bagi pihak swasta ini memiliki sejumlah kelebihan. Di antaranya, dapat menciptakan peluang investasi baru yang menguntungkan bagi investor serta mengaplikasikan teknologi yang andal, efisien, dan memiliki daya saing yang tinggi dengan jenis teknologi serupa lainnya.
Singkatnya, menjadi ruang pemasaran bagi sebuah industrialisasi teknologi energi. Selain itu, dengan semakin banyak investor EBT atau independen power producer (IPP) yang masuk maka peluang untuk transisi energi dapat terakselerasi dengan cepat.

Turbin PLTB Tolo’ di Kecamatan Binamu, Jeneponto, Sulawesi Selatan, mengapit matahari yang akan tenggelam, Rabu (13/10/221). Pembangkit ini dibangun hampir bersamaan dengan PLTB Sidrap. Keberadaan PLTB Jeneponto menambah persentase bauran EBT di sistem kelistrikan Sulbagsel.
Hanya saja, selain memiliki sisi kelebihan, membuka peluang keterlibatan swasta juga berpotensi memiliki kelemahan. Salah satunya adalah kepastian tentang keuntungan.
Tanpa menghasilkan profit yang jelas, maka kecil kemungkinan pihak swasta mau untuk berinvestasi. Hal ini harus menjadi kajian yang harus didalami oleh pemerintah agar skenario yang sudah direncanakan dapat terealisasi secara baik.
Pemerintah harus mampu menciptakan keyakinan kepada investor bahwa investasi yang ditanamakan akan memperoleh kepastian tentang keuntungan. Hal ini menjadi sesuatu yang penting karena pengembangan EBT memerlukan investasi yang besar sehingga akan mendorong harga jual produk ke konsumen juga semakin mahal.
PT PLN sebagai pembeli tunggal semua produksi energi listrik dari IPP akan berhitung dan bernegosiasi untuk mencari nilai yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Investor akan untung apabila dilakukan skema feed in tariff.

Seorang manajer Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkitan dan stafnya mengamati aliran Sungai Musi di bendungan PLTA Musi, Desa Ujan Mas Atas, Kecamatan Ujan Mas, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, Senin (27/9/2021). PLTA yang beroperasi sejak 2006 ini merupakan penyumbang terbesar bauran energi baru terbarukan (EBT) di wilayah Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (UIKSBS) dengan daya terpasang 210 MW atau sekitar 29 persen dari total EBT di UIKSBS.
Sebaliknya, bagi PLN akan semakin untung apabila dapat membeli dengan harga yang memiliki keekonomian yang relatif rendah mendekati nilai keekonomian pembangkitan dari batubara. Pada titik inilah yang sering kali membuat sebagian besar investor mundur karena investasi yang ditanamkan akan cenderung merugi.
Oleh sebab itu, pemerintah saat ini sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang EBT. Salah satu isinya tentang pembelian energi listrik yang berbasis EBT oleh PT PLN.
Harga jual produk EBT memiliki keekonomian yang tinggi sehingga akan mendorong peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN sehingga perlu insentif dari pemerintah agar PLN tidak merugi.
Aturan ini secara tidak langsung juga menuntut kesiapan keuangan pemerintah pusat untuk menutup “celah” keterbatasan kemampuan PT PLN ketika dihadapkan pada BPP EBT yang tinggi.

Grafis bauran energi pada pembangkit listrik PLN sampai triwulan III-2018.
Oleh sebab itu, dengan adanya rencana pengesahan Peraturan Presiden tentang EBT tersebut merupakan suatu langkah yang baik guna menarik minat investor di sektor EBT.
Dengan adanya payung hukum itu, maka PT PLN dapat membeli listrik dari IPP dengan sejumlah mekanisme. Harga feed in tariff; harga patokan tertinggi; dan/atau harga kesepakatan dengan atau tanpa memperhitungkan faktor lokasi. Apabila hal ini terwujud maka peluang untuk menarik hadirnya investor EBT akan semakin besar karena skema itu menjanjikan keuntungan.
Memang, pada masa-masa awal pengembangan pembangkitan EBT mungkin akan cenderung membutuhkan biaya yang relatif mahal. Namun, seiring waktu dengan semakin berkembangnya teknologi dan masifnya produksi pembangkitan energi dari EBT di suatu negara atau wilayah maka bukan tidak mungkin biaya yang dikeluarkan juga semakin menurun dan kompetitif.
Jadi, suatu saat nanti tidak mustahil harga produksi energi dari EBT akan kompetitif dengan harga energi dari pembangkitan fosil. Oleh sebab itu, pemerintah jangan ragu untuk segera mengesahkan aturan terkait skema feed in tariff itu karena akan menguntungkan kedua belah pihak.

Air bekas penggunaan unit pembangkit PLTA Musi mengalir ke Sungai Simpang Aur di Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu, Selasa (28/9/2021). PLTA yang beroperasi sejak 2006 ini merupakan penyumbang terbesar bauran energi baru terbarukan (EBT) di wilayah Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (UIKSBS) dengan daya terpasang 210 MW atau sekitar 29 persen dari total EBT di UIKSBS.
Investor dapat segera balik modal dan meraih keuntungan. PLN atau pemerintah dapat memperolah akselesari bauran energi lebih cepat dan peluang harga beli dari IPP yang murah di masa mendatang.
Hingga akhir Desember 2021 ini rencana penambahan pembangkit EBT pada kurun 2021-2030 sebesar 20.923 MW baru terealisasi sebesar 384 MW atau masih kurang dari 2 persen.
Pencapaian yang relatif masih minim ini perlu diakselerasi secepat mungkin. Salah satu harapannya adalah dengan pengesahan Rancangan Peraturan Presiden tentang EBT.
Dengan adanya payung hukum ini maka skenario “Green RUPTL” dapat segera terealisasi secara akseleratif. Target untuk dapat meraih bauran EBT sebesar 23 persen yang bersisa 4 tahun lagi dapat terwujud.
Potensi EBT yang ada di Indonesia masih sangat kecil sekali pemanfaatannya. Padahal, Indonesia memiliki potensi energi dari surya, hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, dan laut.
Berbagai kebijakan untuk mengakselerasi bauran energi EBT memang sangat diperlukan di Indonesia. Selain untuk mendukung mitigasi reduksi emisi menuju nol, juga untuk mengoptimalkan potensi EBT yang ada di Indonesia.
Potensi EBT yang ada di Indonesia masih sangat kecil sekali pemanfaatannya. Padahal, Indonesia memiliki potensi energi dari surya, hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, dan laut mencapai kisaran 3.686 GW.
Hingga saat ini, baru sekitar 10.889 MW atau kurang dari 1 persen yang sudah terwujud menjadi sumber energi yang ramah lingkungan. Jadi, perlu akselerasi kebijakan agar semua sumber energi baru terbarukan dapat lebih masif lagi dikembangkan oleh para investor. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Pertahankan Sumber Daya di Natuna