Kemandirian Energi Melalui Hilirisasi Batubara
Hilirisasi batubara menjadi salah satu solusi mengurangi ketergantungan Indonesia pada produk elpiji. Langkah ini sekaligus untuk menuju kemandirian energi bangsa. Mampukah Indonesia dengan segala kendalanya?
Hilirisasi batubara menjadi salah satu solusi untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada produk elpiji atau LPG yang kian membesar. Rencana pemerintah untuk mengkonversi LPG menjadi Dimethyl Ether atau DME pada tahun 2035 merupakan terobosan kebijakan sektor energi yang memiliki sejumlah keunggulan.
Mengurangi ketergantungan impor, berpeluang mengurangi subsidi negara, serta meningkatkan Domestic Market Obligation atau DMO batubara. Hilirisasi batubara berpeluang besar meningkatkan kemandirian energi, khususnya pengganti LPG.
Kesuksesan program konversi minyak tanah ke LPG 3 kilogram (kg) yang dimulai sejak tahun 2007 pada akhirnya harus ditinjau kembali dan direncanakan akan dikonversi ke jenis energi yang lain lagi pada masa mendatang.
Dampak kebijakan konversi minyak tanah ke LPG mendorong konsumsi LPG terus meningkat, sedangkan di sisi lainnya produksi LPG di dalam negeri terus menurun.
Akibatnya, ketergantungan impor LPG Indonesia dari asing semakin besar, sehingga berpotensi memperparah kondisi neraca perdagangan internasional sektor migas yang rentan defisit.
Pada tahun 2014-2019, produksi LPG dari kilang dalam negeri rata-rata hanya sebesar 2,16 juta metrik ton (MT) setahun. Angka produksi ini cenderung terus menurun sekitar 3 persen atau 80 ribuan metrik ton (MT) setahun, sehingga produksi LPG pada tahun 2019 susut menjadi sekitar 1,96 juta MT.
Sebaliknya, dari sisi permintaan angkanya terpaut sangat jauh dari sisi suplainya, yakni rata-rata setahun membutuhkan hampir 7 juta MT. Bahkan, konsumsi ini terus meningkat sekitar 5 persen atau 300 ribuan MT setahun sehingga total permintaan LPG pada tahun 2019 mencapi 7,76 juta MT.
Untuk memenuhi tingginya permintaan tersebut pemerintah mengimpor LPG dari sejumlah negara. Dengan jumlah permintaan yang terus meningkat maka besarnya presentase impor juga semakin membesar.
Pada tahun 2014-2019, presentase impor LPG terhadap produksi dalam negeri rata-rata hampir mencapai 70 persen. Bahkan, besaran ini rata-rata terus naik sekitar 3 persen setahun sehingga pada tahun 2019 persentase impor LPG mencapai 73 persen. Besaran ini diperkirakan akan terus bertambah lagi di masa mendatang, sehingga berpotensi besar semakin membebani anggaran negara
Salah satu bentuk tekanan besar pada keuangan negara adalah subsidi energi untuk LPG 3 kg. Pada tahun 2014-2019, rata-rata sekitar 87 persen LPG di Indonesia dikonsumsi dalam bentuk tabung gas 3 kg.
Akibatnya, subsidi untuk elpiji ini juga terus meningkat seiring dengan bertambahnya konsumsi LPG 3 kg. Rata-rata subsidi untuk LPG 3 kg meningkat sekitar 34 persen atau hampir Rp 5,9 triliun setahun.
Pada tahun 2016, subsidi LPG secara nasional berkisar Rp 31 triliun, tetapi pada tahun 2022 nanti diperkirakan sudah bertambah lebih dari dua kali lipatnya menjadi sekitar Rp 66 triliun.
Nominal subsidi ini mengalahkan nilai subsidi untuk listrik yang berkisar Rp 56 triliun serta terpaut sangat jauh sekali untuk subsidi BBM tertentu yang hanya Rp 11 triliunan.
Besarnya subsidi LPG tersebut patut untuk segera diantisipasi karena berpotensi besar mengganggu neraca perdagangan sektor migas serta membebani keuangan negara.
Apalagi, konsumsi LPG subsidi diperkirakan akan terus bertambah besar pada masa-masa mendatang. Berdasarkan Laporan Kinerja Ditjen Migas Kementerian ESDM tahun 2020, produksi LPG Indonesia pada tahun 2020-2024 diperkirakan hanya sekitar 1,97 juta MT setahun.
Sebaliknya, dari sisi penyediaan LPG khusus untuk volume 3 kg diperkirakan terus merangkak naik. Pada tahun 2019, volume LPG 3 kg sebanyak 6,98 juta MT, tetapi pada lima tahun mendatang jumlahnya diperkirakan sudah melonjak hingga kisaran 8,8 juta MT.
Artinya, apabila diakumulasi dengan konsumsi LPG non subsidi maka jumlah permintaanya pada tahun 2024 lebih dari 9 juta ton. Dapat dibayangkan betapa besarnya kebutuhan valas yang diperlukan untuk impor LPG tersebut. Selain itu, pemerintah juga harus menyediakan anggaran lebih banyak lagi untuk menopang subsidi untuk penyaluran elpiji 3 kg.
Baca juga : Hilirisasi Batubara Respons Turunnya Permintaan
Optimalisasi hilirisasi batubara
Besarnya konsekuensi dari konsumsi LPG mendorong pemerintah untuk melakukan optimalisasi hilirisasi batubara. Potensi batubara Indonesia yang relatif masih banyak dan mampu bertahan hingga sekitar 70 tahun ke depan berpeluang menjadi solusi alternatif energi untuk menggantikan LPG.
Hilirisasi batubara yang selama ini hanya dimanfaatkan untuk pembakaran secara langsung, kini pemerintah berencana untuk scaling up teknologi pengolahannya untuk diproses menjadi Dimethyl Ether (DME).
Dengan mengoptimalkan menjadi DME untuk kebutuhan dalam negeri maka pemerintah juga berupaya untuk meningkatkan domestic market obligation (DMO) batubara yang relatif masih kecil.
Pada tahun 2015-2020, produksi batubara nasional rata-rata mencapai kisaran 500 juta ton setahun. Sayangnya, penggunaan di dalam negerinya (DMO) relatif stagnan, yakni rata-rata sekitar 27 persen saja per tahun.
Artinya, sumber daya alam (SDA) energi yang dimiliki Indonesia sebagian besar justru untuk memperkuat suplai energi untuk negara lain. Dengan kata lain, suplai SDA energi batubara Indonesia justru dipergunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negara lainnya.
Kondisi tersebut sangatlah ironis karena kekayaan alam yang dimiliki negeri ini belum sepenuhnya terserap secara optimal untuk kemakmuran bangsa.
Berdasarkan Laporan kinerja Ditjen Minerba, Kementerian ESDM 2019, hanya ada 2 konsumen besar batubara di Indonesia, yakni pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara sekitar 80 persen dan industri semen sekitar 13 persen.
Selanjutnya, disusul industri kertas, tektil, metalurgi, dan pupuk dengan persentase masing-masing di bawah 2 persen. Hal ini mengindikasikan jika permintaan energi batubara untuk indutrialisasi di Indonesia masih perlu dikembangkan.
Oleh sebab itu, dengan potensi cadangan batubara Indonesia yang relatif besar perlu diperluas lagi pemanfaatannya agar lebih mudah diterima oleh masyarakat. Jadi, tidak hanya terfokus untuk industrialisasi yang jumlahnya relatif masih minim di Indonesia.
Ada sejumlah cara untuk mengembangkan pemanfaatan batubara agar lebih fungsional. Salah satunya dengan coal bed methane (CBM) yang produk akhirya berupa gas alam.
Gas ini dapat dimafaatkan untuk berbagai keperluan seperti memasak di level rumah tangga dan juga industri. CBM ini termasuk dalam jenis energi baru yang menggunakan teknologi penambangan nonkonvensional dalam proses eksploitasinya. Artinya, perlu investasi relatif sangat besar untuk melakukan proses CBM tersebut.
Selain itu, ada juga gasifikasi batubara yang dapat mengkonversi batu bara muda menjadi syngas. Berikutnya, diproses lebih lanjut menjadi Dimethyl Ether (DME) yang berguna sebagai bahan baku LPG.
Produk ini dapat meningkatkan ketahanan energi nasional karena mengurangi beban negara terhadap impor LPG yang terus meningkat. Ada sejumlah kelebihan dari gasifikasi batubara ini, yakni menghasilkan bahan bakar gas yang bersih dan mudah dipindahkan melalui pipa atau disimpan di dalam tabung.
Gasifikasi batubara ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengganti minyak solar ataupun gas kota serta dapat digunakan sebagai bahan baku industri pupuk dan petrokimia lainnya.
Pemanfaatan lainnya lagi adalah dengan teknik pencairan batubara. Terdapat dua metode untuk proses ini, yakni direct coal liquefaction (DCL) dan indirect coal liquefaction (ICL).
Perbedaan utama antara kedua proses tersebut terletak pada karakteristik produknya. Proses DCL menghasilkan bahan bakar cair dengan kandungan aromatik yang tinggi sehingga bagus untuk dijadikan gasoline karena akan memiliki bilangan oktan yang tinggi.
Hanya saja, bilangan oktan dari gasoline hasil pencairan batubara tidak akan melebihi bilangan oktan dari gasoline yang berasal dari pengilangan minyak bumi.
Sebaliknya, proses ICL lebih cocok untuk menghasilkan bahan bakar diesel karena akan memiliki bilangan cetane number yang tinggi. Selain itu, bahan bakar cair produk ICL lebih ramah lingkungan sehingga sangat bermanfaat untuk menggerakkan mesin diesel yang identik dengan gas buang emisi yang besar.
Dari ketiga pemanfaatan tersebut, gasifikasi batubara untuk diproses menjadi DME sepertinya akan segera direalisasikan menjadi sebuah program pemerintah.
Hal ini seiring dengan kian meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap konsumsi LPG di masa mendatang. Untuk mengurangi efek tekanan yang besar terhadap keuangan negara karena semakin besarnya kebutuhan impor maka optimalisasi hilirisasi batubara merupakan salah satu kebijakan yang relatif baik untuk saat ini.
Investasi yang relatif besar untuk mendukung kebijakan ini dirasa akan sangat sepadan dengan hasil yang akan diraih nanti. Indonesia mampu menyediakan kebutuhan DME sebagai pengganti LPG secara mandiri tanpa tergantung dari impor asing. Setidaknya untuk beberapa dekade mendatang.
Hal ini tentu saja akan memberikan sejumlah dampak positif bagi sejumlah parameter makro ekonomi nasional.
Di antaranya meningkatkan kualitas neraca perdagangan migas, subsidi negara relatif ringan dan stabil karena tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga migas di pasar global.
Selain itu, harus serta menjaga kurs rupiah relatif terkendali karena belanja impor migas kian mengecil sehingga jumlah valas yang dimiliki dapat disimpan untuk memperkuat keuangan domestik. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Hilirisasi Batubara Membutuhkan Jaminan Pasar