Batubara perlu diolah lebih lanjut menjadi dimetil eter atau metanol agar bernilai tambah lebih tinggi. Investasi besar pada proyek hilirisasi batubara butuh kepastian serapan pasar agak tak menjadi sia-sia.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Investasi pada proyek hilirisasi atau peningkatan nilai tambah batubara bernilai triliunan rupiah. Upaya ini membutuhkan kepastian pasar bagi produk yang dihasilkan. Peningkatan nilai tambah, berupa dimetil eter maupun metanol, diyakini mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk ”Pemanfaatan Hilirisasi Batubara untuk Pemulihan Ekonomi”, Rabu (1/9/2021). Asisten Gubernur Bank Indonesia (BI) Dwi Pranoto Hadir memberi kata sambutan. Para narasumber, antara lain, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral Sujatmiko, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, Kepala Kantor Perwakilan BI Kalimantan Selatan Amanlison Sembiring, Direktur Utama PT Adaro Power Dharma Djojonegoro, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia, dan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli.
Menurut Dharma, salah satu tantangan mewujudkan hilirisasi batubara adalah kepastian soal pasar untuk menyerap produk hilirisasi. Pasalnya, proyek hilirisasi dalam rangka peningkatan nilai tambah memerlukan investasi triliunan rupiah. Investor tentu akan berpikir tentang prospek bisnis tersebut ke depan dan kepastian pengembalian modal.
”Harus dicari titik temu antara kepastian dan harga pasar. Ini sesuatu yang masih dalam diskusi dan perlu kerja sama dari semua pihak untuk mencari solusinya,” kata Dharma.
Adaro Power telah menandatangani nota kesepahaman dengan PT Pertamina (Persero) untuk proyek gasifikasi batubara menjadi dimetil eter pada Desember 2020. ”Dimetil eter (produk hilirisasi batubara) ini menggantikan elpiji. Ketimbang bersaing dengan Pertamina, lebih baik kami berkolaborasi. Sebab, suatu hari nanti peran elpiji akan diganti dengan dimetil eter,” ujarnya.
Salah satu tantangan mewujudkan hilirisasi batubara adalah kepastian soal pasar untuk menyerap produk hilirisasi. Pasalnya, proyek hilirisasi dalam rangka peningkatan nilai tambah memerlukan investasi triliunan rupiah.
Pentingnya kepastian pasar juga dikemukakan Hendra. Menurut dia, investasi besar dalam menciptakan produk gasifikasi mensyaratkan ketersediaan pasar agar investasi triliunan rupiah tidak sia-sia. Selain itu, dia juga menyoroti pentingnya dukungan fiskal dan nonfiskal agar program hilirisasi berjalan sukses.
Hendra mengatakan, hilirisasi ini bisa memberikan nilai tambah untuk Indonesia. Pada studi proyek gasifikasi PT Bukit Asam Tbk di Sumatera Selatan, proyek ini menyerap investasi 2,1 miliar dollar AS (setara Rp 29,8 triliun dengan nilai tukar Rp 14.200 per dollar AS). Proyek ini juga dapat mengurangi impor elpiji 1 juta ton per tahun dan menghemat devisa Rp 9,7 triliun per tahun.
Mengutip dokumen Rencana Umum Energi Nasional, kebutuhan elpiji pada 2020 mencapai 8 juta ton. Dari jumlah tersebut, 6,1 juta ton diperoleh dari impor. Adapun pada 2030, saat kebutuhan elpiji mencapai 9,7 juta ton, diharapkan seluruhnya bisa dipenuhi dari dalam negeri.
”Substitusi impor yang bisa diperoleh dari hilirisasi batubara ini bisa menurunkan defisit neraca transaksi berjalan,” kata Dwi.
Adapun pada 2030, saat kebutuhan elpiji mencapai 9,7 juta ton, diharapkan seluruhnya bisa dipenuhi dari dalam negeri.
Sujatmiko menambahkan, hilirisasi batubara masuk dalam salah satu arah kebijakan batubara seperti yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pemerintah telah membuat peta jalan pengembangan hilirisasi batubara sampai 2045 dengan pengembangan dimetil eter dan metanol sebagai program utama.
Terkait cadangan batubara, menurut Rizal, Indonesia memiliki cadangan terbesar keenam dunia, yaitu 143,7 miliar ton. Cadangan itu akan menghasilkan nilai tambah luar biasa jika dikelola dengan tepat. Indonesia juga tidak bisa terus-menerus mengandalkan ekspor batubara mentah.
Sementara itu, Sahbirin Noor menambahkan, Kalimantan Selatan masih banyak bergantung pada kegiatan ekonomi ekstraktif, seperti pertambangan batubara. Apabila harganya sedang naik, perekonomian daerah membaik. Namun, saat harga batubara anjlok, perekonomian daerah turut terdampak. ”Kalau ada program hilirisasi seperti ini, akan ada stabilitas kepastian kondisi ekonomi di daerah,” ujarnya.