Optimalisasi EBT Menjadi Prioritas Indonesia Menuju Karbon Netral 2060
Pemerintah terus mengakselerasi bauran EBT untuk mencapai emisi karbon netral 2060. Semua potensi EBT didorong terus meningkat produksinya. Hanya nuklir yang tidak ada kepastian untuk dilibatkan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F02%2F18%2Fa622a2eb-bdff-4151-aeaf-405e26cadf9d_jpg.jpg)
Kincir-kincir angin berjajar milik Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo-1 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (2/2/2019). PLTB berkapasitas 72 MW ini menjadi PLTB terbesar kedua di Indonesia setelah PLTB Sidrap yang berkapasitas 75 MW. Ada 20 kincir angin yang terpasang di PLTB ini. Beroperasinya PLTB ini akan memperkuat pasokan listrik di Sulawesi Selatan. Pemerintah akan terus mendorong investasi sumber energi terbarukan dengan memanfaatkan potensi alam Indonesia.
Pemerintah akan mengoptimalkan pemanfaatan energi baru terbarukan menuju karbon netral Indonesia 2060. Proyeksi Badan Energi Internasional (IEA) yang memosisikan nuklir sebagai salah satu sumber energi masa depan belum menjadi alternatif pilihan Pemerintah Indonesia.
Corak kebijakan bauran energi tersebut terlihat dari hasil riset yang dilakukan Litbang Kompas terkait rencana pemerintah dalam menuju emisi karbon nol 2060. Penelitian semi kualitatif ini menggunakan metode Quality Scorecard Deployment (QSD) dengan melibatkan sejumlah narasumber ahli dari berbagai institusi terkait energi.
Narasumber tersebut berasal dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dewan Energi Nasional (DEN), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) BRIN, Organisasi Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI), akademisi dari Institut Teknologi Bandung, serta pakar energi nuklir dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Penelitian tersebut ingin melihat posisi Pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan komitmen target nol karbon (net zero emission) 2060. Di sisi lainnya, riset ini juga dilakukan untuk sekaligus mengetahui sikap pemerintah dalam melihat posisi reaktor nuklir (PLTN) dalam upaya menuju karbon netral itu. Hal ini bertujuan mendudukkan permasalahan, terutama terkait perdebatan mengenai pengembangan energi ramah lingkungan di masa mendatang.
Hasil pengolahan QSD menunjukkan ada sejumlah prioritas kepentingan yang ditempuh oleh pemerintah dalam upaya menuju karbon netral itu. Secara berurutan terdiri dari kebijakan politik, optimalisasi EBT, dan regulasi EBT (investasi), serta penguatan teknologi.
Baca juga: EBT dan Nuklir, Solusi Reduksi Emisi Karbon Masa Depan

Kebijakan politik menjadi kunci penting dalam menuju target emisi nol 2060. Politik yang terkait dengan kebijakan ini tidak hanya politik di tingkat nasional, tetapi juga politik di tingkat global. Dengan ikutnya Indonesia dalam kesepakatan Perjanjian Paris COP 21, maka Indonesia berkomitmen bersama negara lainnya untuk mereduksi emisi CO2.
Komitmen itu selanjutnya ditindaklanjuti dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Paris Agreement untuk melaksanakan sejumlah kebijakan reduksi emisi karbon. Selain itu, pemerintah juga berupaya menerapkan implementasi komitmen global tersebut dalam bentuk Nationally Determined Contribution (NDC). Dengan usaha sendiri, reduksi ditargetkan sebesar 29 persen dan hingga 41 persen dengan bantuan luar negeri pada 2030.
Prioritas selanjutnya adalah optimalisasi pemanfaatan EBT di Indonesia. Kementerian ESDM sudah memiliki tiga target besar dalam segi waktu. Untuk jangka pendek hingga tahun 2025, pemerintah akan berusaha mendorong EBT dari tenaga surya (PLTS) untuk akseleratif meningkat pesat. Jadi, target bauran energi sebesar 23 persen pada 2025 dapat terpenuhi.
Dalam jangka menengah menuju NDC 2030, pemerintah sudah menyiapkan skenario ”green RUPTL” pada rentang 2021-2030 yang akan didominasi oleh pembangkit dari EBT. Dalam jangka panjang, pemerintah akan secara bertahap meningkatkan bauran energi dari EBT sehingga pada 2060, sumber energi (listrik) di Indonesia ditargetkan sudah 100 persen ramah lingkungan. Sumber energi dari surya, air, dan bioenergi akan menjadi andalan Indonesia di masa mendatang.
Baca juga: Optimisme Pencapaian Bauran Energi Baru Terbarukan

Prioritas ketiga adalah terkait regulasi EBT (investasi) dan penguatan teknologi. Hal ini berhubungan dengan RUU EBT yang saat ini masih dalam tahap pembahasan di DPR. Regulasi itu diharapkan dapat menjadi sarana menarik untuk mendatangkan investor pengembangan EBT.
Ada sejumlah usulan yang diajukan pemerintah terkait hal itu, di antaranya PT PLN dapat membeli listrik dari IPP (independent power producer/swasta) dengan sejumlah mekanisme harga seperti, feed in tariff, harga patokan tertinggi atau harga kesepakatan. Usulan ini harapannya dapat menarik investor untuk mengembangkan pembangkit energi ramah lingkungan yang membutuhkan modal besar. Regulasi itu berfungsi memberikan jaminan harga yang menguntungkan bagi investor.
Hal lainnya yang juga terkait dengan investasi EBT itu adalah mendorong keandalan teknologi dalam pemanfaatan energi ramah lingkungan. Selain itu, teknologi penyimpanan energi di dalam baterai akan semakin berkembang baik untuk keperluan transportasi ataupun keperluan sehari-hari.
Pemerintah juga berupaya mendorong ekosistem kendaraan bermotor listrik berbasis baterai kian masif di sejumlah daerah. Masyarakat di masa depan akan semakin familiar dengan alat-alat atau teknologi yang mengedepankan kelestarian lingkungan. Bahkan, dalam peta jalan EBT dari Kementerian ESDM, pemerintah juga akan mengembangkan reaktor PLTN pada 2049.
Bukan prioritas
Dari analisis QSD itu, terlihat pengembangan nuklir (PLTN) tampaknya belum menjadi prioritas yang akan dikembangkan dalam waktu dekat. Meskipun dalam peta jalan Kementerian ESDM, pembangunan PLTN itu direncanakan akan commercial operation date (COD) pada 2049, hal itu tampaknya belum menjadi kesepakatan bersama antarpemangku kebijakan.
Indikasinya terlihat dari NDC Pemerintah Indonesia yang diunggah ke laman komitmen Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) tidak menyinggung tentang atom ataupun nuklir. Bahkan, dalam upaya mitigasi Strategi Jangka Panjang tentang Karbon Rendah dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR) 2050 sektor energi yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tidak satu pun menyinggung tentang PLTN sebagai alternatif energi hijau yang akan dimanfaatkan.
Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035 disebutkan, industri pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) akan dikembangkan pada tahun 2020-2024 dan 2025-2035.
Pada periode 2020-2035, direncanakan akan berdiri pabrik pengolahan logam tanah jarang sebagai produk bahan baku untuk PLTN. Selain itu, pemerintah juga berencana mengembangkan fasilitas PLTN yang efisien dengan teknologi keselamatan tinggi. Namun, kenyataannya hingga kini belum ada tanda-tanda Pemerintah Indonesia akan merealisasikan rencana tersebut.
Ada sejumlah upaya yang harus dilalui seandainya rencana pembangunan PLTN itu akan diwujudkan. Berdasarkan hasil analisis QSD menunjukkan ada tiga prioritas tindakan dalam pembangunan PLTN di Indonesia. Secara berurutan terdiri dari komitmen nasional, sinergi BRIN, dan penggunaan teknologi PLTN mutakhir.
Komitmen nasional sangat penting posisinya dalam memutuskan pembangunan reaktor PLTN. Komitmen nasional ini merupakan bentuk pernyataan resmi dari pemerintah yang mendapat dukungan resmi secara politik dalam menyatakan ”go” atau ”not go” dalam rencana pembangunan PLTN.
Baca juga: Menguji Kemampuan EBT dan Nuklir dalam Mereduksi Emisi Karbon
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F05%2Ff23c7387-b2d5-4bff-ab56-1839dde63105_jpg.jpg)
Sejumlah narasumber memaparkan pandangannya dalam Plenari Session “Big Opportunities fo SMRs” dalam forum ATOMEXPO XII 2022, Selasa (22/11/2022), yang digelar di Park of Science and Art Federal Territory Sirius di Sochi, wilayah Krasnodar, Rusia.
”Komitmen pemerintah itu sangat penting dalam mendukung proyek pembangunan reaktor nuklir,” tutur Mikhail Chudakov, Wakil Direktur Umum dan Ketua Departemen Energi Nuklir International Atomic Energy Agency (IAEA) yang ditemui dalam forum ATOMEXPO XII 2022 di kota Sochi, Rusia, akhir November 2022. Chudakov juga menuturkan, dengan komitmen itu, akan terjalin kesepakatan bersama antara pemerintah dan dunia politik sehingga proyek tersebut dapat berjalan lancar.
Dengan komitmen itu, akan tercipta supply chain dalam pengembangan nuklir, mulai dari pengembang yang menawarkan teknologi reaktor, mekanisme pembiayaan, hingga suplai bahan baku untuk PLTN. Selain IAEA dan negara-negara asal vendor, negara-negara di sekitar Indonesia pun akan turut meninjau tentang sistem keselamatan dari reaktor yang akan di bangun. Jadi, akan semakin memperkuat pengawasan terhadap faktor keamanan dan keselamatan terhadap reaktor PLTN yang akan dikembangkan.
Komitmen nasional itu umumnya akan didahului dengan pembentukan Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO). Selain itu, dengan terbentuknya NEPIO, dapat segera mengundang Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) untuk melakukan penilaian (assessment) terkait persiapan pengembangan nuklir di Indonesia. Penilaian ini sangat penting untuk meloloskan Indonesia ke tahap berikutnya untuk merealisasikan pembangunan reaktor PLTN.
Prioritas tindakan berikutnya yang berpengaruh positif bagi pengembangan PLTN adalah meleburnya sejumlah lembaga riset negara dalam institusi BRIN. Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) yang sebelumnya bernama Batan sekarang tidak bekerja sendirian. ORTN berpeluang besar untuk menjalin kerja sama dengan organisasi riset lainnya di dalam intitusi BRIN guna memperkuat penilaian IAEA dalam meloloskan rencana pengembangan PLTN di Indonesia.
ORTN-BRIN dapat memberikan dukungan riset yang mutakhir terkait pengembangan reaktor PLTN yang tepat untuk dibangun di Indonesia. ORTN-BRIN juga dapat mengembangkan riset-riset terkait material atau penambangan. Terakhir adalah prioritas dalam pemilihan teknologi untuk pengembangan PLTN. Isu terkait dengan keamanan dan keselamatan PLTN merupakan masalah krusial yang sering kali menghambat program pembangunan PLTN di suatu negara.
Baca juga: Transisi Dunia Menuju Energi Bersih
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F10%2F19b3c4af-bc5b-4063-a823-4788c860449e_jpg.jpg)
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong Unit 5 dan 6 kawasan Tompaso, Tomohon, Sulawesi Utara, Senin (25/4/2022). PLTP yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy ini mampu memproduksi listrik sebesar 40 megawatt untuk memasok kebutuhan listrik di Sulawesi Utara dan Gorontalo.
Secara keseluruhan, dari hasil analisis QSD itu menunjukkan rencana pemerintah yang berupaya mengakselerasi peningkatan bauran EBT nasional. Sumber energi ramah lingkungan yang diprioritaskan untuk mencapai target reduksi emisi itu sebagian besar berasal dari tenaga surya, tenaga air, hidrogen, dan mengoptimalkan pemanfaatan battery energy storage system (BESS) sebagai penyimpan daya berkapasitas besar.
Terkait pembangkit daya nuklir, pemerintah belum menjadikannya sebagai prioritas. Hal ini tidak mudah diputuskan mengingat nuklir sangat lekat dengan berbagai kebijakan politik, baik di level nasional maupun internasional. Keberlangsungan keputusan politik dalam negeri menjadi jaminan penting dalam proyek pembangunan PLTN yang membutuhkan waktu konstruksi relatif lama.
Selain itu, kerja sama dengan suatu negara pengembang nuklir menjadi semacam simbol menjalin kekuatan geopolitik jangka panjang. Jadi, nuklir dapat berkembang di suatu negara dengan syarat harus mendapat dukungan dari stabilitas politik yang kondusif baik dari dalam maupun luar negeri. (LITBANG KOMPAS)