Penerimaan Publik terhadap Anak Narapidana Terorisme
Hasil jajak pendapat ”Kompas” menunjukkan 44,6 persen responden bersedia merangkul dan memberikan arahan yang baik jika ada anak dari narapidana terorisme di sekitar mereka.
Oleh
Agustina Purwanti/Litbang Kompas
·4 menit baca
KOMPAS/ PRIYOMBODO
Warga dari berbagai golongan dan lintas agama mengikuti aksi solidaritas #KamiBersamaPOLRI di depan Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (10/5/2018) malam. Sebanyak lima anggota Polri gugur dalam peristiwa penyerangan oleh narapidana terorisme di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Penerimaan publik terhadap anak narapidana terorisme atau napiter menunjukkan anak-anak dari keluarga teroris tidak selalu mendapat stigma negatif akibat perbuatan orangtuanya. Fenomena itu tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas pada pertengahan Januari lalu. Hampir separuh responden menyatakan rasa iba mereka terhadap anak pelaku terorisme. Sementara itu, seperempat responden lain bereaksi biasa saja.
Sikap yang cenderung menerima itu menjadi peluang bagi anak-anak keluarga napiter untuk mendapatkan perlakuan lebih baik dari berbagai pihak. Sebab, tak sedikit anak napiter mengalami gangguan fisik hingga psikis. Mereka kehilangan hak atas pendidikan serta sosok orangtua secara utuh.
Setelah dewasa, persoalan tak lantas usai karena sering kali mereka mengalami penolakan ketika melamar pekerjaan. Fenomena ini bak lingkaran setan yang menjerat anak napiter. Sejumlah literatur menyebutkan, anak dari pelaku terorisme ialah korban doktrin dan propaganda orangtua atau orang dewasa di sekitarnya.
Melihat fakta tersebut, 44,6 persen responden mengaku akan merangkul dan memberikan arahan yang baik jika ada anak napiter di sekitar mereka. Sementara itu, 22 persen responden lain akan memperlakukan mereka sama seperti anak-anak lain. Keterbukaan responden terhadap anak-anak itu juga tampak dari pilihan mereka untuk menyetujui anak napiter mengenyam pendidikan di sekolah umum. Hal ini diungkapkan 68,8 persen responden.
Erin Gayatri, peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan, interaksi yang terjalin antara anak napiter dan lingkungan, termasuk di sekolah umum, akan mempermudah proses integrasi anak itu dengan lingkungannya.
Jika diselisik lebih dalam, kelompok responden laki-laki cenderung lebih terbuka terhadap anak dari pelaku terorisme. Kendati tak terpaut jauh, kesediaan responden laki-laki memberi perhatian dan bersikap biasa saja pada anak-anak itu relatif lebih besar. Setidaknya tujuh dari 10 responden laki-laki memilih sikap tersebut. Sementara itu, ada enam dari 10 responden perempuan yang bersedia melakukan hal yang sama.
Deskripsi ini menunjukkan responden perempuan cenderung lebih resistan. Pilihan sikap responden perempuan untuk menjauhi dan melarang anak-anak berinteraksi dengan anak napiter lebih besar (34,8 persen) daripada responden laki-laki (25 persen).
Pentingnya edukasi
Selain jender, tingkat pendidikan responden juga cukup menentukan pilihan sikap mereka. Jajak pendapat menunjukkan responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung lebih terbuka terhadap anak dari pelaku terorisme. Kesediaan mereka untuk memberikan dukungan kepada anak napiter relatif lebih besar.
Sekitar 6 dari 10 responden dengan pendidikan tinggi bersedia memberi perhatian dan arahan jika ada anak dari pelaku teror di sekitar mereka. Sebaliknya, pada level pendidikan rendah, hanya 38 persen responden yang menyatakan kesediaan memberikan dukungan kepada anak napiter. Sekitar 40 persen lain memilih menjauhi dan melarang anak-anak bermain dengan anak dari pelaku teror.
Tanpa mendiskreditkan kelompok responden tertentu, hasil jajak pendapat secara tidak langsung menunjukkan pentingnya edukasi terkait radikalisme. Dengan pemahaman yang utuh, cara merespons masyarakat di sekitar lingkungan itu juga akan relatif lebih baik.
Sebab, penerimaan publik menjadi bagian penting agar anak napiter tidak merasa terasingkan. Semakin dikucilkan, proses rekonsiliasi mereka dengan lingkungan akan lebih panjang. Bukan mustahil justru akan muncul dendam dan berujung pada keputusan untuk mengikuti jejak orangtuanya.
Seperti yang dialami Zulia Mahendra, putra sulung Amrozi, pelaku Bom Bali 1. Sempat terlintas dalam benaknya untuk meniru tindakan ayahnya. Muncul keinginan belajar membuat senjata dan merakit bom lantaran rasa dendamnya memuncak akibat eksekusi mati ayahnya dan penolakan oleh lingkungan sekitar (Kompas.com, 2 Februari 2020).
Fakta tersebut menunjukkan bahwa upaya mengatasi fenomena radikalisme dan terorisme, baik pencegahan maupun penanganan setelah kejadian, adalah kerja kolektif dari semua pihak. Tak hanya pemerintah dan lembaga terkait, masyarakat yang bersinggungan langsung dengan keluarga ataupun anak napiter juga memiliki peran penting.
Selain menerima keberadaan anak napiter, jajak pendapat Kompas juga menemukan bahwa mayoritas responden bersedia berinteraksi langsung dengan anak napiter. Mereka juga akan melibatkan keluarga serta anak napiter dalam kegiatan di lingkungan tempat tinggal. Hal ini akan membuat proses rekonsiliasi dengan lingkungan menjadi lebih mudah.
Sementara itu, 2 dari 10 responden lain juga akan membantu mencari pekerjaan bagi anak dari pelaku teror yang belum bekerja. Tidak sedikit juga yang bersedia memberikan bantuan materiil untuk mencukupi kebutuhan harian. Upaya ini dilakukan guna memberikan dukungan kepada anak napiter yang sejatinya juga bagian dari korban tidak langsung dari aksi terorisme orangtuanya.
Menyadari betapa kompleksnya dampak dari radikalisme, publik bersedia berperan nyata dalam menangkal bahaya terorisme. Lebih dari separuh responden mengaku akan meningkatkan perhatian dan kepedulian terhadap tetangga sekitar. Hal ini sangat diperlukan untuk mengantisipasi masuknya paham yang keliru. Dengan kepedulian antarwarga, proses bertukar informasi dan saling menyadarkan menjadi lebih terbuka.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Petugas Densus 88 Antiteror Polri membawa sejumlah terduga pelaku tindak terorisme saat rilis pengungkapan jaringan terorisme di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (17/10/2019). Dalam sepekan terakhir, Densus 88 Antiteror Polri melakukan pengungkapan jaringan terorisme di berbagai daerah dan menangkap 40 orang pelaku terduga terorisme.
Sekitar seperempat responden lain menyadari urgensi tidak mudah terpengaruh paham radikal. Hal ini ditempuh sebagian responden dengan cara lebih peka terhadap narasi dan ajaran antinasionalisme. Upaya mitigasi berikutnya adalah dengan memberanikan diri melapor jika menemukan tindakan yang mengarah pada kecenderungan anti-nasionalisme.
Kesediaan publik untuk berperan aktif itu menjadi sinyal baik untuk lebih optimistis memerangi terorisme. Dengan kolaborasi bersama pemerintah dan lembaga-lembaga terkait, bukan tidak mungkin dampak dan bahaya radikalisme dapat direduksi, terutama bagi anak pelaku teror. Bagaimanapun, mereka adalah bagian dari korban tidak langsung yang tidak semestinya diasingkan dan ditelantarkan.