Seribu Akal demi Bekal Anak Napiter
Tak mudah mengubah pola pikir anak-anak narapidana terorisme. Dalam upaya itu, ada orang-orang yang setia mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk membantu mereka keluar dari jerat masalah tersebut. Seribu akal digunakan.
Seorang polisi berpangkat inspektur satu memberanikan diri masuk ke kantor gubernur salah satu provinsi di Indonesia timur. Itu bukan kali pertama ia mencoba menemui kepala daerah dengan membawa seabrek persoalan anak dan istri dari para narapidana terorisme atau napiter.
Polisi yang bertugas di Detasemen Khusus 88 Antiteror itu hanya ingin jadi penghubung keluarga napi terorisme dengan pemerintah daerahnya. Karena itu, ia sangat berharap dapat bertemu gubernur untuk mencari solusi atas berbagai persoalan itu. Namun, yang menemuinya ajudan gubernur. Ia lalu menitip pesan: jangan sampai nanti gubernur kelimpungan saat teror bermunculan. ”Saya hanya ingin tekankan, penanganan masalah ini butuh kerja bersama,” ujar polisi berinisial F itu kepada Kompas, akhir pekan lalu.
Melalui ajudan itu lagi, gubernur kemudian meminta F menemui kepala badan kesatuan bangsa dan politik. Sejak saat itu, satu demi satu persoalan terselesaikan. Cara-cara seperti itu terkadang spontan keluar ketika F mulai merasa mentok mendapat perhatian dari pemda. Suatu ketika, ia juga pernah berupaya menemui seorang wali kota. F ”mencatut” nama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dengan mengaku pernah menjadi ajudan Tito kala masih berdinas di kepolisian.
”Padahal, ketemu, lihat matanya (Tito) langsung saja, saya tak pernah, he-he-he,” katanya.
Semua itu dilakukan agar anak dan istri para napi terorisme cepat mendapat perhatian pemda. Misalnya, mereka harus dibantu pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) agar punya akses mendapat fasilitas kesehatan dan memudahkan urusan sehari-hari. F sering bolak-balik ke dinas kependudukan dan pencatatan sipil untuk mengurus KTP mereka.
Baca juga: Beban Berganda Anak Narapidana Terorisme
Lalu, agar para istri bisa diikutkan pelatihan dan mendapatkan keterampilan, F juga harus bergerak ke dinas koperasi, usaha kecil, dan menengah. Pelatihan ini dibutuhkan agar mereka bisa mencari penghasilan sendiri selama ditinggal suami. Anak-anak mereka juga harus dibantu agar mendapat akses pendidikan. F sering kali harus melobi dinas pendidikan setempat agar mereka bisa diterima.
”Jadi, pekerjaan Densus (Detasemen Khusus Antiteror) sekarang itu saya bilang satu banding lima. Kalau dulu, kan, tangkap. Itu pekerjaan hanya satu. Sekarang, kami melakukan pembinaan juga. Tidak bisa hanya sekadar tangkap lalu dibawa ke Jakarta. Ada banyak hal yang harus diselesaikan setelahnya,” tutur F.
Seorang pengasuh berinisial M di sebuah pondok pesantren di Pulau Jawa juga harus beradaptasi dan belajar ketika awal menghadapi anak-anak napi terorisme. Apalagi, di ponpes itu tinggal sejumlah anak yang orangtuanya terlibat kasus besar, seperti bom di Surabaya, Jawa Timur, hingga penusukan mantan Menteri Koordinator Bidang Polhukam Wiranto.
Baca juga: Balada Para Pemberontak Kecil
Bukan pilihan anak
Suatu ketika, M iseng mengecek riwayat Youtube di ponsel milik salah satu anak. Ia tersentak menemukan riwayat video-video tentang kelompok teroris dan menyembelih orang. Ia lalu berkonsultasi kepada temannya yang memiliki latar pendidikan psikologi. Temannya itu menyampaikan bahwa apa yang dilakukan anak itu bukan atas pilihan sendiri, melainkan kebiasaan yang dilakukan saat tinggal bersama orangtuanya. Karena itu, anak tersebut harus diberi kegiatan lain yang lebih menarik sehingga kebiasaan buruk itu sedikit demi sedikit bisa dilupakan.
Kini, M punya cara sendiri jika mendapati anak-anak itu mulai melakukan hal-hal yang melenceng. Mereka akan diminta mengingat janji mereka ketika awal berada di ponpes. Di awal, mereka telah berjanji belajar dan meraih masa depan bersama. M juga tak akan membeda-bedakan mereka dengan anaknya. Apa pun yang dibutuhkan akan dituruti.
Gelagapan menangani anak-anak napi terorisme juga dialami pekerja sosial berinisial TL. Tahun 2017 merupakan kali pertama tempatnya kebanjiran keluarga yang dideportasi dari Suriah. Jumlahnya kala itu sekitar 170 orang. Ia yang sehari-hari menangani anak-anak yang berhadapan dengan hukum jadi harus menangani pula anak-anak korban jaringan terorisme.
”Bukan hanya bingung, awalnya juga takut. Dulu itu ada 13 pekerja sosial. Semua sudah mikir-nya, ’wah berhadapan dengan mereka, face to face, perlindungan kami bagaimana? Kalau kami di-apa-apain bagaimana?’” kenangnya.
Namun, lambat laun, ia dan teman-temannya sadar anak-anak itu korban. Mereka hanya mengikuti apa yang diarahkan bapak dan ibunya. Hak-hak mereka sebagai anak perlu dipenuhi. Lagi pula banyak lembaga masyarakat ikut membantu menangani anak tersebut. Para pekerja sosial mulai mendapatkan banyak ilmu dan keterampilan baru. Di awal, tak mudah mendekati anak-anak itu. Sebab, mereka tahu yang membantu pemerintah dan mereka membencinya. Apalagi, anak-anak itu berusia 10-17 tahun sehingga masih gamang. Di sisi lain, sedalam apa pun pendekatan terhadap anak, jika orangtua mereka tidak sepakat dengan yang diajarkan, itu akan mental kembali.
Baca juga: Penerimaan Publik terhadap Anak Narapidana Terorisme
Sejak itu, strategi diubah. Pendekatan dilakukan simultan kepada anak-anak dan orangtuanya. Namun, pendekatan itu dilakukan terpisah. Anak-anak mendapat terapi ringan, seperti sinematerapi, sedangkan orangtuanya diberi terapi agama, penanaman nilai-nilai kebangsaan, dan pengenalan keterampilan.
”Cara itu lebih berhasil karena anak-anak tidak bisa disetir, enggak boleh ini, enggak boleh itu. Orangtua juga mendapat manfaat. Saat mereka pulang, mereka punya bekal,” ujar TL.