Tumbuh di dalam keluarga narapidana terorisme bukanlah pilihan. Stigmatisasi perlu disingkirkan dengan penerimaan secara konkret terhadap eksistensi mereka.
Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Anak narapidana terorisme atau napiter terpaksa menanggung stigma atas tindakan terorisme yang dilakukan orangtuanya. Stigma masyarakat terpaksa mereka tanggung atas perbuatan yang tidak dikehendakinya. Pemerintah perlu memberikan perhatian konkret untuk memutus jerat derita anak napiter.
Aksi terorisme memang tidak dapat dibenarkan dari sisi mana pun. Namun, semua pihak juga harus melihat aksi destruktif ini secara bijak, bukan menggeneralisasi semua pihak yang berada di dekat pelaku terorisme itu sama jahatnya, khususnya keluarga dari pelaku terorisme yang berpotensi besar mendapat stigma negatif atas tindakan tersebut.
Salah satu anggota keluarga yang rentan mendapat penilaian negatif itu adalah anak-anak. Persoalan anak napiter ini sering kali luput dari perhatian pemerintah, media massa, dan masyarakat ketika terjadi aksi teror. Setidaknya, publik harus memahami bahwa anak napiter adalah korban dari aksi terorisme yang dilakukan salah satu atau kedua orangtua mereka. Jadi, anak-anak itu juga harus dilihat sebagai bagian dari korban.
Penilaian tersebut terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas pada pertengahan Januari 2023 terkait dengan aksi terorisme. Sebanyak 73,3 persen responden menganggap anak napiter adalah korban dari pelaku terorisme. Namun, antipati publik masih terlihat dari 12,9 persen responden yang merasa anak napiter memiliki potensi untuk menjadi teroris kelak atau ikut termasuk sebagai pelaku (5,2 persen).
Bisa jadi, resistensi publik itu merupakan bentuk kekhawatiran atau ketakutan terhadap aksi terorisme yang mengerikan. Publik pun mulai paham bahwa cara pandang radikalisme mudah disebarkan, apalagi di lingkup orang terdekat seperti keluarga. ”Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya”, pepatah inilah yang sering kali menjadi pembenaran untuk menganggap anak napiter pasti terpengaruh pandangan dari orangtuanya.
Jika ditarik lebih jauh, respons penerimaan masyarakat terhadap keluarga pelaku atau mantan teroris masih terbelah. Sebanyak 58,2 persen publik memberikan respons positif, seperti merangkul, merasa kasihan, atau memberikan bantuan serta perhatian. Responden lain sebesar 39,5 persen cenderung resisten, seperti menjauhi, melarang orang lain berinteraksi dengan keluarga itu, dan mengusir keluarga napiter dari lingkungan tempat tinggal.
Dalam konteks memberikan perhatian kepada anak napiter, temuan persepsi publik tersebut memperlihatkan bahwa perkara itu tidaklah mudah. Apalagi belakangan ini, dalam melancarkan aksi teror, pelaku yang umumnya kepala keluarga mulai melibatkan istri dan anak mereka.
Pada Mei 2018, satu keluarga beranggotakan enam orang (sepasang suami-istri dan empat anak) mengebom beberapa gereja di Kota Surabaya, Jawa Timur. Kasus lainnya, anak napiter memang rentan ikut terpengaruh pandangan radikalisme dari orangtuanya. Misalnya anak Imam Samudra, pelaku Bom Bali I, mengikuti jejak ayahnya berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan meninggal di usia 19 tahun.
REUTERS/STRINGER
Ilustrasi. Anggota milisi Syiah, Hashed al-Shaabi, berlari di samping tank dalam serangan bersama pasukan Irak di Kota Hawija, Irak, Kamis (5/10). Militer Irak mengklaim telah merebut kota itu dari milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Akan tetapi, contoh kasus tersebut tidak dapat menjadi justifikasi bahwa anak napiter akan selalu mengikuti jejak orangtuanya, apalagi menjadi pelaku. Anak napiter sejatinya adalah korban yang rentan mengulangi aksi orangtuanya jika mendapat stigma terus-menerus dari masyarakat.
Dikucilkan
Resistensi atau penolakan terhadap anak napiter justru mengencangkan jerat penderitaan mereka sebagai korban. Masyarakat perlu memberikan simpati bahwa anak napiter pasti kehilangan sosok salah satu atau kedua orangtuanya dalam aksi teror. Bagaimanapun juga, kehadiran sosok orangtua menjadi faktor penting bagi pertumbuhan diri anak.
Di lingkup lingkungan sekitar, anak napiter sering kali dikucilkan dan mendapat stigma buruk dari masyarakat. Anak Yusuf Anis, mantan kombatan Afghanistan, dicap sebagai ”keluarga teroris” dan ”anak teroris” oleh para tetangga dan teman-teman bermainnya. Hal ini jelas membuatnya merasa kesepian dan menghambat dirinya dalam belajar berinteraksi dengan orang sekitar.
Hak dasar anak juga direnggut dari anak napiter. Kehilangan hak mengenyam pendidikan ini berimplikasi pada pertumbuhan intelektual, sosialisasi, dan tentunya menyulitkan anak napiter melanjutkan kehidupannya kelak.
Persoalan kesehatan mental dan fisik pastinya melanda anak napiter. Anak pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya hanya mau berbicara kepada suster penjaga pascakejadian ledakan. Ada juga anak napiter yang mendapat teror ketika memutuskan tidak mengikuti jejak orangtuanya. Contoh intimidasi ini dialami anak Ali Fauzi, mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI), yang diteror organisasi tertentu dengan ancaman akan menyembelih ayahnya.
Pertumbuhan yang serba terhambat dan terbatas di masa kanak-kanak membuat anak napiter mengalami kesulitan saat beranjak dewasa. Putra sulung Amrozi, pelaku Bom Bali I, selalu ditolak ketika melamar pekerjaan karena dianggap sebagai keluarga teroris. Kondisi ini akhirnya rentan membuat mereka tetap berada pada jerat kemiskinan.
Padahal, dalam jaringan terorisme, keluarga atau individu yang memiliki status ekonomi menengah bawah adalah kelompok rentan terpapar radikalisme. Situasi kemiskinan yang mereka alami cenderung dimanfaatkan para pendoktrin untuk kegiatan ”amaliyah”. Sejumlah kesulitan, keterbatasan, ataupun ketidakpuasan yang mereka terima dalam kehidupan ini kemudian ditimpakan kesalahannya kepada pihak lain sehingga ”halal” untuk dihancurkan atau diserang.
Segala stigma masyarakat dan keterbatasan yang terpaksa diterima anak napiter ini justru menjadi pengalaman pahit untuk memupuk kebencian kepada masyarakat ataupun kepada pemerintah. Seperti kasus anak tiri Abu Omar yang menyerang Pos Polisi Solo (2012) sebagai bentuk balas dendam atas penangkapan ayahnya. Aksi tersebut akan berpotensi menjadi pola baru aksi teror jika anak napiter terus terbelenggu dalam stigma dan diskriminasi.
Penerimaan konkret
Memberikan perhatian kepada anak napiter itu juga harus dilakukan pemerintah secara konkret. Sebagai upaya pencegahan, hasil jajak pendapat Kompas menemukan bahwa publik merasa anak pelaku terorisme beserta pengasuhnya perlu mendapatkan program deradikalisasi. Sebanyak 59,3 persen responden menyatakan hal tersebut.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bersama pihak terkait, termasuk penyintas dan mitraderadikalisasi, tengah memang jagung di Kawasan Terpadu Nusantara Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (8/12/2022).
Selain itu, memberikan rehabilitasi secara fisik dan psikis oleh pemerintah juga menjadi opsi preventif yang paling banyak dipilih publik (47 persen). Publik tentu mengharapkan adanya sinergi dan tindakan nyata dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus 88, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Selama ini, anak napiter masih terjamin oleh Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Peraturan Pemerintah No 78/2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak.
Pada akhirnya, guna memutus jaringan terorisme itu, pemerintah beserta masyarakat harus memulai tahapan mitigasinya sejak dari lingkup keluarga napiter. Stigma kepada keluarga pelaku, terutama anak napiter, harus disisihkan. Masyarakat dapat memulainya dengan penerimaan secara konkret terhadap eksistensi mereka. Tidak ada salahnya membuka hati guna memberikan simpati ataupun empati terhadap nasib anak napiter.