Selain berhadapan dengan persoalan psikologis, anak-anak narapidana terorisme juga berhadapan dengan persoalan ekonomi. Mereka harus berhadapan dengan stigma yang dapat mempersulit kembali hidup di masyarakat.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak narapidana terorisme memikul beban berganda. Tak hanya berjibaku hidup tanpa orangtua, sebagian dari mereka juga mengalami stigmatisasi sehingga kesulitan membaur ke dalam masyarakat.
Di satu sisi, rehabilitasi oleh negara belum optimal. Di sisi lain, tanpa penanganan memadai, pengalaman terpapar ideologi ekstrem dan trauma psikologis dapat mendorong mereka menjadi pelaku terorisme.
Trauma, misalnya, dialami FR (13), putra dedengkot kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang terlibat bom bunuh diri di gerbang Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Maret 2021. Setelah menyaksikan penembakan yang menewaskan ayahnya dan penangkapan ibunya oleh polisi pada April 2021, ia harus melanjutkan hidup bersama kakak dan adik di rumah yang sebelumnya menjadi pusat kegiatan kelompok JAD bertahun-tahun.
Rumah di kawasan Villa Mutiara, Kota Makassar, itu tampak tak terurus saat Kompas mengunjunginya, Kamis (2/2/2023). Dari meteran listrik terdengar suara berulang tanda pulsa listrik akan segera habis. Bagian depan rumah dipenuhi tumpukan kandang hewan. Di dalam, ada dua ruangan yang dijadikan tempat menjemur pakaian dan menumpuk perabot rumah tangga, alat elektronik, mainan, bahkan sepeda motor tak terpakai.
Air menetes dari atap dapur yang bocor. Ada bau pesing, terutama di ruang tamu dan dapur, tempat kucing peliharaan keluarga membuang air. ”Saat mama pulang, bulan dua atau bulan tiga (bebas dari penjara), dibersihkan semuanya,” ujar FR.
FR beserta dua saudaranya tak memiliki penghasilan setelah ditinggal orangtua. Meski O, kakaknya yang berusia 20 tahun, mulai bekerja informal, mereka masih mengandalkan bantuan bahan pokok yang dikirim polisi setiap bulan. Kadang-kadang, ada sumbangan dari tetangga. ”Ada pula uang jajan dari tanteku, biasanya Rp 5.000,” kata FR.
Meski sudah bertahun-tahun hidup di Villa Mutiara, warga setempat pernah menolak FR dan saudara-saudaranya tetap tinggal di sana. Namun, personel Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri meyakinkan warga, mereka akan terus mendampingi semua keluarga yang terhubung dengan jejaring Villa Mutiara. ”Aku juga dikasih sekolah di SD negeri sama Pak Polisi,” kata FR.
Selain mendampingi, Densus 88 juga membantu anak yang terhubung jaringan terorisme di Makassar untuk belajar di sekolah negeri. Masalah ekonomi yang membelit keluarga napi terorisme mengharuskan mereka belajar sambil bekerja, bahkan keluar dari sekolah untuk membantu membiayai keluarga. ”Saya jual keripik di Pantai Losari dari siang pulang sekolah sampai malam,” kata IS (14).
Dalam sehari, anak salah satu anggota jaringan Villa Mutiara yang kini mendekam di penjara itu bisa mendapat penghasilan Rp 50.000. Namun, uang itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan tujuh anak. A (16), kakak IS, mengundurkan diri setelah didaftarkan ke sekolah kejuruan karena harus menjadi kurir makanan.
MR (37), ibu IS dan A, mengaku tak mudah membiayai hidup setelah suaminya ditangkap. Lelaki tak hanya sebagai pemimpin keluarga, tetapi juga mendominasi pencarian nafkah dan tugas yang memerlukan interaksi dengan pihak di luar rumah. Sehari-hari, perempuan diminta tinggal di rumah untuk mengurus anak. ”Jadi, kami enggak tahu bagaimana cara cari uang,” ujar MR.
Hadapi stigma
Persoalan ekonomi bukan satu-satunya beban yang dipikul anak napi terorisme. Mereka pun harus menghadapi stigma yang mempersulit kembali hidup bersama masyarakat.
IM (34) dan anak-anaknya yang masih berusia di bawah 10 tahun, misalnya, pernah diusir warga di wilayah tempat tinggalnya setelah suaminya dibawa polisi lantaran terlibat jaringan Villa Mutiara. Namun, ia bertahan karena di lokasi itu ia mencari nafkah. Guna melindungi anak-anaknya, IM melarang anak-anak keluar rumah beberapa waktu hingga warga tak lagi membicarakan kasus yang membelit suaminya.
Mengacu data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, selama 2017-2022 terdapat 1.500 pelaku terorisme dan hingga 2018 sebanyak 500 orang di antaranya napi terorisme. Dengan asumsi setiap pelaku tindak terorisme memiliki 3-4 anak, diperkirakan ada 4.000-5.000 anak pelaku terorisme. Akan tetapi, regulasi khusus penanganan anak-anak napi terorisme belum ada. Inisiatif yang dilakukan sejumlah lembaga masih dilakukan sporadis.
Padahal, beban ganda yang dialami anak-anak itu akan terus dipikul. AM (20), misalnya, tak bisa melanjutkan sekolah formal dan sulit mencari pekerjaan setelah menjalani hukuman karena terlibat peledakan bom di Gereja Oikumene Kota Samarinda, Kalimantan Timur, 2016.
Meski tak terlibat langsung, AM—saat itu berusia 16 tahun— divonis karena mengetahui aksi yang dirancang ayahnya yang kini masih dipenjara. Maka, AM harus membiayai sendiri hidupnya karena ibunya sudah meninggal. Saat dijauhi masyarakat di kota asalnya, Samarinda, jejaring ekstremisme di sana masih kerap menghubungi AM untuk mengajak kembali bergabung. Hal itu mendorongnya mencari kehidupan baru di Pulau Jawa.
Bekas narapidana terorisme, Sofyan Tsauri, mengatakan, dibutuhkan upaya terstruktur dan sistematis guna memutus rantai radikalisme, terutama di kalangan keluarga teroris. Negara harus bertanggung jawab menyelesaikan persoalan ini. Jika tak ada penyelesaian, ruang ini diisi para teroris. Alhasil, anak-anak napi terorisme sangat mungkin ditarik kelompok-kelompok lama, lalu dicuci otak agar menjadi penerus.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menegaskan, perlu langkah lebih intensif dalam penanganan anak-anak narapidana terorisme. ”Jangan sampai terus anak punya pikiran yang seperti orangtuanya,” ujar Wapres dalam wawancara dengan Kompas, awal Februari lalu.
Menurut Wapres, cukup banyak anak napi terorisme terpapar ideologi terorisme. Ia berharap kegiatan kontraradikalisasi bagi yang belum terpapar dan deradikalisme bagi mereka yang sudah terpapar radikalisme digencarkan lagi. (WKM/CAS/SYA/HAR)