Harga Mahal Sebuah Koordinasi
Pemerintah telah memiliki lembaga serta menyiapkan dana dan program untuk menanggulangi ekstrimisme dan terorisme. Namun, Wapres Amin mengaku, belum ada laporan terbaru tentang seberapa efektif upaya itu dijalankan.
Penanganan terhadap anak-anak dari narapidana terorisme terkesan berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika setiap kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, berkoordinsi menyatukan program-programnya, penanganan terhadap anak-anak narapidana terorisme bisa lebih mudah.
Kurang terkoordinasinya penanganan anak narapidana kasus terorisme (napiter) membuat Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri memilih lebih aktif melakukan pendampingan. Dengan segala keterbatasan anggota dan anggaran, Densus 88 memutuskan memperluas tugas pokok dan fungsinya, dari penegakan hukum ke pendekatan kemanusiaan terhadap keluarga napiter.
Densus 88 menyadari penanganan terorisme tak bisa berhenti dengan penangkapan. Penanganan perlu dilanjutkan dengan pendekatan kemanusiaan terhadap keluarga pelaku terorisme. Atas dasar itu, pada 2018, Densus mulai membina keluarga yang ditinggalkan para pelaku terorisme, termasuk napiter.
Direktur Identifikasi dan Sosial (Idensos) Densus 88 Antitetor Brigadir Jenderal (Pol) Arif Makhfudiharto mengatakan, tugasnya memang mendampingi keluarga yang ditinggalkan pelaku terorisme. Namun, Densus 88 tidak bisa sendirian dan memerlukan peran serta pihak lain, seperti kementerian/lembaga atau pemerintah daerah.
Bukan sekali-dua kali Densus 88 melobi pemda untuk mengakomodasi keperluan anak-anak napiter. Dari membuat KTP, mendaftarkan sekolah, hingga keperluan lain. Namun tidak jarang, mereka kesulitan mengurus keperluan keluarga napiter.
Baca juga : Beban Berganda Anak Narapidana Terorisme
Sebenarnya, menurut Arif, beberapa kementerian memiliki program deradikalisasi. Bahkan, sudah ada badan khusus yang menangani terorisme. ”Jadi, kenapa tidak program pemerintah itu kita sukseskan dengan merawat itu? Kalau kami sendiri, babak belur,” katanya.
Arif menduga kementerian/lembaga atau pemda ragu bertindak menangani keluarga napiter karena khawatir disalahkan jika ada di antara mereka yang kembali ke jalan terorisme. Ada pula kekhawatiran anggaran atau program yang diberikan justru dimanfaatkan untuk kepentingan terorisme.
Meski tak mau menyalahkan lembaga lain, Arif mengusulkan agar upaya penanganan terorisme diorkestrasi satu lembaga khusus. Apalagi saat ini, sudah ada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Sistematis
Tak hanya terkoordinasi dengan baik, memutus mata rantai radikalisme dan terorisme juga perlu langkah yang struktur dan sistematis dari negara. Jangan sampai anak-anak pelaku terorisme kembali dan melanjutkan apa yang dilakukan orangtua mereka.
Baca juga: Butuh "Sekampung" Lepaskan Ekstremisme dari Anak Napi Terorisme
Sebab, menurut Sofyan Tsauri, seorang mantan napiter, anak-anak napiter sangat mungkin ditarik kelompok- kelompok lama. Direkrut, dicuci otak, dan kemudian menjadi penerus orangtuanya. ”Ini bahaya kalau tidak dicegah karena akhirnya mereka akan menjadi para pelaku teroris selanjutnya di masa depan,” katanya.
Sofyan melihat, sejauh ini para pemangku kepentingan yang menangani penanggulangan terorisme, baik BNPT, Densus 88, maupun lembaga lain, belum secara utuh memutus mata rantai itu. Oleh karena itu, diharapkan, lembaga-lembaga tersebut juga memikirkan pendidikan anak-anak napiter. Pemerintah bisa menyekolahkan anak-anak napiter di pesantren moderat.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Masykuri Abdillah pun melihat upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga napiter, terutama menyekolahkan anak-anak mereka, itu belum sepenuhnya dilakukan. Padahal, ada bermacam risiko seandainya terjadi kesalahan dalam menangani anak-anak napiter, salah satunya kembali direkrut kelompok radikal.
Pemerintah sudah memiliki dua program, yakni kontraradikalisasi bagi mereka yang belum terpapar dan deradikalisme bagi mereka yang sudah terpapar paham radikalisme. Kedua program itu sudah terangkum dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) di bawah kendali BNPT
Masykuri mengakui, terkadang masih terjadi miskoordinasi dalam program deradikalisasi sehingga terlihat antarkementerian/lembaga berjalan sendiri-sendiri. Karena itu, tahun lalu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menggelar rapat koordinasi antarkementerian/lembaga untuk memonitor dan mengevaluasi sejauh mana program deradikalisasi dan kontraradikalisme berjalan. ”Rapat untuk mengoordinasikan sudah ada sehingga tinggal aksinya,” katanya.
Program-program deradikalisasi terstruktur juga sudah disiapkan. ”Ada program, ada dana untuk pendidikan anak-anak napiter. Kalau mereka tidak mampu, mereka dibebaskan (dari biaya pendidikan), ada beasiswa. Kalau tidak mampu beli buku, harus dikasih. (Hal-hal seperti) Ini sudah dilakukan walau belum merata,” ujar Masyukuri, yang juga menjabat sebagai Staf Khusus Wapres.
Wapres menegaskan, pemerintah sudah memiliki dua program, yakni kontraradikalisasi bagi mereka yang belum terpapar dan deradikalisme bagi mereka yang sudah terpapar paham radikalisme. Kedua program itu sudah terangkum dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) di bawah kendali BNPT. Begitu pula upaya menangani masalah yang dihadapi anak- anak juga tertuang di dalam RAN PE.
Secara nasional, pelaksanaan RAN PE ini melibatkan semua kementerian. Namun, Wapres mengaku belum mendapatkan laporan terbaru terkait seberapa efektif pelaksanaan RAN PE itu. ”Mungkin kami akan dalami. Tetapi yang jelas, persoalan itu harus menjadi bagian yang tidak boleh kita abaikan,” kata Wapres.
Direktur Deradikalisasi BNPT Brigjen (Pol) R Achmad Nurwakhid mengungkapkan, koordinasi antarlembaga sebenarnya sudah dijalankan. Dalam penanganan anak korban radikalisme dan terorisme, misalnya, BNPT berkoordinasi dengan kepolisian, khususnya Densus 88, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pemerintah daerah, serta masyarakat.
Salah satu wujud nyata koordinasi tersebut adalah reunifikasi anak deportan warga negara Indonesia yang telah terpapar radikalisme dan terorisme pada tahun 2016-2018. Selain itu juga dalam menangani anak- anak pelaku bom Surabaya tahun 2018, BNPT berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak.
BNPT dan Kementerian Pendidikan juga telah bekerja sama memberikan beasiswa kepada anak napiter melalui Program Indonesia Pintar (PIP). ”Program yang menyentuh akar permasalahan seperti pendidikan ini diharapkan dapat memutus mata rantai penyebaran virus radikal-terorisme,” ujarnya.
Baca juga: Balada Para Pemberontak Kecil
Walaupun demikian, Nurwakhid mengakui masih dibutuhkan optimalisasi penanganan anak korban radikalisme dan terorisme. Penanganan dapat berjalan lebih optimal melalui mekanisme perumusan kebijakan yang lebih sinergi, melibatkan seluruh lembaga pemerintahan serta mengedepankan aspek berkelanjutan. (WKM/CAS/SYA/HAR)