Tepatkah Kebijakan ERP Diberlakukan di DKI Jakarta?
Pengalaman Singapura dan Hong Kong menunjukkan dampak positif dari kebijakan jalan berbayar. Diperlukan kesiapan matang agar ERP tak jadi beban masyarakat. Bagaimana dengan kesiapan Jakarta?
Sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan persoalan kemacetan di DKI Jakarta, pemerintah berencana menerapkan kebijakan jalan berbayar (electronic road pricing/ERP).
Pengalaman beberapa kota, seperti Singapura dan Hong Kong, menunjukkan dampak positif dari kebijakan ini. Tentu tetap diperlukan kesiapan matang agar kebijakan jalan berbayar ini tidak malah menjadi beban tambahan bagi masyarakat.
Kemacetan telah menjadi salah satu ciri khas dari DKI Jakarta. Persoalan menahun ini sulit untuk diselesaikan meski berbagai kebijakan, seperti 3 in 1 dan ganjil genap, telah diambil.
Diperlukan kesiapan matang agar kebijakan jalan berbayar ini tidak malah menjadi beban tambahan bagi masyarakat.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah semenjak akhir tahun lalu tengah menggodok kebijakan baru, yakni jalan berbayar (road pricing) atau pengendalian lalu lintas secara elektronik (PL2SE)/congestion charging.
Pada intinya, jalan berbayar ini adalah kebijakan di mana para pengendara kendaraan harus membayar ketika menggunakan ruas-ruas jalan tertentu. Harapannya, para pengguna yang keberatan untuk membayar kemudian mengurungkan niat untuk menggunakan ruas jalan tertentu dan beralih ke jalan atau moda transportasi alternatif. Ujungnya, beban penggunaan jalan tersebut akan berkurang sehingga kemacetan bisa diurai.
Baca juga: Jalan Berbayar, Antara Harapan Warga dan Kendala Regulasi
Pelajaran dari Singapura
Kebijakan jalan berbayar ini sebetulnya sudah bukan hal yang baru. Beberapa kota di dunia yang mengalami persoalan kemacetan telah lebih dahulu mengambil kebijakan ini. Salah satu kota yang dianggap cukup berhasil memanfaatkan kebijakan road pricing ini adalah Singapura.
Kebijakan jalan berbayar di Singapura telah berjalan cukup lama. Setidaknya, kebijakan ini sudah dijalankan selama lebih dari dua dekade. Bahkan, sebelum diberlakukan di 1998, kebijakan ini telah diuji coba sedari 1975. Hal ini menunjukkan bahwa agar bisa berjalan dengan baik, dibutuhkan waktu hingga puluhan tahun dalam kasus Singapura.
Pada awalnya, kebijakan jalan berbayar ini diterapkan dalam skema area(area licensing scheme/ALS). Area yang menjadi fokus utama dari kebijakan ini adalah pusat distrik bisnis (central business district/CBD) di kawasan Orchard Road. Untuk mengawal keluar masuk kendaraan, Pemerintah Singapura menempatkan 28 titik pengawas di sekitar jalan tersebut.
Untuk bisa melewati area tersebut, para pengendara harus membeli tiket yang dijual di beberapa titik seperti pom bensin atau kantor pos. Tiket ini juga dijual dengan berbagai macam variasi, mulai dari tiket harian hingga bulanan.
Saat itu, tiket dijual dengan harga yang sedang, tidak terlalu mahal tapi tidak tergolong murah, di angka 3 Dollar Singapura. Sedangkan, bagi para pengendara yang kedapatan “nakal”, akan dikenai denda sebesar 5 Dollar Singapura.
Karena bertujuan untuk mengurai kemacetan di jam-jam padat, mirip seperti kebijakan ganjil genap di DKI Jakarta saat ini, kebijakan ALS ini diberlakukan di jam tertentu. Pada awalnya, pemerintah Singapura menetapkan kebijakan tersebut selama jam 7.30 sampai 9.30. Namun, karena sudah dirasa kurang efektif, kebijakan ALS ini diperpanjang menjadi pukul 7.30 hingga 18.30.
Seiring dengan berjalannya waktu, persoalan kemacetan di Singapura mulai menjalar di jalan-jalan lain di luar area CBD. Berbeda dengan kemacetan yang ada di area perkantoran, kemacetan di area lain lebih banyak didorong oleh makin banyaknya kepemilikan kendaraan di Singapura pada masa 1980 hingga 1990-an.
Untuk merespons hal ini, yang berbarengan juga dengan momentum kemajuan teknologi informasi, kebijakan ALS pun dirombak. Untuk menggantikan sistem ALS, pemerintah Singapura pun memperkenalkan kebijakan ERP pada 1998.
Berbeda dengan sistem area, di mana pembayaran masih banyak melibatkan sistem manual, kebijakan ERP dilakukan berbasis elektronik. Sistem ERP ini dijalankan menggunakan teknologi Radio Frequency Identification/RFID yang dipasang di mobil maupun motor. Ketika melintas di ruas jalan yang berbayar, saldo milik para pengendara pun secara otomatis akan terpotong.
Harga yang dikenakan kepada kendaraan pun bervariasi. Harga yang lebih mahal akan dikenakan pada kendaraan yang melintas pada jam-jam padat seperti di pagi dan sore hari. Perbedaan harga ini juga didasarkan pada jenis kendaraan, apakah kendaraan untuk keperluan komersil atau kendaraan pribadi. Kebijakan ERP ini lah yang kemudian dipertahankan oleh pemerintah Singapura hingga saat ini.
Kesuksesan ERP ini diakui oleh berbagai kalangan. Salah satu negara yang terinspirasi oleh kebijakan ERP ini adalah Inggris. Tak lama setelah ERP diberlakukan di Singapura, pemerintah Inggris pun mengambil kebijakan serupa untuk bisa mengatasi persoalan kemacetan di London sejak 2003.
Baca juga : Tarik Ulur Kebijakan Jalan Berbayar Elektronik
Bukan solusi tunggal
Di atas kertas, kebijakan ERP ini nampak manis. Pertama, kebijakan ini bisa mendatangkan pendapatan tambahan bagi pemerintah daerah. Tentunya, anggaran tambahan ini bisa digunakan untuk berbagai keperluan seperti meningkatkan kualitas dan kuantitas transportasi publik hingga perbaikan jalan.
Selain bisa mengurai kemacetan dan mendapat dana segar, kebijakan ini juga bisa mengurangi polusi udara akibat membludaknya penggunaan kendaraan pribadi.
Meskipun begitu, betapapun suksesnya ERP di Singapura, kebijakan ini tidak bisa berdiri sendiri. Di samping ERP, terdapat berbagai kebijakan lain yang diambil pemerintah negara tersebut untuk bisa menyelesaikan persoalan kemacetan.
Salah satu kebijakan yang secara konsisten diambil oleh Pemerintah Singapura adalah pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi. Hingga saat ini, sulit bagi warga Singapura untuk bisa memiliki kendaraan pribadi karena adanya sistem kuota. Meskipun mereka memiliki dana untuk membeli, belum tentu mereka bisa mendapat “jatah” kepemilikan kendaraan saat itu juga.
Pajak kepemilikan kendaraan di Singapura terbilang mahal, yakni mulai dari 20 persen dari harga kendaraan. Ditambah lagi, umur kendaraan di Singapura juga tidak panjang. Pasalnya, masyarakat diwajibkan untuk menghancurkan mobil yang usianya telah mencapai 10 tahun apabila tidak ingin membayar pajak tambahan yang cukup mahal.
Maka, sukses dari ERP di Singapura tidak bisa dilihat dalam kerangka satu kebijakan saja. Berbagai kebijakan transportasi lain, seperti pembatasan kendaraan pribadi dan pembangunan infrastruktur transportasi publik secara besar-besaran, ikut ambil andil yang tak kalah besar dalam keberhasilan Singapura mengelola mobilisasi warganya.
Selain itu, kebijakan ERP ini memerlukan investasi yang tak murah. Agar bisa berjalan dengan maksimal, pemerintah perlu memastikan integrasi yang mulus antara data kepemilikan kendaraan, sistem pemantauan lalu lintas hingga sistem pembayaran. Tentunya, butuh waktu, upaya serta komunikasi lintas lembaga yang apik agar hal tersebut bisa terjadi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Menelisik Kebijakan Jalan Berbayar di Jakarta