Jalan Berbayar, Antara Harapan Warga dan Kendala Regulasi
Penerapan jalan berbayar diharapkan dapat mengurangi kemacetan di DKI Jakarta. Namun, diperlukan regulasi yang tepat dan kesiapan transportasi publik untuk menampung masyarakat yang beralih moda transportasi.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja menyiapkan penggunaan gerbang jalan berbayar (electronic road pricing/ERP) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (13/11/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian warga berharap jalan berbayar atau electronic road pricing diterapkan untuk mengurangi kemacetan di DKI Jakarta. Perjalanan panjang kebijakan jalan berbayar kini terkendala dalam tahap regulasi.
Electronic road pricing (ERP) merupakan kebijakan pemberlakuan jalan berbayar untuk setiap kendaraan pribadi yang melewati jalan-jalan tertentu. Ketentuannya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek).
Linda Kartika (34), pekerja yang setiap hari melewati Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, berharap ERP dapat diterapkan di beberapa lokasi Jalan Daan Mogot. Walakin, dari rumahnya di Grogol Petamburan, Jakarta Barat, ia masih menggunakan kendaraan pribadi untuk mencapai tempat kerjanya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
”Saat ini masih lebih murah menggunakan kendaraan pribadi ketimbang transportasi publik. Tetapi, kalau harga perjalanan dengan kendaraan pribadi meningkat, berarti saya mulai latihan lagi naik KRL (kereta rel listrik/kereta komuter) dan bus Transjakarta,” ujarnya, Rabu (2/11/2022).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gerbang jalan berbayar (electronic road pricing/ERP) yang sudah disiapkan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (17/9/2018).
Namun, sebelum beralih menggunakan transportasi umum, peningkatan fasilitas terlebih dahulu mesti diprioritaskan. Pasalnya, menggunakan angkutan umum, menurut Linda, masih rawan terjebak kemacetan.
Senada dengan Linda, Kasmono (62), warga Kelurahan Paseban, Jakarta Pusat, saat ditemui di Dukuh Atas mengatakan masih menunggu penerapan kebijakan ERP. Kemacetan yang harus dihadapi saat berkendara dengan kendaraan pribadi setiap pagi dan sore, menurut dia, sangat menguras energi.
”Agar tidak terjebak macet, saya harus berangkat satu jam lebih awal. Saya masuk kerja pukul 06.30, tetapi pukul 05.30 harus sudah berangkat supaya sampai di tempat kerja sekitar pukul 05.45. Kalau pulang kerja pasti terjebak macet, sekitar satu jam baru bisa sampai rumah,” katanya.
Jarak dari rumahnya menuju tempat kerja di Dukuh Atas sekitar 8 kilometer atau 15 menit jika tidak ada kemacetan. Adapun penerapan ERP akan membuat pengguna kendaraan pribadi berpikir lagi untuk berkendara di ruas jalan tertentu sehingga mengurangi jumlah kendaraan.
ERP menurut rencana diterapkan di tiga ring. Ring 1 meliputi Sudirman-Thamrin. Ring 2 di luar Sudirman-Thamrin, seperti Jalan Rasuna Said dan Jalan Gatot Subroto. Ring 3 di jalan nasional atau jalan provinsi di luar DKI Jakarta, misalnya Jalan Margonda Raya di Depok, Jalan Raya Bekasi, dan Jalan Kalideres ke arah Tangerang (Kompas.id, 14/11/2019).
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo di Jakarta, Selasa (1/11/2022).
Kendala regulasi
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan saat ini masih fokus pada persiapan regulasi atau pengaturan dari ERP. Beberapa kali dilakukan lelang sistem teknologi ERP, tetapi masih gagal.
”Akar masalahnya adalah regulasi. Sejak 2015 telah dilakukan beberapa kali lelang dan terpantau selalu gagal,” ujarnya.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Rany Mauliani menyebutkan, penerapan ERP masih dalam tahap pembahasan aturan. Ini karena ada penerapan sistem pembayaran sehingga butuh sosialisasi dan edukasi yang jelas kepada masyarakat.
”Menunggu pembahasan dari Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta. Selain itu, kalau memang itu terbaik untuk Jakarta, tidak ada alasan untuk tidak mendukung,” ungkapnya.
Jika ERP diterapkan pada lokasi yang strategis sebagai tempat bisnis atau perputaran uang, itu melanggar PP Nomor 12 Tahun 2019.
Menurut anggota Bapemperda dan Komisi C DPRD DKI Jakarta, Anthony Winza Probowo, ERP belum tepat untuk diterapkan saat ini di DKI Jakarta. Hal ini mengingat transportasi publik di DKI Jakarta belum mumpuni untuk menjadi alternatif kendaraan pribadi.
ERP dinilai berpotensi melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 32 menyebutkan, pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi serta menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan ekspor/impor yang merupakan program strategis nasional.
”ERP dapat menghambat mobilitas penduduk karena membatasi pergerakan kendaraan pada daerah-daerah tertentu. Selain itu, jika ERP diterapkan pada lokasi yang strategis sebagai tempat bisnis atau perputaran uang, itu melanggar PP Nomor 12 Tahun 2019,” ucapnya.
Namun, ada juga aturan hukum lain yang mengatur ERP agar tetap sesuai. Beberapa di antaranya adalah Peraturan Daerah No 1/2012 tentang Rencana Tata Ruang DKI Jakarta 2030, Perda No 1/2014 tentang Transportasi, Peraturan Gubernur (Pergub) No 103/2007 tentang Pola Transportasi Makro, dan Undang-Undang No 22/2009 tentang Lalu Lintas. Ada juga Pergub No 149/2016 tentang Pengendalian Lalu Lintas Jalan Berbayar Elektronik, PP No 32/2011 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta PP No 97/2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas.
”Pada intinya, saya sepakat dengan ERP, tetapi pemerintah DKI Jakarta masih perlu mempersiapkan transportasi umum yang memadai agar dapat menampung masyarakat pasca-peralihan moda transportasi,” ujarnya.
Merujuk data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya 2022, puncak kemacetan di DKI Jakarta terjadi pada pukul 06.30-10.00 dan pukul 15.30-20.30. Selain itu, terdapat pertumbuhan kendaraan sekitar 3 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen per tahun.
Oleh karena itu, Polda Metro Jaya juga telah memetakan masalah dalam pembatasan penggunaan kendaraan bermotor, di antaranya mudahnya memiliki kendaraan bermotor secara kredit dengan down payment (DP) nol persen, pajak kendaraan yang relatif murah, dan harga mobil serta biaya bahan bakar yang di bawah negara lain. Kemudian, pajak kendaraan merupakan penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) terbesar DKI Jakarta.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan mengatakan, biaya penggunaan kendaraan pribadi yang murah membuat masyarakat tetap memilihnya sebagai moda transportasi. Diperlukan dorongan, seperti peningkatan harga parkir, jalan berbayar, dan hal lain, yang membuat penggunaan kendaraan pribadi menjadi mahal.
”Ketika menggunakan kendaraan pribadi itu mahal, maka masyarakat akan beralih ke transportasi publik. Dominasi masyarakat yang menggunakan transportasi publik mampu mengurangi kemacetan di Jakarta,” katanya, Selasa (1/11/2022).
Senada dengan Tigor, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno menyebutkan, dalam konsep push (mendorong masyarakat keluar dari kendaraan pribadi) dan pull (menarik masyarakat menggunakan transportasi publik), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baru melakukan pull saja.
Salah satu langkah konkret, menurut Djoko, adalah penerapan ERP. ”Meningkatkan biaya yang dibutuhkan masyarakat untuk kendaraan pribadi akan mendorong mereka beralih menggunakan transportasi publik,” ucapnya, Senin (31/10/2022).