Menelisik Kebijakan Jalan Berbayar di Jakarta
Pemprov DKI Jakarta tengah mencari cara mengatasi macet, salah satunya dengan penerapan jalan berbayar elektronik atau ERP. Cara ini mengatur penggunaan jalan pada kawasan tertentu agar tidak melampaui kapasitasnya.

Tampilan tren kemacetan di Jakarta pada situs Tomtom Traffic Index menunjukkan tren kenaikan hingga 38 persen di pekan pertama Maret 2021. Meski begitu, kemacetan ini masih tergolong sedang (average).
Masih teringat dengan jelas, saat awal pandemi Covid-19, situs daring yang membuat pemeringkatan kemacetan kota-kota di dunia mencatat, angka kemacetan Jakarta turun jauh.
TomTom Traffic Index mencatat sampai dengan 2019, Jakarta ada di posisi 10 besar dunia kota termacet dari 216 kota dengan tingkat kemacetan 59 persen. Pada 2020, di tahun pertama pandemi, posisi Jakarta turun di 31 dunia dengan tingkat kemacetan 36 persen.
Pada 2021, posisi Jakarta turun lagi, di posisi 46 dunia dengan tingkat kemacetan 34 persen. Lalu pada Januari 2023, tingkat kemacetan harian mencapai 60 persen hingga 90 persen.
Baca juga: Penerapan Jalan Berbayar Elektronik di DKI Jakarta Menanti Penerbitan Perda
Tiga tahun ke belakang, betul, kemacetan terkendalikan. Bahkan polusi udara juga rendah, yaitu dengan adanya pandemi Covid-19 dan pembatasan kegiatan masyarakat yang ketat.
Pada 2023, ketika pemerintah sudah melonggarkan pembatasan, aktivitas masyarakat kembali tinggi, tingkat kemacetan kembali lagi seperti sebelum pandemi-19. Apabila sebelum 2019 Pemprov DKI berupaya mencari strategi mengatasi kemacetan dan kemudian menerapkan pembatasan kendaraan dengan ganjil genap, demikian juga pada 2023 ini.

Mulai 6 Juni 2022, Pemprov DKI Jakarta memperluas zona ganjil genap dari 13 lokasi menjadi 25 lokasi.
Sampai saat ini, ganjil genap masih berlaku, tetapi Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan DKI Jakarta berupaya menerapkan kebijakan pembatasan kendaraan lebih lanjut dengan hendak menerapkan kebijakan jalan berbayar elektronik (JBE) atau electronic road pricing (ERP). Saat ini posisi kebijakan tersebut masih dalam pembahasan di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta untuk mendapatkan payung hukum penerapan.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo dalam pembahasan tentang ERP bersama Bapemperda DPRD DKI Jakarta akhir 2022 yang kemudian dilampirkan lagi dalam rapat kerja dengan Komisi B DPRD DKI Jakarta, Senin (16/1/2023) lalu menjelaskan urgensi penerapan ERP atau dałam bahasa Dinas Perhubungan dijelaskan sebagai pengendalian lalu lintas secara elektronik (PL2SE) atau congestion charging.
PL2SE merupakan metode pengendalian lalu lintas yang bertujuan untuk mengurangi permintaan penggunaan jalan sampai kepada suatu titik penggunaan jalan tidak lagi melampaui kapasitas jalan.
Baca juga: DKI Siapkan Naskah Perda ERP
Sebagai salah satu strategi pengendalian kemacetan, Syafrin memaparkan situasi lalu lintas dari kajian Study on Integrated Transportation Master Plan (SITRAM) dan Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI) 2002-2018 I dan II. Studi memperlihatkan peningkatan ketergantungan terhadap kendaraan pribadi, yang disebabkan rendahnya pertumbuhan investasi infrastruktur transportasi perkotaan, dibandingkan dengan pertumbuhan pergerakannya (akibat pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi).
Pada 2010, penggunaan mobil untuk berkomuter di DKI Jakarta sebesar 14,7 persen; penggunaan sepeda motor 61,2 persen; sementara penggunaan angkutan umum 22,7 persen. Kemudian pada 2018, persentase penggunaan itu berubah. Penggunaan mobil meningkat menjadi 21,5 persen; sepeda motor menjadi 68,3 persen; dan penggunaan angkutan umum turun signifikan menjadi 6,9 persen.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F11%2F13%2F0b234b4a-2c94-44fe-ae0c-f9a2193335b5_jpg.jpg)
Pekerja menyiapkan penggunaan gerbang jalan berbayar di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (13/11/2018).
Selain kemacetan yang parah, tingginya penggunaan kendaraan bermotor menyebabkan sektor transportasi menjadi sumber utama polusi udara terbesar di DKI Jakarta. Untuk menghindarkan semakin memburuknya kualitas udara Jakarta yang sudah pasti berkorelasi pada kualitas kesehatan masyarakat, serta juga untuk meningkatkan kinerja lalu lintas, penerapan ERP menjadi pertimbangan Pemprov DKI melalui Dinas Perhubungan.
ERP menjadi pertimbangan setelah hasil evaluasi menunjukkan penerapan pembatasan kendaraan setelah kebijakan ganjil genap justru mendorong pertumbuhan kendaraan. Pada 2018, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko menyatakan, ganjil genap justru mendorong pertumbuhan pembelian mobil bekas meningkat hingga 20 persen.
Kalau menurut teori ekonomi yang menjadi dasarnya, maka ERP masuk kategori charging/denda karena menyebabkan negative externalities pada jalan-jalan ketika kondisi macet.
Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno juga menyatakan, ganjil genap yang diterapkan sejak 2016 untuk menggantikan kebijakan 3 in 1 yang sudah diterapkan sejak 2003 di Jakarta, tidak bisa selamanya diterapkan. Itu karena ganjil genap justru mendorong masyarakat untuk memiliki kendaraan lebih dari satu.
Dampak yang terasa sampai saat ini adalah kemacetan Jakarta yang makin parah yang tertangkap TomTom Traffic Index ataupun oleh masyarakat sendiri. Ketambahan pandemi, masyarakat masih waswas untuk naik angkutan umum sehingga demi kesehatan mereka yang memiliki alternatif angkutan memilih naik kendaraan pribadi. Kemacetan Jakarta akhir-akhir ini makin menjadi.
Bukan pajak
Djoko menyatakan, penerapan ERP bisa dilakukan di Jakarta untuk mengatasi kemacetan. Namun tentu saja perlu disiapkan aspek teknis, aspek hukum, aspek pembiayaan, hingga aspek kelembagaan.

Tangkapan layar pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata Djoko Setijowarno.
Dengan ERP, pengguna jalan akan dikenai biaya tertentu jika melewati satu area atau koridor yang macet pada waktu tertentu. Yang perlu dipahami, pungutan ERP bukan pajak, melainkan retribusi.
Pajak adalah pungutan wajib yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan oleh negara, namun setelah melakukan pembayaran atas kewajiban pajaknya, pembayar pajak tidak mendapatkan balas jasa atau kontra prestasi secara langsung. Pajak-pajak seperti pajak kendaraan bermotor, PPH, PPN dikumpulkan terlebih dahulu untuk kemudian digunakan membiayai berbagai macam keperluan publik, seperti jalan, sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, ruang publik.
Retribusi adalah pungutan yang dikenakan kepada masyarakat yang menggunakan fasilitas yang disediakan oleh negara. Berbeda dengan pajak, maka pembayar retribusi mendapatkan kontra prestasi langsung dari apa yang dibayarnya. Misalnya, membayar retribusi parkir, maka orang tersebut berhak memarkir kendaraannya pada ruang parkir yang tersedia.
Dengan membayar retribusi ERP, pengguna jalan dapat menikmati jalanan yang lebih lancar atau dapat izin menggunakan jalan karena bagi yang tidak membayar ERP tidak boleh melintas di jalan tersebut.
”Kalau menurut teori ekonomi yang menjadi dasarnya, ERP masuk kategori charging/denda karena menyebabkan negative externalities pada jalan-jalan ketika kondisi macet. Sementara dasar hukum pungutan kepada masyarakat yang tersedia adalah pajak dan retribusi. Untuk pungutan ERP yang paling mendekati cocok adalah retribusi,” kata Djoko.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F09%2F17%2F7f940d5d-fd57-4a6e-9bdb-f2b9f8799066_jpg.jpg)
Gerbang jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) yang sudah disiapkan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (17/9/2018).
Lantaran dipertimbangkan untuk mengatasi kemacetan, Dinas Perhubungan dalam rancangan peraturan daerah tentang pengendalian lalu lintas secara elektronik merancang retribusi ERP akan diterapkan di 25 ruas jalan.
Namun, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah DKI Jakarta Yusa C Permana dalam penjelasan tertulisnya, Kamis (19/1/2023) menegaskan, ERP sebaiknya diterapkan melingkupi sebuah kawasan yang dilayani angkutan umum massal, bukan berupa koridor jalan. Layanan angkutan umum pada kawasan yang terdampak ERP wajib mampu memenuhi kebutuhan baik secara kuantitas dan kualitas layanan sesuai dengan kebutuhan kawasan yang dilayani.
Artinya, di kawasan yang akan diterapkan ERP, angkutan umum mesti mampu melayani dengan baik kebutuhan mobilitas masyarakat. Pemerintah mesti membenahi dan mengembangkan transportasi umum di kawasan atau koridor ERP atau kawasan yang terdampak secara langsung.
Itu karena ERP sendiri bertujuan mendorong penggunaan angkutan umum, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, memberikan opsi sumber pendanaan pembiayaan angkutan umum, serta mendorong keberlanjutan pengelolaan transportasi perkotaan.
Baca juga : Jalan Berbayar di Ibu Kota Diharapkan Terealisasi Tahun 2022
Apabila ERP diterapkan secara koridor jalan, menurut Yusa, itu berpotensi melimpahkan beban lalu lintas ke koridor lain yang bersifat alternatif ases untuk asal dan tujuan pergerakan lalu lintas yang sama. Konsekuensinya, lanjut Yusa, apabila ERP diterapkan dengan konsep koridor, penerapan ERP mesti dikombinasi dengan strategi manajemen kebutuhan transportasi lainnya seperti kombinasi dengan intelligent traffic control system (ITCS).

ITCS bisa diterapkan di koridor tanpa angkutan umum agar mampu mengurai beban lalu lintas yang terlimpahkan dari koridor ERP. Bersamaan dengan itu juga dilakukan implementasi electronic traffic law enforcement (ETLE) atau tilang elektronik di koridor luar ERP untuk memastikan kedisiplinan lalu lintas.
Pengendalian elektronik
Syafrin Liputo menambahkan, pengendalian lalu lintas secara elektronik ini menjadi penting. Berdasarkan pengalaman, Dishub DKI sudah menerapkan dua model atau dua sistem pengendalian lalu lintas.
”Pertama 3 in 1. Ternyata kurang efektif karena yang ingin masuk kawasan ini sebelumnya sudah ada para joki, mereka membayar joki. Kemudian dievaluasi. Sekarang kita masuk ke prinsip penerapan ganjil genap atau pelat nomor. Sekarang juga penambahan kendaraan bermotor di Jakarta dan Jabodetabek cukup masif,” kata Syafrin.
Selanjutnya, pengendalian lalu lintas secara elektronik dan penggunaan jalan berdasarkan biaya kemacetan (congestion pricing) akan diterapkan.
Syafrin berpandangan, apabila dengan ERP justru memindahkan kemacetan, itu menjadi pilihan masyarakat. Pilihannya, masyarakat bermobilitas lebih efisien dengan angkutan umum atau harus mengeluarkan biaya lebih untuk beralih agar ada berada di tingkat kenyamanan yang sama di jalan.
“Ini tentu kita berikan ke masyarakat,” ujar Syafrin.
Saya pikir masyarakat pasti akan memilih itu, tanpa harus digiring dengan pemberlakuan ERP dan sebagainya (Ismail)
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F02%2Fe3b1006a-d6a9-4a2e-b527-ff6bdeef9ff0_jpg.jpg)
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo
Ketua Komisi B Ismail menyatakan, strategi pengendalian kemacetan lalu lintas jangan sampai menimbulkan beban baru kepada masyarakat pengguna. “Kalau tujuannya mengurai kemacetan, dengan mengoptimalkan ganjil genap sebenarnya bisa,” katanya.
Kemacetan juga bisa dihadapi dengan mengoptimalkan kualitas layanan transportasi umum. “Saya pikir masyarakat pasti akan memilih itu, tanpa harus digiring dengan pemberlakuan ERP dan sebagainya,” kata Ismail.
Ia merujuk pada penjelasan Dishub, ada dua strategi mengelola kemacetan lalu lintas, yaitu pull strategy dan push strategy. Dengan strategi menarik, masyarakat digiring untuk menggunakan transportasi umum, strategi mendorong dengan menerapkan satu peraturan bagi pengguna jalan tertentu.
”Nah ini kan harus imbang, kalau kita berikan pelayanan yang baik di transportasi massal, maka sebuah keniscayaan masyarakat akan pindah ke sana. Tanpa harus ada push strategy yang lebih membebani,” kata Ismail.
Baca Juga : Heru Budi : Pembahasan dan Penyiapan ERP Melalui Tahapan Panjang
Terkait pandangan-pandangan tentang ERP, Djoko menggarisbawahi, untuk mengatasi kemacetan di Jakarta dengan menerapkan ERP, diperlukan kemauan besar untuk melaksanakan strategi guna membatasi penggunaan kendaraan pribadi.
Yang perlu dipahami, kalau kebijakan ganjil genap dan 3 in 1, Pemprov. DKI Jakarta lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk pengawasan, penjagaan dalam penegakan aturan ganjil genap. Untuk penerapan ERP, Pemprov DKI Jakarta akan mendapatkan pemasukan yang bisa dipakai untuk mendanai subsidi dan memperbaiki angkutan umum.