Analisis Litbang ”Kompas”: Wabah ”Lumpy Skin Disease” dan Tantangan Baru Kemandirian Pangan Nasional
Wabah LSD berpotensi besar mengancam ketahanan pangan nasional karena memicu penurunan produksi susu hewan ternak.
Wabah lumpy skin disease yang berjangkit pertama kali di Indonesia semakin mengancam kemandirian pangan nasional. Penyakit yang umumnya menyerang sapi perah itu sangat berdampak pada penurunan produksi susu sapi. Hal ini kian merapuhkan kemandirian produksi susu nasional yang selama ini didominasi oleh produk impor.
Belum sepenuhnya pulih dari penyakit mulut dan kuku (PMK) , dunia peternakan Indonesia kini dilanda wabah lainnya, yakni lumpy skin disease (LSD). Berbeda dengan penyakit mulut dan kuku yang sudah berulang-ulang mewabah di Indonesia, LSD baru pertama kali ditemukan di Indonesia pada Februari 2022, tepatnya di Provinsi Riau. Penyakit dengan gejala adanya benjolan pada kulit ternak itu akhirnya masuk ke Indonesia setelah hampir satu abad mampu diantisipasi dan dihindari.
Awalnya, kasus LSD dianggap sebagai penyakit Afrika lantaran hanya terkonfirmasi di benua tersebut sejak 1929. Namun, pada 1989 LSD mulai ditemukan di luar Afrika, yakni di Mesir. Setelah dua dekade berselang, wabah tersebut menyebar ke negara-negara Timur Tengah dan Eropa. Hingga pada 2019, penyakit ternak tersebut meluas ke Benua Asia, seperti di China, India, hingga Vietnam.
Tiga tahun kemudian, LSD masuk ke negara tetangga, yakni ke Thailand dan Malaysia. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan pencegahan dini mengingat lokasi penyebaran virus kian dekat. Tak lama kemudian, penyakit yang juga dapat menyebar melalui serangga tersebut akhirnya masuk ke Indonesia. Kendati Indonesia tidak mengimpor hewan ternak dari negara terpapar LSD, tetapi kedekatan wilayah antara Indonesia dan Malaysia membuat wabah tersebut tak lagi dapat dihindari.
Kini, penyakit kulit tersebut tak hanya terjadi di daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia saja, tetapi juga sudah menyebar hingga ke Pulau Jawa. Bulan Oktober tahun lalu, sejumlah kasus ditemukan di Boyolali dan sejumlah kecamatan di wilayah Semarang, Jawa Tengah.
Baca Juga: PMK Menjauhkan Peternak dari Kesejahteraan
Merujuk data Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (iSIKHNAS), telah ditemukan 11.474 kasus LSD di enam provinsi di Indonesia pada 18 November 2022. Belum berhenti di situ, kasus-kasus baru kembali ditemukan. Salah satunya di Salatiga, Jawa Tengah, pada awal tahun ini. Bahkan, Koordinator Tim Pakar Penanganan PMK Nasional, Wiku Adisasmito, mengatakan bahwa LSD berpotensi meluas hingga NTT pada pertengahan tahun ini (Kompas, 5/12/2022).
Kemandirian Pangan
Jika terus meluas, wabah tersebut tak hanya mengancam dunia peternakan nasional, tetapi juga upaya mewujudkan kemandirian pangan nasional. Pasalnya, penyakit LSD lebih banyak ditemukan pada jenis sapi perah. Sejumlah hasil pemeriksaan dan penelitian menemukan sapi perah yang terpapar LSD akan mengalami penurunan produksi susu.
Hal tersebut menjadi tantangan besar bagi Indonesia lantaran saat ini pasokan susu segar dalam negeri masih sangat kurang. Merujuk data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, produksi susu segar nasional per tahun kurang dari satu juta ton. Padahal, kebutuhan susu segar dalam negeri mencapai lebih dari empat juta ton per tahun.
Sebagai contoh, tahun 2020, kebutuhan susu segar nasional mencapai 4,38 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri hanya sebesar 997.400 ton. Alhasil, kekurangan tersebut harus selalu ditambal dengan komoditas impor. Kondisi demikian sudah berlangsung sejak bertahun-tahun lamanya, dengan persentase impor hampir mencapai 80 persen dari total kebutuhan susu segar nasional.
Produksi susu domestik yang masih sangat terbatas tersebut berpotensi kian diperparah dengan munculnya LSD. Sebagai gambaran, jika setengah dari 11.000 sapi yang terpapar LSD adalah sapi perah, setidaknya ada 5.500 sapi perah yang kemungkinan besar akan mengalami penurunan produksi susu.
Pada umumnya, sapi perah lokal akan menghasilkan susu sapi sekitar 13-15 liter per sehari. Jika penurunan produksi sebanyak lima liter per hari per sapi, setidaknya akan terjadi penurunan produksi susu sapi sekitar 10.000 ton setahun. Angka penurunan ini akan kian besar apabila kasus penularan LSD kian merajalela dan sulit tertangani.
Wabah LSD ini hampir mirip dengan PMK, di mana dapat menyebabkan kematian pada sapi atau hewan yang terjangkit. Jadi, kedua penyakit itu, baik LSD atau pun PMK sangat besar pengaruhnya pada produksi susu sapi.
Baca Juga: Upaya Memutus Rantai Infeksi PMK di Indonesia
Merujuk catatan Kementerian Pertanian per 15 Januari 2023, dari 73.248 sapi perah yang terpapar PMK, 4.142 ekor di antaranya mengalami kematian dan 6.709 ekor lainnya harus dipotong bersyarat. Artinya, populasi sapi perah di Indonesia berkurang sebanyak 10.851 ekor.
Tahun 2021, populasi sapi perah Indonesia sebanyak 578.579 ekor, bertambah 10.579 ekor dari tahun sebelumnya. Namun, dengan kematian dan potong bersyarat akibat PMK tersebut, maka populasi sapi perah Indonesia kembali seperti pada tahun 2020.
Berkurangnya populasi sapi perah hingga sebanyak 10.851 ekor tersebut turut mengurangi produksi susu sapi hingga sekitar 51 ribu ton per tahun. Dengan asumsi seluruh sapi tersebut sedang dalam masa produktif menghasilkan susu sebanyak 13-15 liter per hari.
Dapat dibayangkan apabila wabah PMK ataupun LSD itu sulit diatasi di Indonesia maka ketahanan pangan khususnya komoditas susu nasional akan terus terancam produktivitasnya. Apalagi, LSD juga berpengaruh terhadap kesuburan hewan. Sapi menjadi rentan akan gangguan reproduksi seperti infertilitas sementara dan bahkan bagi sapi jantan akan menyebabkan infertilitas secara permanen. Sapi betina yang tengah bunting pun lebih rawan keguguran apabila terjangkit LSD.
Jika penularan LSD itu terus berkepanjangan, populasi sapi di Tanah Air akan kian terancam. Artinya, LSD membuat Indonesia kian lemah dalam mewujudkan kemandirian pangan khususnya komoditas susu sapi sehingga berpotensi besar mendorong impor susu kian meningkat.
Dampak ekonomi
Berkurangnya populasi dan produksi susu sapi akibat LSD juga berpengaruh besar terhadap penurunan tingkat kesejahteraan peternak sapi. Belum hilang dalam ingatan, PMK yang menyerang hewan ternak di Indonesia tahun lalu masih menyisakan kisah pilu bagi para peternak.
Tidak sedikit peternak di Tanah Air yang harus merugi akibat kehilangan ataupun terpaksa menjual rugi ternak mereka. Merujuk data Kementerian Pertanian, lebih dari 592.000 hewan ternak terpapar PMK. Sebanyak 10.690 di antaranya mati, dan 14.077 dipotong bersyarat. Hingga kini, 15.150 sapi tercatat masih belum sembuh dari PMK.
Jika sudah sembuh, kondisinya belum sepenuhnya normal seperti sebelum terpapar PMK. Contohnya seperti yang diutarakan oleh sejumlah petani di Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Mereka mengeluhkan sapi-sapi miliknya hingga kini belum kembali gemuk kendati sudah diberi makan dan minum secara cukup.
Tak hanya itu, peternak yang lebih banyak memelihara sapi perah itu juga menuturkan bahwa produksi susu sapi lebih sedikit dari sebelumnya. Padahal, susu sapi menjadi andalan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Baca Juga: Cegah PMK, Perbaiki Tata Niaga
LSD pun tampaknya berpotensi membuat peternak mengalami kerugian yang sama seperti halnya wabah PMK. Berbagai penelitian menemukan bahwa LSD membuat sapi akan mengalami penurunan berat badan dan kerusakan kulit akibat benjolan yang pecah. Jika sudah sembuh dari LSD pun, nilai jual sapi berpotensi lebih rendah karena masa tubuh yang berkurang dan bekas luka pada kulit yang dinilai menurunkan nilai ekonominya.
Menanggapi fenomena tersebut, pemerintah, baik pusat maupun daerah perlu bergerak cepat mencegah perluasan virus penyebab LSD. Vaksin LSD yang kini sudah tersedia sejak tahun lalu harus segera didistribusikan secara luas ke seluruh pelosok negeri. Terutama daerah-daerah dengan populasi sapi yang cukup besar seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Pemerintah daerah pun perlu sigap untuk melakukan pemantauan akan lalu lintas hewan ternak guna mencegah penyebaran virus. Sosialisasi kepada para peternak juga penting dilakukan agar peternak tidak panik dan terburu-buru menjual sapi mereka kepada spekulan yang memanfaatkan situasi meraih keuntungan.
Edukasi tentang cara membersihkan dan sterilisasi kandang juga menjadi sangat krusial agar hewan ternak tidak mudah terpapar virus. Bagaimanapun, menyelamatkan sumber daya dalam negeri guna mewujudkan kemandirian pangan menjadi bagian penting yang harus terus diupayakan di tengah situasi global yang tak menentu. (LITBANG KOMPAS)