PMK pernah mewabah di Indonesia pada tahun 1887 dan baru bisa dienyahkan selang sekitar seabad kemudian pada tahun 1990. Kini, virus itu hadir kembali setelah sekitar 32 tahun tak menjangkiti ternak di negeri ini.
Oleh
Agustina Purwanti
·6 menit baca
Setelah menyandang status bebas PMK lebih dari 30 tahun, kini penyakit mematikan pada hewan ternak itu kembali mewabah di Indonesia. Perlu penguatan sektor peternakan sekaligus pembenahan tata niaga yang melibatkan hewan ternak dari luar negeri. Pasalnya, masuknya virus itu disinyalir berasal dari kedatangan hewan impor.
Dua bulan terakhir, kekhawatiran menyelimuti dunia peternakan akibat wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) yang bersifat menular dan akut. Penyakit yang disebabkan oleh virus tipe A dengan genus Aphthovirus dari family Picornaviridae itu pertama kali ditemukan di Gresik, Jawa Timur, pada 27 April 2022. Selanjutnya, pada 6 Mei 2022, kasus serupa terdeteksi di Kabupaten Aceh Tamiang.
Penyakit yang awalnya hanya menyerang sekitar 400 ekor sapi potong itu kini telah tersebar luas. Pada 13 Juni 2022, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mencatat, PMK sudah menyerang 109.236 hewan di 18 provinsi dan 190 kabupaten/kota. Sapi, kerbau, kambing, dan domba menjadi jenis hewan ternak yang banyak terpapar.
Berselang 10 hari, PMK kian meluas lagi dan sudah melanda di 19 provinsi dan 216 kabupaten/kota. Ternak yang terinfeksi melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 235.739 ekor. Bila dirata-rata, ditemukan sekitar 12.600 kasus baru per hari dalam kurun waktu 10 hari itu. Setiap jam diperkirakan terdapat laporan penularan baru lebih dari 500 kasus.
Tingginya angka penularan itu lantaran medium penyebaran virus sangat beragam. Selain melalui udara, transmisi penyebaran juga ditemukan di semua proses ekskresi dan sekresi dari hewan terinfeksi. Misalnya saja seperti air liur, air mani, hingga susu. Selain itu, kondisi ternak yang umumnya terkumpul dalam satu kandang juga kian mengakselerasi penularan virus PMK. Tanpa karantina hewan, penularan pun tak terhindarkan.
Impor
Situasi mencekam bagi dunia peternakan tersebut sejatinya bukan kali pertama bagi Indonesia. Tahun 1887, penyakit serupa masuk ke Indonesia melalui sapi yang diimpor dari Belanda. Sejak saat itu terjadi beberapa kali wabah. Baru pada tahun 1983 wabah PMK berakhir di Jawa melalui vaksinasi massal.
Tiga tahun berikutnya, pemerintah mendeklarasikan bahwa Indonesia sudah terbebas dari PMK secara nasional. Tepatnya tahun 1990, Indonesia secara resmi menyandang status bebas PMK atas pengakuan Badan Kesehatan Hewan Dunia atau Office International des Epizooties (OIE). Sayangnya, wabah itu kembali ditemukan sehingga membuat status Indonesia bebas PMK kini ditangguhkan oleh OIE.
Sama seperti 135 tahun silam, kasus PMK sekarang juga diduga berasal dari hewan ternak yang diimpor dari luar negeri. Hanya saja, bukan dari Belanda. Penularan kali ini salah satunya diduga berasal dari domba yang didatangkan dari Malaysia. Hal tersebut sangat disayangkan karena negeri Jiran ini belum dinyatakan terbebas dari PMK. Selain hewan ternak, Indonesia juga mengimpor daging sejenis lembu dari Malaysia. Naasnya, impor dari Malaysia ini hanya sebagian kecil dari total daging yang diimpor oleh Indonesia.
Selain dari Malaysia, Indonesia juga mengimpor daging dari India yang juga belum dinyatakan bebas dari PMK. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, impor daging sejenis lembu dari India mencapai 76.370 ton. Angka ini menyumbang lebih dari sepertiga dari total impor daging Indonesia.
Di luar dari kedua negara itu, Indonesia juga menjalin kerja sama dengan Jepang terkait importasi daging lembu. Meskipun dalam jumlah kecil, impor ini juga berisiko karena Jepang juga belum masuk ke dalam daftar negara bebas PMK.
Kebijakan membuka keran impor dari sejumlah negara tersebut patut disayangkan. Pasalnya, Indonesia selama ini selektif dalam memilih negara suplier daging dan ternak yang akan diimpor. Sebagian besar masih mengandalkan kiriman daging dari Australia yang persentasenya mencapai 47 persen. Hingga saat ini, Australia masih menyandang status bebas PMK bersama puluhan negara lainnya, seperti Selandia Baru, Spanyol, dan Amerika Serikat.
Tentu saja, mengubah kebiasaan importasi itu membuat mitigasi PMK yang dilakukan selama ini menjadi sia-sia. Stabilisasi harga daging yang menjadi tujuan utama dari impor tersebut justru menjadi bumerang yang mengancam dunia peternakan. Pembatasan ekspor yang dilakukan Australia akibat depopulasi sapi tidak serta merta membenarkan pilihan pemerintah dalam menyubstitusi negara eksportir daging ataupun ternak yang belum terbebas dari PMK.
Ketimpangan
Produksi dan permintaan daging di Indonesia saat ini masih mengalami ketimpangan. Secara nasional, kebutuhan daging rata-rata mencapai 700.000 ton setahun, sedangkan suplainya hanya mencukupi kisaran 60-70 persennya saja. Solusinya, Indonesia harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pada tahun 2010-2020, perkembangan produksi daging di Indonesia cenderung tidak stabil sehingga memerlukan topangan impor yang terus membesar. Selama satu dekade, rata-rata pertumbuhan produksi daging sapi di Indonesia hanya naik sekitar 0,5 persen per tahun. Bahkan, pada daging kerbau, rata-rata produksinya justru minus 6 persen setahun. Di sisi lainnya, tren pertumbuhan impor daging sejenis lembu pada periode yang sama rata-rata naik per tahunnya sekitar 22 persen.
Deskripsi tersebut mengindikasikan bahwa impor daging sejenis lembu dengan jumlah yang terus meningkat itu menjadi solusi guna mencukupi permintaan konsumsi yang stabil tinggi. Pasalnya, produksi daging dalam negeri cenderung stagnan dan bahkan menurun.
Selain itu, tren impor yang membesar ini salah satu tujuannya untuk mencapai cita-cita swasembada pangan dari sisi ketersediaan daging. Kebijakan impor dipilih untuk stabilisasi harga pasar yang cenderung meningkat setiap saat. Apabila keran impor tidak di buka, dikhawatirkan sapi indukan di dalam negeri juga akan ikut disembelih. Akibatnya, swasembada pangan tidak kunjung terwujud karena budidaya sapi tidak berkembang.
Oleh sebab itu, dengan tingginya tingkat ketergantungan daging impor tersebut harus membuat Pemerintah Indonesia kembali selektif dalam memilih negara eksportir. Tanpa hal ini, kebijakan importasi justru dapat menjadi bumerang bagi Indonesia. Banyak hewan ternak tertular dan mati akibat PMK sehingga upaya swasembada pangan pun semakin sulit untuk diwujudkan. Harga daging pun akhirnya melonjak tinggi akibat menurunnya pasokan di pasaran akibat penyakit mematikan ini.
Kini, gerak cepat vaksinasi menjadi salah satu harapan untuk segera menuntaskan ancaman penyakit tersebut. Merujuk data BPS, populasi sapi potong dan perah di Indonesia mencapai kisaran 18,6 juta ekor. Belum lagi domba, kerbau, hingga kambing. Artinya, masih banyak hewan ternak yang bisa diselamatkan guna mencapai cita-cita swasembada pangan.
Pemerintah pun gerak sigap dengan menyetujui pengadaan vaksin pada tahun ini sebanyak 28,7 juta dosis pada Kamis (23/6/2022). Keseluruhan vaksin dibiayai dengan menggunakan dana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Anggaran Program PEN 2022). Pemerintah juga menyiapkan vitamin dan obat-obatan serta kebutuhan disinfektan untuk mendukung pelaksanaan biosecurity.
Selain menyiapkan vaksin dan vaksinator, pemerintah juga mengontrol secara ketat distribusi dan pergeseran hewan ternak. Penjagaan ketat di lokasi lalu lintas hewan dan juga mengontrol penularan virus lewat disinfektan pada setiap orang yang lalu-lalang di kawasan peternakan menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan.
Sejumlah langkah pencegahan tersebut akan semakin akseleratif dampak positifnya apabila disertai dengan pembenahan tata niaga impor. Dengan demikian, status Indonesia bebas PMK dapat segera teraih kembali. (Litbang Kompas)