PMK Menjauhkan Peternak dari Kesejahteraan
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah nasib peternak kecil di Indonesia saat ini. Penyakit mulut dan kuku yang merajalela membuat hidup mereka kian jauh dari kata sejahtera.
Hidup sejahtera kini makin menjauh dari angan-angan peternak kecil yang banyak bermukim di desa. Hewan ternak yang selama ini menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan mereka tak lagi bisa diharapkan sejak penyakit mulut dan kuku (PMK) merajalela.
”Mung siji sing kudu disiapke ngadepi PMK iki, siap melarat bareng-bareng.”
Hanya satu yang perlu disiapkan menghadapi PMK ini, yaitu siap hidup miskin bersama-sama. Begitulah arti ucapan Tugiman, peternak paruh baya yang juga menjadi blantik (perantara dalam jual beli hewan ternak) di Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Nada pesimistis itu muncul lantaran 27 sapi yang ia pelihara kini tak berdaya karena diserang PMK.
Mulut dan lidah yang terluka membuat nafsu makan hewan ternak berkurang. Akibatnya, massa tubuh hewan pun susut. Belum lagi, luka pada kuku kaki membuat sapi dan hewan kuku belah lainnya tak mampu menopang tubuhnya. Tak jarang, hewan ternak yang sudah ambruk pun tak lagi kuat berdiri. Jika sudah begitu, jual rugi menjadi satu-satunya solusi daripada membiarkan hewan itu mati.
Seperti yang dilakukan oleh Suwarti (70), janda yang tinggal di Dusun Dalangan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Ia terpaksa menjual sapi satu-satunya yang ia miliki.
Sebelum PMK melanda, hatinya sempat diselimuti kebahagiaan lantaran sapi yang ia pelihara tengah bunting tua. Namun, apa daya, menjelang waktu sapi melahirkan, PMK datang menjangkiti. Anak sapi berhasil lahir, tetapi seminggu kemudian pedet itu akhirnya mati karena turut terkontaminasi virus PMK.
Induk sapi yang masih bertahan hidup menjadi satu-satunya yang bisa Suwarti andalkan. Namun, fisik yang lemah setelah melahirkan, dibarengi dengan PMK, membuat induk sapi tersebut tak mampu berdiri. Dengan terpaksa, ia menjual sapi kesayangannya itu meski kerugian besar harus ia terima.
Banyak peternak di wilayah tersebut terpaksa memilih keputusan pahit serupa karena dirasa lebih baik daripada menunggu lebih lama. Alih-alih sembuh, yang ada justru kekhawatiran akan ancaman kematian pada hewan ternaknya karena kondisi hewan sangat lemah dan kekurangan asupan makanan.
Kondisi tersebut dialami oleh Rusmin, peternak kecil yang menjadi tetangga Suwarti, yang harus tabah melihat hewan peliharaannya sekarat. Ia harus menyaksikan kematian sapi induk yang ia pelihara lantaran terpapar PMK. Tak kuasa untuk menyembelih sapi miliknya, ia memilih menjual sapi itu kepada blantik. Sapi yang dalam kondisi normal memiliki nilai jual belasan juta rupiah itu hanya dihargai Rp 500.000, setara daging sapi 4 kg di pasar.
Pendapatan berkurang
Tak hanya dirasakan oleh Tugiman, Suwarti, Rusmin, dan peternak di wilayah Getasan, Kabupaten Semarang, PMK itu sekarang menjadi momok bagi peternak di seluruh Indonesia. Penyakit akut ini secara resmi sudah menjangkit di 19 provinsi di Indonesia. Bukan tidak mungkin wabah PMK bisa menyebar ke provinsi lainnya.
Indikasinya terlihat dari penyebaran wabah yang relatif sangat cepat. Pekan lalu kasus PMK ditemukan di 216 kabupaten/kota, tetapi pada minggu ini sudah meningkat lagi dan melanda 221 kabupaten/kota.
Wabah penyakit yang bersifat menular dan akut tersebut berpotesi besar kian menyulitkan hidup para peternak. Semakin memiskinkan sehingga kesejahteraan hidup semakin jauh dari kenyataan. Hal itu juga menurunkan laju pembangunan ekonomi wilayah. Jumlah produksi ternak, susu, dan daging berkurang sehingga menyurutkan kontribusi subsektor peternakan bagi kemajuan daerah.
Merujuk Hasil Survei Pertanian Antar-Sensus (SUTAS) tahun 2018, terdapat 1,2 juta rumah tangga usaha pertanian yang sumber penghasilan utamanya dari sektor peternakan. Secara keseluruhan, terdapat 13,5 juta rumah tangga yang mengusahakan peternakan. Mereka tersebar di semua provinsi di Indonesia. Sentra produksi peternakan terbesar berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Di sejumlah wilayah peternakan itu, terutama yang membudidayakan jenis sapi perah, produk susu merupakan komoditas andalan para peternak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Contoh di wilayah Getasan, para peternak biasanya menerima hasil menjual susu setiap sepuluh hari sekali.
Dengan harga susu sapi Rp 5.400 per liter, setidaknya peternak menerima Rp 270.000-Rp 540.000 per sepuluh hari. Rata-rata produksi susu di wilayah itu berkisar 5-10 liter susu per hari untuk setiap ekor sapi.
Dengan kisaran penghasilan sebesar itu, peternak harus mengalokasikan pendapatan dengan cermat karena harus mencukupi kebutuhan hidup anggota keluarga sekaligus membeli pakan ternak. Peternak harus mengalokasikan pakan sebanyak sapi yang mereka pelihara.
Kebiasaan masyarakat di Getasan, apabila seorang peternak memelihara 3 ekor sapi dengan satu ekor induk sapi, maka urusan pakan sudah terpecahkan. Hasil produksi susu dari satu indukan dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan pakan sapi lainnya.
Namun, Getasan dan juga beberapa daerah lainnya di Indonesia yang wilayahnya didominasi oleh rumah tangga peternak kini sedang terlanda wabah PMK yang masif. PMK membuat produksi susu menyusut dan bahkan terhenti karena sapi tak nafsu makan. Akibatnya, penghasilan rutin peternak berkurang. Sebagian di antaranya bahkan tidak memperoleh penghasilan sama sekali.
Dalam kondisi sulit itu, tuntutan pengeluaran dana untuk membeli pakan tetap harus dilakukan. Pemberian minum dan makan tetap diupayakan dengan harapan sapi kembali bergairah, meski tak jarang berakhir dengan dibuang sia-sia.
Pemenuhan kebutuhan harian keluarga pun tetap menjadi prioritas keharusan. Belum lagi, biaya perawatan selama sapi terpapar PMK tidak murah. Alhasil, besar pasak daripada tiang.
Kesejahteraan
Serangan PMK menambah beban peternak Indonesia yang sudah memprihatinkan. Jika diasosiasikan sebagai buruh, rata-rata upah pekerja di sektor pertanian yang menjadi induk subsektor peternakan merupakan yang terendah dibandingkan sektor lainnya. Hanya setingkat lebih tinggi daripada sektor jasa lainnya.
BPS mencatat, rata-rata upah di sektor pertanian pada awal tahun 2022 hanya sebesar Rp 1,94 juta per bulan. Sedikit lebih tinggi daripada upah sektor jasa lainnya yang sebanyak Rp 1,73 juta. Angka upah sektor pertanian pada tahun ini susut lumayan banyak dari dua tahun silam sebelum terjadi pandemi Covid-19.
Pada 2019, rata-rata upah sektor pertanian sudah menembus angka Rp 2 juta. Meskipun demikian, upah pertanian itu tetap masih terpaut jauh dari rata-rata upah nasional yang mencapai Rp 2,89 juta per bulan. Artinya, upah pertanian relatif sangat rendah sehingga identik dengan kemiskinan dan kekurangan.
Kondisi memprihatinkan dunia pertanian khususnya subsektor peternakan juga tergambar dari nilai tukar petani (NTP) yang belakangan juga menyusut. Dua tahun terakhir, NTP peternakan berada di bawah 100. Angka tersebut mengindikasikan bahwa peternak di Indonesia belum sejahtera. Padahal, sebelum pandemi, besaran NTP subsektor peternakan sudah mencapai angka 108,05.
Penurunan NTP subsektor peternakan tahun 2021 menjadi sebesar 99,19 mengindikasikan bahwa subsektor ini semakin tidak sejahtera karena adanya tekanan virus Covid-19. Dalam kondisi survive ini, peternak dihadapkan lagi pada wabah PMK yang berisiko sangat fatal pada budidaya ternak yang menjadi sandaran penghidupannya. Bukan tidak mungkin, kondisi peternak akan merana, kekurangan, dan kian memprihatinkan.
Bukan hanya dari sisi ekonomi, kesehatan para peternak pun kini dipertaruhkan. Waktu istirahat menjadi berkurang karena sibuk merawat sapi. Alih-alih tidur nyenyak, malam hari terasa begitu panjang karena memikirkan kondisi kesehatan ternak untuk hari-hari berikutnya.
Kini, uluran tangan pemerintah, baik pusat maupun daerah, menjadi satu-satunya harapan bagi para peternak. Realisasi penggunaan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk penanganan PMK sebesar Rp 4,6 triliun pun kian dinantikan. Tak hanya untuk vaksinasi pencegahan, tetapi juga diharapkan dapat menjangkau peternak yang sudah terdampak PMK.
Tidak hanya untuk ternak yang sudah mati, tetapi sebisa mungkin pemerintah juga mempertimbangkan penggantian biaya pengobatan yang sudah dikeluarkan peternak selama wabah PMK ini. Gerak cepat menjadi keharusan, agar peternak di Tanah Air tidak semakin berjarak dengan kesejahteraan. (LITBANG KOMPAS)