Kerusuhan Brasil, Ego Politik dan Peran Media Sosial
Banyak pengamat menilai, pecahnya kerusuhan di Brasil merupakan efek polarisasi saat pemilu dan media sosial menjadi tungku pemanasnya.
Kerusuhan besar terjadi di Brasil pada Minggu, 8 Januari 2023 lalu. Para pendukung mantan Presiden Jair Bolsonaro melakukan aksi kerusuhan di Praca dos Tres Poderes, Brasil. Kerusuhan yang terjadi di alun-alun kota itu berada di dekat tiga gedung kekuasaan negara, Three Powers Plaza, yang meliputi gedung Kongres, Mahkamah Agung, dan Istana Kepresidenan.
Sebelum aksi kerusuhan itu terjadi, dalam 10 minggu terakhir para pendukung mantan Presiden Jair Bolsonaro melakukan demonstrasi protes dengan berkemah di luar markas Angkatan Darat Brasil. Mereka menuntut agar hasil pemilu presiden yang memenangkan Luiz Inacio Lula da Silva tersebut dibatalkan. Aksi ini masih terus berjalan dan mendapat sedikit perlawanan dari pihak militer Brasil.
Pemilu presiden di Brasil pada Okotber 2022 lalu terjadi dalam dua putaran. Pada putaran pertama, hasil pemilu berakhir ketat dengan 43,2 persen suara untuk Bolsonaro dan 48,4 persen suara untuk Lula. Kemudian pada putaran kedua, Lula keluar sebagai pemenang dengan hasil tipis, yakni 50,9 persen suara. Kubu petahana, Jair Bolsonaro, menelan kekalahan dengan mengantongi 49,1 persen suara. Dengan hasil ini, Lula akan mulai memimpin Brasil per Januari 2023.
Namun, capaian Lula dan para pendukungnya tersebut tidak berjalan mulus. Sejak fase kampanye, pelaksanaan pemilu, hingga setelah pengumuman hasil final pun pertarungan antara pendukung Lula dan Bolsonaro terus terjadi. Masyarakat Brasil telah terpolarisasi dan efeknya masih dirasakan hingga hari ini.
Perseteruan tersebut kemungkinan akan terus berlangsung secara pelik baik di level masyarakat hingga elite politik. Apalagi, anggota parlemen yang berada dalam kubu Bolsonaro justru memenangi kursi mayoritas di Kongres. Artinya, selama menjabat nanti Lula akan menghadapi serangan dan penolakan keras dalam menghadirkan kebijakannya di lembaga parlemen.
Kembali pada aksi demo, hari Minggu lalu, banyak penghuni kamp meninggalkan tenda mereka di Brasilia dan bergabung dengan ratusan pengunjuk rasa lainnya untuk menyerbu Praca dos Tres Poderes (Three Powers Plaza). Kerumunan pendemo menyerang ketiga gedung secara sporadis disertai dengan tindakan perusakan atau vandalisme. Dalam rekaman video berita setempat, mereka terlihat memecahkan kaca gedung, membakar karpet ruangan Mahkamah Agung, hingga menghancurkan sejumlah karya seni budaya yang dilindungi UNESCO.
Baca juga: Kemenangan Lula di Brasil Bukan Sekadar Perkara Ideologi
Serangan ini jelas menjadi ancaman demokrasi bagi Brasil dalam beberapa tahun ke depan. Selain itu, para pengamat politik Brasil juga mempertanyakan peran militer yang membiarkan massa pendemo yang berkemah selama lebih dari 70 hari.
Lagipula, bagaimana bisa para pendemo dibiarkan melakukan aksi protes sebegitu dekat dengan area vital pemerintahan Brasil? Mengapa pasukan keamanan kalah jumlah, membiarkan kerumunan pengunjuk rasa dengan mudah masuk ke gedung-gedung resmi pemerintah? Semua pertanyaan kritis ini tentu memunculkan asumsi bahwa militer Brasil masih berada dalam pengaruh kuat Jair Bolsonaro.
Anggapan tersebut segera ditepis Menteri Kehakiman Brasil Flavio Dino yang mengatakan sekitar 1.500 pendemo telah diamankan setelah kerusuhan. Ia juga menyatakan bahwa dua hari sebelumnya, yakni pada Jumat 6 Januari 2023, pihak militer telah merancang keamanan sebagai antisipasi kerusuhan. Sayangnya, secara jumlah ternyata kalah jauh dibandingkan pendemo. Di sisi lain, hakim Mahkamah Agung Alexandre de Moraes mengatakan bahwa kerusuhan ini tidak mungkin terjadi tanpa persetujuan dan partisipasi sejumlah pihak keamanan dan intelijen.
Ego politik
Sebenarnya, saat pemilu presiden yang berjalan secara daring pada Oktober 2022 lalu, masyarakat dihadapkan pada pilihan minus malum. Lula memiliki rekam jejak buruk akibat kasus dugaan skandal korupsi besar-besaran yang menyeret sejumlah perusahaan besar dan politikus. Sementara itu, Bolsonaro hadir sebagai sosok otoriter, berlatar belakang militer, dan kerap dicap sebagai sayap kanan dengan kebijakan-kebijakan yang berhaluan kapitalis liberal.
Keduanya sama-sama pernah menjabat sebagai presiden sebelumnya. Para pendukung Lula mayoritas berasal dari kalangan serikat buruh dan kaum muda. Berbeda dengan tipikal pendukung Bolsonaro yang sebagian besar berasal dari kalangan Kristen Evangelis, pengusaha, dan pemilik tanah di pedesaan.
Pada saat kampanye pemilu, Bolsonaro sepertinya sudah mencium bau kekalahannya dari hasil berbagai survei prapemilu. Ia pun berulang kali menyuarakan keraguannya terhadap keabsahan pemungutan suara meski tanpa menunjukkan bukti apa pun. Setelah hasil kekalahan tipisnya diumumkan, narasi ini makin disuarakan oleh pihak Bolsonaro.
Baca juga: Tantangan Pemerintah Baru Brasil
Para pendukung Bolsonaro juga menandatangani petisi daring yang berisikan tuntutan pembatalan hasil pemilu. Mereka melayangkan tuduhan bahwa ada manipulasi di sejumlah mesin pemungutan suara dan hasil ini seolah-olah merupakan konspirasi terhadap supremasi hukum yang demokratis. Bolsonaro pun menolak hasil kekalahannya, pergi meninggalkan Brasil, dan tinggal di Florida, Amerika Serikat.
Banyak pengamat melihat, aksi kerusuhan di Brasil ini relatif mirip dengan aksi 6 Januari 2021 di Amerika Serikat setelah Biden memenangi pemilu atas Donald Trump. Polanya seperti merepetisi, yakni pasangan calon yang kalah tidak mengakui kekalahannya, para pendukung terus diprovokasi, hingga akhirnya aksi kerusuhan besar terjadi guna memancing perhatian media massa dan global. Para pendemo melontarkan berbagai kecurangan pemilu, mulai dari serangan berita palsu saat kampanye sampai konspirasi pihak asing guna memenangkan pasangan calon terpilih.
Ketika kerusuhan terjadi, Presiden Lula sedang tidak ada di Brasilia. Sehari setelahnya, Lula memberikan pernyataan yang mengecam aksi para pendemo. Dengan tegas ia menyebut para aktor dan pelaku serangan itu adalah pengacau, golongan neo-fasis, dan kaum fanatik. ”Apa yang kami saksikan adalah serangan teroris,” ucapnya seperti disiarkan dalam jaringan televisi GloboNews.
Media sosial memegang peran krusial dalam terjadinya aksi kerusuhan tersebut. Para pendukung Bolsonaro memanfaatkan berbagai platform medsos sebagai sarana kampanye untuk memanaskan keadaan. Hal itu sebenarnya sudah terjadi sejak kampanye dan memuncak pada kerusuhan ini.
Baru-baru ini, di kanal Tiktok dan Youtube beredar video selama berhari-hari yang mengklaim penipuan pemilih dalam pemilu Brasil. Di aplikasi percakapan Whatsapp dan Telegram, gambar poster yang mengumumkan tanggal, waktu, dan lokasi protes terhadap pemerintah disalin dan dibagikan secara massal. Sementara itu, di Facebook dan Twitter, tagar yang dirancang untuk menghindari deteksi oleh pihak berwenang digunakan oleh pendukung Bolsonaro saat mereka turun ke gedung-gedung pemerintah pada hari Minggu.
Baca juga: Berjuang untuk Rakyat Miskin Jadi Sumpah Lula
Media massa The New York Times menyorot perilaku warganet pendukung Bolsonaro setelah hasil pemilu Brasil diumumkan. Mereka menyimpulkan bahwa dalam aplikasi Telegram, para pendukung menyebut diri mereka sebagai ”patriot” dan menyebut aksi pada Minggu tersebut sebagai ”dimulainya hari baru”. Tagar ”Festa da Salma” yang artinya ”Pesta di Hutan”. Dalam bahasa Brasil, kata salma/selma merupakan bentuk tidak baku dari selva yang artinya hutan kemudian disebarkan di Twitter terkait ajakan demo untuk mengecoh polisi siber.
Sehubungan aksi kerusuhan ini, pihak Twitter dan Telegram belum memberikan tanggapan meski sudah dimintai keterangan oleh Pemerintah Brasil. Sementara itu, Meta (perusahaan induk Facebook, Instagram, dan Whatsapp) mengatakan bahwa kerusuhan di Brasil sebagai peristiwa yang melanggar dan perusahaan tersebut akan menghapus konten di platformnya yang mendukung atau memuji serangan terhadap gedung-gedung pemerintah di Brasil.
Tentu saja, rangkaian kampanye, pemilu, hingga aksi penolakan yang berujung pada kerusuhan tersebut dapat menjadi pelajaran bagi negara manapun yang akan menyelenggarakan sistem elektoral. Masyarakat dunia termasuk Indonesia perlu sungguh belajar dari peristiwa itu.
Tidak hanya bagi mereka yang pernah memangku jabatan (petahana), tetapi siapa pun yang akan berlaga dalam ajang kontestasi politik. Jangan sampai demokrasi bangsa ini justru diwarnai egoisme politik dengan memanfaatkan media sosial yang justru memicu perpecahan di dalam masyarakat. (LITBANG KOMPAS)