Kemenangan Lula di Brasil Bukan Sekadar Perkara Ideologi
Pemilu presiden di Brasil berakhir sengit. Para pemilih terpolarisasi ke dalam dua kubu antara pendukung Jair Bolsonaro dan Luiz Inacio Lula da Silva.
Luiz Inacio Lula da Silva telah memenangi pemilihan presiden Brasil dengan hasil tipis, yakni 50,9 persen suara. Sementara lawannya, petahana Jair Bolsonaro, mendapatkan 49,1 persen suara. Banyak media massa dan pengamat menilai terpilihnya Lula sebagai presiden adalah momentum menguatnya gerakan sayap kiri. Namun, apakah benar dugaan itu?
Hasil kemenangan Lula dalam pemilu Brasil baru diperoleh dalam pemungutan suara putaran kedua pada 30 Oktober 2022. Sebelumnya, pada putaran pertama hasil pemilu juga berakhir ketat, Bolsonaro mendapat 43,2 persen suara dan Lula mendapat 48,4 persen suara. Dengan hasil ini, Lula akan mulai memimpin Brasil per Januari 2023 mendatang.
Kekalahan Bolsonaro juga mencatatkan sejarah baru pada pemilu presiden Brasil dalam kurun 28 tahun ke belakang karena seorang petahana tidak pernah kalah dalam pemilu periode berikutnya. Catatan ini dimulai oleh mantan Presiden Fernando Henrique Cardoso di periode 1995-1998 dan 1999-2002. Pengecualian terjadi di 2016-2018 ketika Wakil Presiden Michel Temer mengambil alih jabatan Presiden Dilma Rousseff yang dimakzulkan dan dijatuhi vonis oleh Senat Brasil pada 31 Agustus 2016.
Latar belakang dan proses demokrasi politik di Brasil memang pelik, termasuk yang terjadi saat ini. Meski Lula memenangi pemilihan presiden, anggota parlemen yang berada dalam kubu Bolsonaro justru memenangi kursi mayoritas di kongres. Artinya, selama menjabat nanti Lula kemungkinan akan menghadapi serangan dan penolakan keras dalam menghadirkan kebijakannya di badan legislatif.
Meskipun begitu, Lula yang pernah menjabat dalam dua periode kepemimpinan presiden (2003-2006 dan 2007-2010), dikenal sebagai sosok pemimpin yang populis. Dalam pemilu kali ini, ia memilih berpasangan dengan calon wakil presiden Geraldo Jose Rodrigues Alckmin Filho dari Partai Sosialis Brasil. Padahal, pada Pemilu 2006, Alckmin menjadi kandidat capres yang maju melawan Lula (saat itu berstatus petahana) dan kalah di pemungutan suara putaran kedua dengan selisih 22 persen suara.
Kedua tokoh itu, Lula dan Alckmin dikenal memiliki keberpihakan pada gerakan sayap kiri yang diisi oleh kaum buruh, masyarakat miskin, dan para aktivis sosial. Kedekatan pria yang kini berusia 77 tahun dengan kalangan sayap kiri bukanlah demi kemenangan pilpres belaka. Ia berasal dari keluarga petani miskin dan mengalami perjalanan sebagai rakyat biasa. Lula juga pernah bekerja serabutan, menjadi pekerja di pabrik baja, aktif dalam kegiatan serikat buruh, hingga akhirnya menjadi orang nomor satu di Brasil.
Sandungan bagi Lula terjadi pada 2018 di periode kedua kepemimpinannya. Ia terperosok dalam skandal korupsi besar-besaran yang menyeret sejumlah perusahaan besar dan politikus. Tudingan suap dilayangkan oleh Senat dan akhirnya menghabiskan 18 bulan di balik jeruji sambil menunggu banding.
Lula dibebaskan pada 2019 dan hak-hak politiknya pun dipulihkan. Hukumannya dibatalkan karena alasan prosedural dan dia tidak pernah dinyatakan bersalah. Sejak bebas, dirinya berikhtiar melakukan perlawanan sengit terhadap institusi pemerintahan yang bobrok serta kriminalisasi terhadap dirinya dinilai sebagai upaya menjatuhkan partai dan serikat buruh.
Sehari setelahnya, Lula berbicara di depan Serikat Buruh Metal Sao Bernardo do Campo di Sao Paulo dan mengatakan bahwa dia akan terbuka bersama rakyat untuk melawan Bolsonaro. Namun, bukan seperti gerakan kiri yang identik dengan penggulingan kekuasaan, kudeta, atau pemakzulan. Lula tetap menghormati sistem demokrasi dengan memilih melawan Bolsonaro pada pemilu berikutnya.
Kepemimpinan Bolsonaro
Seakan berlawanan arah dengan Lula, Bolsonaro hadir sebagai sosok otoriter. Ia memiliki latar belakang militer dan kerap dicap sebagai sayap kanan dengan kebijakan-kebijakannya yang berhaluan kapitalis liberal. Bolsonaro terpilih pada 2018 berkat janji-janji konservatif sosialnya yang mengedepankan penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan memulihkan ketertiban di Brasil. Pendukung loyal Bolsonaro sebagian besar berasal dari kalangan Kristen Evangelis, pengusaha, dan pemilik tanah di perdesaan.
Hanya saja, dalam kepemimpinannya, ia justru menghadirkan kebijakan-kebijakan kontroversial. Misalnya, meningkatkan dukungan untuk militer dan melonggarkan undang-undang kepemilikan senjata. Selama ia memerintah, anggota militer mengalami kenaikan jumlah dua kali lipat dari sebelumnya.
Selama pandemi Covid-19, Bolsonaro justru terkesan meremehkan dan merekomendasikan pengobatan yang belum terbukti sehingga korban kini hampir mencapai angka 700.000 jiwa. Dalam salah satu debat capres, Lula menyebut bahwa pemerintahan Bolsonaro telah menutupi korupsi dalam pembelian vaksin selama pandemi. Selain itu, Lula akan mencabut deklarasi Bolsonaro pada Kementerian Kesehatan yang menyebut 100 tahun masa kerahasiaan tentang vaksin Covid-19.
Selain rivalitas politik, Bolsonaro juga menjadi musuh besar bagi para aktivis lingkungan dengan kebijakan deforestasi Hutan Amazon demi membuka lahan pertanian dan pertambangan. Pada 21 Agustus 2019 terjadi kebakaran hutan tertinggi selama 10 tahun ke belakang di Brasil. Kota Sao Paolo berubah menjadi gelap di siang hari dan ribuan korban dirawat inap akibat infeksi saluran pernapasan.
Berdasarkan laporan Institut Riset Antariksa Nasional (INPE) Brasil, terdapat setidaknya 72.843 kebakaran hutan di Brasil selama 2019. Terbaru pada 22 Agustus 2022, INPE mendeteksi 3.358 titik kebakaran di hutan Brasil, sekaligus menjadikan jumlah kebakaran tertinggi dalam 24 jam sejak 2007. Organisasi Greenpeace secara terang menunjuk Jair Bolsonaro sebagai biang keladinya karena telah mengapitalisasi lahan hutan dan membubarkan badan atau lembaga yang bertanggung jawab di masa kepemimpinannya.
Situasi ekonomi Brasil selama Bolsonaro memimpin mengalami dinamika. Selain karena pandemi Covid-19, pertumbuhan PDB Brasil pada 2020 anjlok 3,9 persen, lalu di tahun berikutnya PDB naik 4,6 persen. Kehebohan sempat terjadi pada April 2022 ketika inflasi naik hingga 12,13 persen dan tercatat sebagai yang tertinggi selama 26 tahun.
Demonstrasi massa menghiasi sepanjang kepemimpinan Bolsonaro. Namun, karena kuatnya pengaruh kaum pengusaha dan kongres, Bolsonaro tidak pernah dimakzulkan. Begitu juga dari kaum reformis di kubu lawan yang terus menahan gerakan penggulingan Bolsonaro dan menganjurkan perjuangan elektoral ketimbang aksi massa yang militan.
Meski kontroversial, Bolsonaro juga mengambil kebijakan yang berfungsi sebagai jaring pengaman di masa krisis. Melalui program Auxilio Brasil yang disetujui Kongres pada Desember 2021, pemerintah memberikan bantuan kepada 18 juta warga miskin dan memberikan tunjangan bulanan kepada para pekerja kasar. Program tersebut menggantikan Bolsa Familia yang diprakarsai Lula di periode pertama menjabat.
Persoalan ideologi?
Perbedaan keberpihakan dan haluan ideologi antara Lula dan Bolsonaro menjadi sorotan media massa serta pengamat. Dengan melihat dikotomi keberpihakan masing-masing kubu, media massa internasional cenderung memberikan dukungan besar bagi Lula. Sedangkan untuk Bolsonaro, cenderung disamakan dengan sosok Donald Trump yang berbau diktator dan menyalahkan mesin perhitungan suara saat hasil akhir diumumkan.
Keberpihakan sejumlah media massa tersebut terlihat dalam pemberitaan The New York Times dan The Guardian. Melalui sejumlah artikelnya, The New York Times memberitakan proses pemungutan suara secara berkala dan menyoroti aksi-aksi anggota militer yang menghadang warga di banyak wilayah untuk mengikuti pemilu. Sedangkan The Guardian melakukan pendekatan lebih humanis dengan mengangkat artikel yang berisikan profil dan perjuangan Lula dalam gerakan politik.
Harapan akan kembalinya kebijakan yang berpihak pada lingkungan hidup di masa kepemimpinan Lula juga turut diangkat oleh kedua media massa tersebut. Persoalan deforestasi Hutan Amazon telah menjadi perhatian dunia selama kepemimpinan Bolsonaro. Seakan Bolsonaro tidak memedulikan Paris Agreement dengan target emisi karbonnya.
The Guardian juga memberitakan aksi Bolsonaro yang tampil di publik setelah dua hari hasil pemilu diumumkan. Diberitakan, Bolsonaro tidak menyatakan selamat kepada Lula ataupun menerima hasil kekalahan pemilu. Ia hanya mengucapkan terima kasih kepada para pendukungnya dan menyinggung 60 juta orang yang memilih lawannya.
Hingga kini, situasi politik Brasil masih akan bergejolak jika Bolsonaro memilih untuk menentang hasil pemilu dan menggerakkan massa untuk menggelar aksi. Kekhawatiran ini bukan tanpa sebab karena selama periode pemilu, Bolsonaro dan para pendukungnya terus menuduh adanya kecurangan meski tanpa bukti. Bolsonaro juga menganggap bahwa lembaga pengadilan, lembaga pemilu, dan media massa telah bersekongkol melawannya.
Di sisi lain, Lula justru mendapat banjir ucapan selamat dari banyak pemimpin negara lainnya. Misalnya, dari Presiden Argentina Alberto Fernandez, Presiden Chile Gabriel Boric Font, Presiden Meksiko Andres Manuel Lopez Obrador, dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Kemenangan Lula dianggap sebagai kemenangan sistem demokrasi atas otoritarianisme.
Menurut sejumlah pengamat, perseteruan politik di Brasil itu bukan hanya soal ideologi semata. Para pemilih Lula yang lebih banyak diisi oleh kelompok muda diartikan sebagai kejenuhan publik terhadap pemerintahan yang digerakkan oleh partai konservatif terhitung sejak 2016 ketika Wapres Michael Temer menggantikan Presiden Dilma Rousseff yang dimakzulkan. Kebetulan saja kubu oposisi Bolsonaro saat ini dipenuhi oleh partai beraliran kiri sehingga tampaknya ada perkara perjuangan ideologi.
Terlepas dari persoalan politik, sorotan dunia terhadap Brasil memang besar. Brasil menjadi salah satu dari 15 negara ekonomi teratas di perdagangan global. Sebagai produsen utama komoditas, seperti kedelai, daging sapi, dan bijih besi, Brasil pun menjadi mitra dagang utama AS dan China.
Tentu semua pihak kini berharap Brasil akan dapat melewati proses pendewasaan demokrasi lewat pemilu kali ini dengan baik. Persoalan akibat perbedaan ideologi seharusnya tetap dapat disatukan dengan semangat kemanusiaan dan kesejahteraan rakyat yang nilainya jauh lebih tinggi. Dengan melihat dinamika pemilu di Brasil, harapannya negara lain juga mengambil pelajaran penting dalam menyongsong pergantian para pemimpinnya. (LITBANG KOMPAS)