Menjaga Peluang Parpol Non-parlemen
Tren keterpilihan parpol non-parlemen dan baru masih berjarak dengan parpol yang telah memiliki kursi di DPR. Meskipun demikian, peluang bagi mereka untuk memikat simpati pemilih masih terbuka.
Hasil Survei Kepemimpinan Nasional Kompas periode Oktober 2022 mencatatkan, proporsi keterpilihan partai politik masih didominasi oleh partai politik (parpol) yang kini memiliki kursi DPR. Adapun parpol non-parlemen, yang terdiri dari partai yang pernah ikut Pemilu 2019 tetapi tidak meraih kursi DPR karena belum mencapai ambang batas parlemen (parlementary threshold) dan partai politik baru, masih belum optimal meraih elektabilitas.
Dari tiga survei (Januari, Juni, dan Oktober) yang dilakukan sepanjang 2022, rerata proporsi elektabilitas dari sembilan partai parlemen, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Gerindra, Golkar, PKB, Demokrat, PKS, Nasdem, PAN, dan PPP sudah hampir menguasai tiga perempat bagian pilihan responden. Sementara porsi keterpilihan untuk parpol non-parlemen dan baru, hanya mampu meraih angka enam persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Meskipun dominan, proporsi keterpilihan partai parlemen ini cenderung menurun. Di sisi lain, tren proporsi parpol non-parlemen justru terus menunjukkan peningkatan. Di kelompok partai parlemen, survei Oktober 2022 mencatat proporsi elektabilitasnya mencapai 70,6 persen. Angka ini menurun enam poin dibandingkan survei Januari 2022.
Sebaliknya, proporsi elektabilitas parpol non-parlemen mengalami tren positif. Hasil survei Januari tahun ini mencatat total elektabilitas partai non-parlemen berada di angka 5,3 persen. Tingkat keterpilihan tersebut meningkat menjadi 6,2 persen (Juni 2022) dan mencapai 6,9 persen pada periode Oktober 2022 ini. Tren penambahan dukungan ke parpol non-parlemen ini menjadi sinyal masih besarnya peluang untuk meraih dukungan dari pemilih.
Harapan itu semakin didukung dengan tren meningkatnya jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan. Hasil survei merekam tren pemilih yang masih bimbang dalam menentukan pilihan justru kian membesar, mencapai lebih dari seperlima bagian responden. Padahal, pada periode awal dan tengah tahun, angka undecided voters ini hanya berkisar antara 16-17 persen. Masih jauhnya waktu pemungutan suara pemilu bisa jadi turut memengaruhi perilaku pemilih yang masih ragu ini.
Semakin membesarnya angka undecided voters tersebut tentu memberikan catatan tersendiri bahwa memang pilihan publik terhadap parpol masih akan sangat dinamis. Hal itu tentu juga tidak terlepas dari konsolidasi di tingkat elite parpol yang juga masih belum sampai di tahap akhir. Di luar itu, saat ini proses tahapan pendaftaran partai sebagai peserta pemilu pun masih berlangsung.
Merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu masih akan berlangsung hingga 14 Desember 2022 mendatang. Pertengahan Oktober lalu, KPU sudah mengumumkan ada 18 dari 24 partai politik telah memenuhi persyaratan verifikasi administrasi Pemilu 2024.
Partai-partai yang lolos tersebut terdiri dari sembilan partai parlemen yang saat ini menduduki kursi DPR, yakni PDI-P, Gerindra, Golkar, PKB, Demokrat, Nasdem, PKS, PAN, dan PPP. Adapun partai non-parlemen yang juga lolos verifikasi administrasi ini adalah mereka yang sudah pernah menjadi peserta pemilu sebelumnya, seperti Partai Garuda, Perindo, Hanura, PSI, PBB, dan Partai Buruh. Selain itu, ada juga partai baru, yaitu Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), dan Partai Ummat.
Baca juga: Berjibaku untuk Verifikasi Partai Politik
Tantangan
Tentu, kerja-kerja partai non-parlemen dan partai baru tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebelum menghadapi tantangan elektoral, mereka telah dihadapkan pada tantangan verifikasi partai untuk mendapatkan tiket sebagai peserta pemilu.
Merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PPU-XVII/2020, parpol non-parlemen yang dinyatakan lolos verifikasi administrasi kembali harus dihadapkan pada tahapan verifikasi faktual. Pada proses ini KPU akan melihat keberadaan kepengurusan dan keanggotaan partai di seluruh provinsi, 75 persen kabupaten/kota, serta setidaknya ada di 50 persen wilayah kecamatan.
Beban psikologi juga ditanggung oleh partai non-parlemen, sebab partai parlemen yang lolos verifikasi administrasi otomatis mendapatkan tiket sebagai peserta pemilu tanpa melalui proses verifikasi faktual. Aturan verifikasi yang membedakan partai parlemen dan non-parlemen itu sempat digugat oleh PSI. PSI berpandangan, syarat ini dianggap hanya akan memberikan diskriminasi bagi partai non-parlemen. Namun gugatan terkait verifikasi partai politik peserta pemilu itu pada akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Berlapisnya tahapan yang harus dilewati partai politik non-parlemen untuk dapat lolos menjadi peserta pemilu menjadi langkah awal yang berat untuk dapat melangkah ke gelanggang kontestasi. Apalagi bagi parpol pendatang baru, tahapan verifikasi ini tentu menambah tantangan setelah sebelumnya harus berjuang mendapatkan status badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM.
Baca juga: Menembus ”Belantara” Pemilu dengan Basis Saintifik
Pada akhirnya, jika berhasil melalui tiap tahapan verifikasi dan dinyatakan lolos menjadi peserta pemilu, parpol non-parlemen dan partai baru harus berjibaku untuk mengakselerasi popularitas dan keterpilihannya. Mereka akan kembali dihadapkan pada tantangan lainnya, yakni ambang batas parlemen sebesar empat persen yang menjadi syarat suara partai bisa dikonversi menjadi kursi di DPR.
Tentu, tren gejala proporsi elektabilitas partai politik non-parlemen dan partai baru yang masih rendah ini tidak lepas dari masih dominannya partai-partai parlemen di mata pemilih. Data survei Kompas periode Juni 2022 merekam, ketertarikan publik untuk menjadikan partai-partai baru yang notabene berada pada rumpun partai non-parlemen, sebagai pilihan dalam pemilu mendatang, terbilang masih rendah. Hanya sekitar 18,9 persen responden yang mengetahui soal partai baru ini yang menyatakan tertarik untuk memilih mereka di pemilu.
Peluang
Maka, banyak pekerjaan rumah yang perlu dikelola dengan baik oleh partai untuk dapat mencapai target keterpilihan yang diharapkan. Waktu yang tersisa kurang lebih 1,5 tahun ke depan, harus dimanfaatkan bagi partai non-parlemen dan baru untuk terus membangun popularitas dan memperluas pasar dukungannya.
Hasil survei Litbang Kompas selama tiga periode di tahun ini juga merekam sejumlah faktor yang menjadi alasan publik dalam memilih partai politik.
Sejauh ini, keberadaan tokoh sentral partai menjadi faktor penentu yang paling dominan bagi publik untuk menjatuhkan pilihannya pada partai politik. Hal ini pula yang terbaca menjadi perbedaan alasan paling signifikan terkait alasan yang diungkap responden pemilih partai parlemen dan non-parlemen. Dengan eksistensi yang lama mengakar dan lekat dalam persepsi publik, keberadaan tokoh-tokoh sentral memang terbukti dapat membangun loyalitas pendukung partai.
Meskipun demikian, pada alasan yang berkaitan dengan hal yang bersifat lebih fundamental, proporsi kesamaan alasan pemilih partai parlemen dan non-parlemen justru tak terlampau signifikan. Dalam hal ideologi partai misalnya, hasil survei Oktober 2022 menunjukan justru proporsi pemilih partai non-parlemen terlihat semakin besar (14,1 persen) dibandingkan pemilih partai parlemen (8,5 persen). Demikian pula pada alasan pemilih terkait dengan program kerja, alasan itu juga sangat signifikan lebih banyak diungkap oleh para pemilih partai non-parlemen.
Dilihat dari berbagai alasan publik dalam menentukan pilihan parpol tersebut, pemilih partai non-parlemen terlihat lebih menitikberatkan langkah keterbaruan yang ditawarkan. Program-program kerja yang secara nyata langsung dirasakan dampaknya oleh masyarakat terbukti mampu mengubah preferensi publik untuk beralih ke partai yang terbilang baru ini.
Sebagai contoh, program Partai Perindo yang cukup konsisten memberi bantuan UMKM terbilang efektif untuk mendongkrak popularitas dan keterpilihan. Sama halnya pula dengan para pemilih PSI dan Partai Gelora yang mengungkapkan memilih partai karena cukup terbuka dengan kepengurusan dan keanggotaan dari kalangan milenial. Hal itu dinilai sebagai langkah progresif partai yang selama ini lekat dipersepsikan hanya milik politisi senior atau yang berpengalaman.
Baca juga: Adaptasi Partai Politik untuk Membidik Pemilih Muda
Segenap faktor penentu yang menjadi alasan publik untuk menjatuhkan pilihannya pada partai politik akan terus bergerak dinamis seiring dengan berubahnya lanskap politik jelang pemilu 2024. Kedinamisan itu, termasuk pula besarnya proporsi pemilih yang masih bimbang, membuktikan bahwa setiap partai termasuk partai non-parlemen sekalipun masih memiliki peluang besar untuk memperluas dukungan.
Dengan tren proporsi partai parlemen yang cenderung menurun dan pemilih bimbang yang justru meningkat, tentu ini kesempatan bagi partai non-parlemen dan partai baru untuk bekerja keras meraih simpati. Peluang ini harus dijaga dengan kerja-kerja elektoral yang efektif dalam memengaruhi pemilih.