Belum Ada Harmonisasi Melawan Korupsi
Pembebasan bersyarat narapidana korupsi menjadi potret korupsi belum menjadi kejahatan luar biasa. Harmonisasi penanganan korupsi menjadi penting diperkuat untuk meneguhkan komitmen melawan perilaku korup.
Indeks Perilaku Anti Korupsi terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik pada Agustus 2022 menunjukkan capaian terbaik sejak pengukuran dilakukan satu dekade silam. Namun, korupsi memang cenderung tidak lagi ditempatkan sebagai kejahatan yang luar biasa ketika aktornya dengan mudah mendapatkan hak pembebasan.
Setidaknya pembebasan bersyarat yang dialami 23 narapidana korupsi menjadi gambaran betapa perilaku korupsi menjadi hal yang biasa saja. Di sisi lain, ini menjadi potret belum kuatnya harmonisasi dalam komitmen penanganan korupsi secara optimal.
Hasil pengukuran Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) di Indonesia untuk periode 2022 mencapai 3,93. Angka tersebut menjadi capaian yang paling tinggi sejak pengukuran dilakuka oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 lalu.
Sejak tahun 2018, capaian IPAK memang terus konsisten mengalami kenaikan. Di tahun tersebut angka IPAK berada pada 3,66 dan bertahap terus meningkat pada tahun-tahun setalahnya menjadi 3,70 (2019), 3,84 (2020), dan 3,88 (2021).
Korupsi memang cenderung tidak lagi ditempatkan sebagai kejahatan yang luar biasa ketika aktornya dengan mudah mendapatkan hak pembebasan.
Nilai indeks yang diukur oleh BPS tersebut berada pada rentang skala 0 sampai dengan 5. Semakin mendekati lima mengindikasikan budaya antikorupsi di negeri ini kian membaik. Sementara nilai indeks yang mendekati nol diartikan bahwa masyarakat semakin permisif terhadap perilaku korupsi.
Berdasarkan catatan kajian itu, IPAK Indonesia kini bisa dikatakan cukup memuaskan dengan skor yang nyaris mendekati empat. Capaian IPAK tahun ini hanya sedikit berada di bawah target yang ditetapkan pemerintah, yaitu 4,06.
Seperti yang diketahui, untuk terus mengejar perbaikan, setiap tahunnya pemerintah menargetkan adanya skor IPAK yang harus dicapai, bahkan target tersebut dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN).
Tahun 2020, misalnya, target IPAK harus mencapai 4,00. Sekalipun belum pernah menyentuh angka yang diharapkan itu, target yang ditetapkan terus meningkat dan diproyeksi pada tahun 2024 IPAK bisa mencapai 4,14.
Apa yang ditergetkan dalam capaian IPAK menjadi wujud ada langkah perbaikan dan tanggung jawab bersama untuk melawan korupsi. Segenap capaian positif yang digapai hari ini tentu perlu mendapatkan apresiasi karena telah melalui tahap untuk terus bertumbuh dengan banyak pembenahan.
Dari sini bangsa ini sebetulnya dapat mengevaluasi untuk terus berbenah dan solid, sampai mengambil peran nyata mewujudkan perlawanan pada korupsi.
Baca juga : Episode Kelam Pemberantasan Korupsi
Persepsi dan pengalaman
IPAK dibuat untuk mengukur budaya zero tolerance terhadap korupsi skala kecil (petty corruption). Tujuan ini dapat dimaknai sebagai bentuk pengingat bahwa bahaya laten korupsi dapat menjangkau ke segala lini kehidupan, termasuk pada tindakan keseharian yang sering kali tidak disadari telah masuk pada ranah perilaku koruptif.
Pada konteks kehidupan sosial bermasyarakat itu, pengukuran IPAK difokuskan pada dua dimensi besar. Pertama, berkaitan dengan persepsi yang di dalamnya meliputi persepsi keluarga, komunitas, dan publik. Kedua, dimensi yang berkaitan dengan pengalaman, baik pengalaman publik maupun pengalaman lainnya.
Hasil pengukuran untuk IPAK 2022, pada dimensi pengalaman menunjukkan skor yang lebih tinggi, yaitu 3,99 jika dibandingkan dengan dimensi persepsi yang berada di angka 3,80. Secara garis besar, jika dilihat secara lebih mendetail, baik pada subdimensi pengalaman publik maupun pengalaman lainnya, keduanya terbaca mengalami peningkatan skor.
Subdimensi pengalaman publik yang menjadi obyektif pengukuran indeks ini mencakup pengalamalan masyarakat ketika mengakses layanan-layanan publik. Sementara pengalaman lainnya meliputi pengalaman ketika masyarakat menghadapi berbagai peristiwa di luar layanan publik yang tersedia, misalnya ketika kampanye pemilu ataupun penerimaan masuk kerja maupun bersekolah.
Meningkatnya penilaian publik atas pengalaman mereka terlibat pada urusan-urusan pelayanan yang notabene sudah menjadi rahasia umum dan sering kali lekat dengan tindakan koruptif itu menunjukkan adanya pembenahan pada sistem pelayanan ataupun pengawasan. Hal itu penting agar pelayanan menjadi lebih transparan dan efektif mencegah terjadinya proses transaksional untuk menguntungkan pihak tertentu.
Komitmen pemerintah dalam mewujudkan sistem pelayanan yang efektif dan transparan kepada masyarakat ini menjadi penting guna membangkitkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, bukan hanya kinerja pemerintah yang dinilai membaik, namun persepsi positif untuk memberantas perilaku korupsi terus tumbuh.
Persepsi yang terbentuk itu juga menjadi bagian paling fundamental dalam membangun tonggak budaya yang menolak segala bentuk tindakan korupsi. Terlebih jika tindakan yang salah itu terus dibenarkan dan dirawat sebagai bagian dari proses yang lumrah dilakukan. Kondisi inilah yang sebetulnya menjadi musuh terbesar dalam membentuk budaya zero tolerance atau tingkat permisifnya bangsa ini pada korupsi.
Hasil pengukuran menunjukan pada dimensi persepsi ini, skor indeks pada subdimensi persepsi keluarga dan persepsi publik justru mengalami penurunan.
Hal itu membuktikan bahwa dalam lingkup kehidupan terkecil, yaitu keluarga, publik ternyata kian permisif atas tindakan-tindakan koruptif. Hal itu juga terjadi pada lingkup yang paling besar, yaitu saat dalam hal kejadian atau fenomena pada konteks yang lebih luas seperti halnya pemilu, isu pemerintahan, dan lainnya.
Baca Juga : Menkumham Sebut Pemberian Remisi untuk Koruptor Sesuai Aturan
Harmonisasi
Penggambaran atas persepsi dan pengalaman, yang meliputi berbagai lini dan aspek keterkaitan antara sesama di lingkup keluarga, komunitas, sampai dengan berhubungan dengan pemerintahan, merupakan pengejawantahan bahwa cita-cita pemberantasan korupsi tak dapat hanya dilakukan secara utuh sebagai tanggung jawab bersama.
Semua pemangku kepentingan sudah semestinya menyadari bahkan dapat berperan sesuai kemampuan dan tanggung jawabnya, bahkan pada lingkup terkecil sekalipun.
Membudayakan perilaku anti korupsi perlu harmonisasi yang padu dan tentunya kokoh karena terus mendapatkan dukungan. Dalam hal ini, seluruh pihak terutama para elite semestinya dapat menunjukkan keberpihakannya pada pemberantasan korupsi.
Perubahan besar untuk membudayakan kejujuran, integritas, dan menolak segala bentuk tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme akan sangat berdampak besar jika diteladani oleh para elite negeri ini.
Namun, hari-hari ini, di tengah capaian yang menggembirakan dengan meningkatnya IPAK, justru tercederai oleh adanya keputusan pembebasan bersyarat untuk 23 napi koruptor. Langkah tersebut tentulah begitu mengecewakan di saat gaung untuk dapat menghidupkan budaya antikorupsi itu terus dinyalakan.
Hal itu bukan hanya menjadi potret suram yang akan terus diingat sebagai pengkhianatan atas cita-cita pemberantasan korupsi. Namun, juga secara nyata telah menunjukkan betapa sulitnya bangsa ini dapat solid dengan tekad mewujudkan sistem penanganan korupsi yang tak mudah goyah oleh berbagai macam kepentingan.
Harmonisasi untuk mewujudkan budaya antikorupsi bukan hanya menjadi tanggung jawab masyarakat dan berada pada lingkaran terkecilnya. Justru aspek-aspek ketegasan dalam pencegahan, penindakan, dan penegakan hukum bagi para mereka yang terbukti bersalah atas tindakan korupsi perlu dilakukan dengan sangat tegas tanpa dibayangi oleh berbagai intervensi apa pun.
Saat ini, sumber-sumber nilai pembelajaran antikorupsi sebagian besar diperoleh dari ruang-ruang formal, seperti sekolah, orangtua, dan guru. Padahal, semestinya keteladanan dari para elite negeri ini mulai dari mereka yang bekerja di pemerintahan, anggota legislatif, ataupun para penegak hukum merupakan deretan pihak yang sangat layak untuk mengajarkan nilai perilaku antikorupsi.
Semestinya keteladanan dari para elit negeri ini mulai dari mereka yang bekerja di pemerintahan, anggota legislatif ataupun para penegak hukum merupakan deretan sumber yang sangat layak untuk mengajarkan nilai perilaku antikorupsi.
Bukan justru sebaliknya, justru dipersepsikan lekat dengan ketidakjujuran dan berbagai tindakan yang jauh dari nilai integritas pejabat publik. Ketidakpercayaan tersebut bukan tumbuh secara serta merta dan tentulah berasal dari yang dilihat publik sejauh ini.
Dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, sepanjang tahun 2021 lalu, para terdakwa kasus korupsi paling banyak berasal dari kalangan perangkat desa yang mancapai 363 orang. Latar pekerjaan nomor dua yang laing tertinggi menjadi koruptor adalah aparatur sipil negara dengan 346 orang.
Kini pada akhirnya, tentulah besar harapan bahwa budaya antikorupsi sebenar-benarnya tumbuh dan terwujud nyata dalam kehidupan berbangsa. Cita-cita besar melawan korupsi menjadi tanggung jawab bersama dan perlu diwujudkan dengan keselarasan pada semua pihak, dengan pula penguatan pada aspek pendidikan, pencegahan, penanganan, termasuk pula ketegasan penegakan hukum pada tindakan korupsi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Upaya Meningkatkan Budaya Antikorupsi Belum Capai Target