Upaya Meningkatkan Budaya Antikorupsi Belum Capai Target
Meski gap mengecil, capaian indeks perilaku antikorupsi atau IPAK tiap tahun sejak 2020-2022 selalu di bawah target RPJMN. Terobosan dibutuhkan karena dengan kecepatan seperti sekarang susah membawa IPAK mencapai target.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah membangun budaya antikorupsi dinilai semakin baik dari tahun ke tahun. Meski demikian, dianggap belum mencapai target. Kondisi ini tergambar dari data Badan Pusat Statistik yang mencatat tingkat perilaku antikorupsi masyarakat, khususnya terhadap korupsi skala kecil, pada tahun 2022 yang meningkat tipis dibanding kondisi di tahun 2021.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), indeks perilaku antikorupsi atau IPAK tahun 2022 tercatat sebesar 3,93 atau naik 0,05 poin dibandingkan IPAK tahun 2021 yang sebesar 3,88. Sebagai informasi, IPAK mengukur tingkat perilaku antikorupsi masyarakat dengan skala 0-5 pada level nasional.
Semakin tinggi nilai IPAK, yakni mendekati 5, maka semakin tinggi budaya antikorupsi. Sebaliknya, semakin rendah nilai IPAK, yaitu mendekati 0, maka semakin permisif masyarakat terhadap perilaku koruptif.
”IPAK mengukur perilaku petty corruption atau korupsi yang berskala kecil yang dialami atau dirasakan oleh masyarakat dan tidak termasuk grand corruption,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono saat menyampaikan rilis BPS di Jakarta, Senin (1/8/2022).
IPAK mengukur perilaku petty corruption atau korupsi yang berskala kecil yang dialami atau dirasakan oleh masyarakat dan tidak termasuk grand corruption.
Cakupan perilaku antikorupsi pada IPAK meliputi penyuapan, gratifikasi, pemerasan, nepotisme, dan sembilan nilai antikorupsi. Sembilan nilai antikorupsi tersebut adalah jujur, disiplin, tanggung jawab, adil, berani, peduli, kerja keras, mandiri, dan sederhana.
Margo menuturkan, capaian IPAK 2022 masih berada di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang dipatok 4,06 pada tahun 2022. Namun, apabila dilihat dari kecenderungan atau tren sejak 2020-2022, gap atau selisih antara target dan capaian IPAK semakin kecil setiap tahunnya.
Sebagai perbandingan, RPJMN menargetkan IPAK tahun 2020 dan 2021 masing-masing sebesar 4 dan 4,03. Adapun pencapaian IPAK di tahun 2020 adalah 3,84 dan di tahun 2021 sebesar 3,88. ”(Hal ini) menunjukkan bahwa upaya-upaya pemerintah dalam membangun budaya antikorupsi semakin lama semakin baik, dan ini sudah hampir mendekati target yang ditetapkan oleh pemerintah,” ujar Margo.
Apabila perkembangan IPAK 2022 ditinjau menurut dimensi, terlihat bahwa indeks persepsi menurun, masyarakat yang menyatakan tidak wajar terhadap kebiasaan perilaku korupsi berkurang. Adapun indeks pengalaman terlihat meningkat, yakni masyarakat yang memiliki pengalaman terkait korupsi berskala kecil berkurang.
Perlu terobosan
Ketika dimintai pandangan, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan, persoalan dimensi terkait perkembangan IPAK memang mesti dilihat lebih dalam. ”Persepsi dibangun berdasarkan (dengan) observasi seseorang, tapi, apa pun, persepsi itu juga subyektif. (Adapun) kalau pengalaman, pengukurannya lebih berdasarkan empiris,” katanya.
Meski selisih pencapaian dengan target setiap tahun menyempit, Faisal menuturkan, pencapaian IPAK setiap tahun selalu di bawah target RPJMN. ”(Capaian IPAK 2022) tidak hanya di bawah target (pada tahun) 2022, dibandingkan target (tahun) 2020 saja (IPAK 2022) ini lebih rendah. Jadi, akan susah atau akan lebih lama untuk bisa mencapai target dengan kecepatan (upaya) seperti sekarang,” ujar Faisal.
(Capaian IPAK 2022) tidak hanya di bawah target (tahun) 2022, dibandingkan target (tahun) 2020 saja (IPAK 2022) ini lebih rendah. Jadi, akan susah atau akan lebih lama untuk bisa mencapai target dengan kecepatan (upaya) seperti sekarang.
Terkait hal ini, menurut Faisal, diperlukan terobosan lebih bagus untuk meningkatkan IPAK. Hal ini termasuk dengan melakukan perbaikan secara mendasar. Perilaku institusi dinilai berpengaruh besar terhadap perilaku antikorupsi masyarakat secara keseluruhan.
Seperti diberitakan Kompas sebelumnya, pada 25 Januari 2022, Transparency International Indonesia meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2021 secara daring. IPK merupakan komposit dari sejumlah indeks lain. Sebagai informasi, dari skala 0-100, makin tinggi skor IPK suatu negara, maka negara tersebut semakin dipersepsikan bebas korupsi.
Skor Indonesia pada IPK 2021 tercatat 38, naik dibanding IPK 2020 yang mencapai 37. Adapun skor pada 2020 turun dari IPK 2019 yang mencapai 40. Di IPK 2021 tersebut skor Indonesia lebih rendah dari rata-rata global, yakni 43. Adapun skor rata-rata di Asia-Pasifik 45. Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara yang disurvei.
Menurut Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko, kenaikan signifikan skor IPK 2021 ditunjang faktor risiko korupsi yang dihadapi pelaku usaha pada sektor ekonomi menurun. Contohnya seperti penyuapan pada area ekspor-impor, kelengkapan penunjang, pembayaran pajak, serta kontrak dan perizinan yang dinilai menurun.
Selain itu, juga ada kenaikan tiga indikator ekonomi dari tiga survei internasional lain. Semisal, peningkatan skor di survei yang menilai bagaimana pembayaran biaya ekstra atau suap dilakukan untuk memperlancar bisnisnya atau World Economic Forum EOS. Berikutnya, Global Insight Country Risk Ratings yang menilai risiko individual dan perusahaan saat menghadapi korupsi untuk memperlancar bisnisnya. Selain itu juga survei yang menilai soal eksistensi suap dan korupsi, yaitu IMD World Competitiveness Yearbook.