Analisis Litbang ”Kompas”: Jalan Terjal PPP Lewati Ambang Batas
Tren penurunan suara Partai Persatuan Pembangunan menjadi peringatan agar partai ini segera berbenah. Merajut kembali pemilih setianya dengan menguatkan identitas kepartaiannya menjadi peta jalan menghadapi Pemilu 2024.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·6 menit baca
Pekerjaan rumah yang berat menjadi tantangan bagi Partai Persatuan Pembangunan dalam kancah perpolitikan nasional. Dinamika politik internal partai, tergerusnya suara di akar rumput yang memengaruhi jejak elektoral, menjadi sinyal peringatan bagi partai ini untuk segera merapatkan barisan.
Memasuki usia emas, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang lahir pada 5 Januari 1973 menghadapi tantangan besar menuju pesta demokrasi 2024. Tren elektoralnya cenderung menurun dalam 10 pemilihan umum terakhir, terutama jika dibandingkan prestasinya sepanjang pemilu di era Orde Baru (1992-1997) dengan pemilu era Reformasi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sejak era Reformasi tersebut, capaian elektoral PPP terus menurun dan puncaknya pada Pemilu 2019 hanya meraih 4,52 persen suara, melebihi 0,52 persen saja dari ambang batas parlemen.
Dengan perolehan suara tersebut, partai berbasis pemilih Islam ini harus rela kehilangan 20 kursi di DPR dari pemilu sebelumnya, dengan hanya menyisakan 19 kursi di DPR. Kondisi ini harus menjadi bahan evaluasi serius bagi semua elemen dalam partai jika ingin bertahan.
Hal ini terpotret dari hasil Survei Nasional Kompas yang dilakukan secara periodik di 34 provinsi. Terkait elektabilitas, dari survei Oktober 2019 hingga Juni 2022, keterpilihan PPP tidak bergerak tajam dari survei sebelumnya, hanya di kisaran 0,5 - 2,8 persen. Bahkan pada survei Juni 2022 elektabilitasnya jatuh di angka 2 persen, masih jauh dari ambang batas parlemen 4 persen.
Meskipun demikian, jika mempertimbangkan angka sampling error dalam survei yang mencapai 2,8 persen, peluang PPP masuk dalam kategori partai politik yang lolos ambang batas parlemen relatif masih terbuka. Namun hasil survei mencatat, dari sembilan parpol yang sekarang berada di parlemen, hanya PPP dan PAN yang keterpilihannya belum aman mencapai ambang batas parlemen.
Kondisi ini menjadi “alarm” bagi mesin partai untuk bekerja lebih keras mengejar ketertinggalan. Apalagi keberadaan PPP sebagai partai berbasis Islam tidak lagi bisa mengklaim sebagai satu-satunya wadah bagi aspirasi politik Islam.
Meskipun dalam sejarah partai ini adalah hasil fusi dari sejumlah partai Islam, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Pasca reformasi, PPP juga harus berkompetisi, tidak hanya dengan partai-partai berbasis nasionalis, namun juga partai-partai berbasis massa Islam lainnya.
Total suara untuk partai Islam pada Pemilu 2019 sebesar 30,05 persen akan diperebutkan banyak partai berbasis pemilih Islam dalam Pemilu 2024.
Jika sebelumnya hanya diperebutkan oleh PPP, PAN, PKB, PKS, dan PBB sebagai partai yang berbasis massa Islam, pada Pemilu 2024 paling tidak ada tambahan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) yang didirikan oleh sejumlah mantan elite PKS, seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah.
Selain itu, juga hadir Partai Ummat yang dibentuk Amien Rais. Jika lolos verifikasi administrasi dan verifikasi faktual, kedua partai tersebut akan menambah sengit perebutan massa Islam di pemilu mendatang.
Tak dapat dimungkiri di antara partai Islam itu akan saling menggerus satu sama lain untuk memperebutkan suara pemilih Islam yang secara ”ideologis” bisa jadi tidak sampai separuh dari pemilih di pemilu. Kondisi ini tentu semakin memperberat langkah PPP untuk bertahan di jajaran partai politik parlemen pusat.
Di sisi lain, partai berlambang Kabah ini juga menghadapi tantangan berkurangnya basis massa yang mengalami tren penurunan cukup tajam dalam setiap perhelatan pemilu. Hingga Pemilu 2019, tak ada satu pun wilayah yang dimenangi PPP. Daerah yang dahulu pernah menjadi wilayah kemenangannya, seperti Aceh dan sebagian Jawa Timur, gagal dipertahankan sebagai lumbung suara partai ini.
Keberadaan PPP sebagai partai berbasis Islam tidak lagi bisa mengklaim sebagai satu-satunya wadah bagi aspirasi politik Islam.
Selain kehilangan wilayah kemenangan, pada Pemilu 2019 PPP harus kehilangan 16 daerah pemilihan yang menjadi andalan untuk meraih kursi dan selalu meloloskan wakil PPP ke DPR. Tak dapat dimungkiri, merosotnya performa partai juga dipengaruhi dinamika internal partai yang diwarnai beberapa konflik dalam kepemimpinan.
Terakhir, kegaduhan terkait pidato Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dalam acara KPK yang menyatakan soal tradisi amplop saat bertandang ke kiai di beberapa pondok pesantren dinilai sejumlah pihak justru kontraproduktif dengan upaya partai ini ”memulihkan” kembali basis massanya yang notabene adalah pemilih Islam. Pidato ini juga dinilai menyinggung sejumlah pihak karena dinilai mencemarkan nama baik kiai dan pondok pesantren.
Akibat polemik terkait pidato ini, kalangan internal PPP pun bergejolak. Pekan ini, Majelis Syariah, Majelis Pertimbangan, dan Majelis Kehormatan PPP meminta Suharso mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PPP.
Mundurnya Suharso dinilai akan menjadi salah satu faktor penyelamat PPP dalam menghadapi Pemilu 2024, terlebih seusai kegaduhan yang muncul akibat pidato ”amplop kiai” yang disampaikan Suharso (Kompas, 23/8/2022).
Menghadapi tantangan yang semakin berat, PPP bisa menggunakan kekuatannya dengan pendekatan ideologis sebagai modal menarik kembali pemilihnya. Hal ini selaras dengan temuan Survei Nasional Kompas, yang memperlihatkan sepertiga responden pemilih PPP mengakui, ideologi partailah yang menjadi alasan utama memilih partai ini.
Demikian pula popularitas sebagai partai berbasis Islam masih menjadi daya tarik dari seperempat bagian responden dalam survei. Menguatkan branding partai berbasis Islam, terutama bagi pemilih-pemilih ideologis, bisa menjadi jalan untuk menguatkan kembali relasi partai ini dengan konstituen ideologisnya pada Pemilu 2024 nanti.
Selain itu, hasil survei juga memotret potensi strong voters PPP yang cukup tinggi, yakni sebesar 61,5 persen, naik dari survei sebelumnya. Hal ini semakin mengukuhkan bahwa partai ini memang memiliki pemilih-pemilih ideologis yang relatif masih loyal. Tentu, ini menjadi modal sosial bagi PPP untuk selalu dirawat guna kepentingan mendongkrak kembali elektoralnya.
Disusul kemudian oleh pemilih dari generasi Y Madya (34-41 tahun) sekitar 22,6 persen. Artinya, pemilih PPP didominasi oleh usia produktif yang mencapai 66 persen. Selain itu, PPP juga didukung pemilih berpendidikan dasar dan kelas sosial ekonomi bawah di kisaran 60 persen.
Sementara itu, terpusatnya pemilih PPP di Pulau Jawa juga memerlukan strategi khusus untuk bisa mendulang suara, terutama dengan memaksimalkan mesin partai di daerah.
Di samping itu, PPP juga harus tetap memupuk loyalitas pemilih di luar Pulau Jawa. Pada Pemilu 2019, sebanyak 60,6 persen distribusi perolehan suara terkonsentrasi di Jawa, sebanyak 17,9 persen di Sumatra, sekitar 8,71 persen di Sulawesi, dan 7 persen di Kalimantan.
Dengan kondisi ini, langkah PPP menatap kontestasi Pemilu 2024 tentu tidak mudah. Jalan terjal untuk melewati ambang batas parlemen harus dilalui dengan lebih banyak memanfaatkan peluang-peluang politik, termasuk di antaranya berharap cottail effect dari pemilihan presiden nanti.
Tentu, langkah PPP bergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), bersama Partai Golkar dan PAN, diharapkan memunculkan sosok capres dan cawapres yang dapat turut mendongkrak perolehan suara partai.
Upaya ini menjadi pintu bagi PPP untuk berupaya bertahan di parlemen nasional di masa usia emasnya. Sebuah jalan terjal yang tidak mudah, tetapi tetap membuka segala kemungkinan yang bisa melahirkan peluang bagi masa depan PPP. (LITBANG KOMPAS)