Analisis Litbang “Kompas”: Menguji Performa Partai Nasdem
Gerak cepat Partai Nasdem merekomendasikan calon presiden akan diuji apakah mampu memberikan insentif elektoral. Rekam jejak di pemilu yang diikuti mampu membuat Partai Nasdem bertengger di papan tengah.
Di tengah dinamika elektabilitas yang diraihnya, Partai Nasdem sukses mempertahankan diri di kelompok partai politik papan menengah. Sinkronisasi antara karakter pemilih dan langkah partai diperlukan untuk memperkuat loyalitas dan memperluas dukungan.
Survei Litbang Kompas merekam adanya fluktuasi elektabilitas Partai Nasdem. Keterpilihan partai yang diketuai Surya Paloh ini naik turun selama tiga tahun terakhir. Keterpilihan Partai Nasdem pada Agustus 2020 terekam sebesar 2,5 persen kemudian turun menjadi 1,7 persen pada Januari 2021.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pasang surut terus terjadi hingga mencatatkan keterpilihan sebesar 4,1 persen pada Juni 2022 lalu. Elektabilitas tersebut menempatkan Partai Nasdem di peringkat ke-7 dan memosisikannya di jajaran bawah partai papan tengah.
Partai Nasdem sukses mempertahankan diri di kelompok partai polik papan menengah.
Namun di tengah peningkatan elektabilitas, Partai Nasdem perlu mengantisipasi hilangnya suara pemilih. Hal ini mengingat elektabilitas yang dicapai saat ini tak lebih dari setengah keterpilihan partai pada pemilu lalu. Pada Pemilihan Legislatif 2019, Nasdem memperoleh 12.661.792 suara atau 9,05 persen dari total suara sah.
Setidaknya jika kita asumsikan dan merujuk hasil Pemilu 2019, elektabilitas Partai Nasdem di survei Litbang Kompas pada Oktober 2019 dapat disebutkan partai ini berkurang pemilihnya Kala itu, terekam elektabilitas Nasdem ada di angka 3,1 persen atau berselisih enam persen dari perolehan pada Pemilu 2019.
Sementara itu, Partai Golkar, PKB, PKS, dan Partai Demokrat turut mencatatkan elektabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan Pemilu 2019. Akan tetapi, selisih elektabilitas dengan hasil pemilu tidak setajam yang dialami Partai Nasdem.
Misalnya saja, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh 9,69 persen suara pada Pemilu 2019 dengan keterpilihan 5,3 persen pada survei Litbang Kompas Oktober 2019. Selisih dari dua data itu hanya 4,4 persen. Begitu pula Partai Keadilan Sosial (PKS) dengan selisih elektabilitas sebesar 2,9 persen.
Berbeda dengan partai papan tengah, partai pemenang pemilu justru terpantau mampu meningkatkan keterpilihan. Dengan perolehan suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebesar 19,33 persen di Pemilu 2019, elektabilitas pasca-pemilu partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini justru melejit ke angka 21,8 persen.
Karena itu, Partai Nasdem perlu kembali menguatkan mesin partai untuk menggalang dukungan. Apalagi, partai di jajaran papan tengah telah mampu mengembalikan keadaan. Hasil survei pada Juni 2022 menunjukkan keterpilihan Partai Golkar telah naik ke angka 10,3 persen. Partai Demokrat bahkan tercatat cukup akseleratif dan kini memiliki elektabilitas melampaui perolehan suara pada Pemilu 2019.
Dilihat dari sejarahnya, Partai Nasdem memiliki modal kuat untuk berakselerasi kembali. Partai Nasdem yang didirikan pada 1 Februari 2011 merupakan satu-satunya dari 18 partai baru yang lolos seleksi administrasi dan faktual sebagai peserta Pemilu 2014.
Pada Pemilihan Legislatif 2014, Nasdem memperoleh 8.402.812 suara atau 6,72 persen dari total suara sah nasional. Capaian ini menempatkan 36 perwakilannya di kursi DPR RI. Perolehan suara Nasdem pun melonjak pada Pemilu 2019, menjadikan Nasdem masuk lima besar partai pemenang Pemilu 2019. Capaian ini membuat Nasdem unggul dari partai yang telah lebih lama berkiprah, yakni Partai Demokrat, PKS, PPP, dan PAN.
Baca juga: Gerak Cepat Partai Nasdem
Sinkronisasi
Untuk dapat meningkatkan dukungan elektoral, Nasdem perlu menyelaraskan langkah-langkah penguatan tumpuan elektoral dengan karakter pemilih saat ini.
Dalam survei terakhir, demografi pemilih Partai Nasdem masih berasal dari generasi tua dengan 30,6 persen dari generasi X dan 12,3 persen dari baby boomers. Kelompok muda berusia 17-26 tahun hanya mengambil porsi 22,4 persen. Secara umum, partai ini ada di peringkat ke-9 pilihan partai generasi Z.
Partai Nasdem perlu mempertahankan loyalitas pemilih sekaligus memperluas jangkauan suara yang nantinya akan didominasi pemilih muda. Loyalitas pemilih partai ini tercatat di angka 62,5 persen dan dapat dikategorikan dalam tingkat loyalitas rendah.
Hal ini mengingat loyalitas pemilih pada partai lain bisa mencapai 81,6 persen (PKB) dan yang terendah 60,2 persen (Partai Gerindra). Loyalitas pemilih ini diukur dari konsistensi pilihan responden pemilih di Pemilu 2019 dengan pilihan mereka jika pemilu dilakukan saat survei digelar.
Salah satu langkah yang bisa ditempuh Partai Nasdem adalah dengan melakukan sinkronisasi preferensi pemilih dengan upaya-upaya partai yang akan dilakukan untuk meningkatkan suara elektoral. Sebanyak 31,3 persen pemilih Partai Nasdem menjatuhkan pilihan karena apa yang ingin dicapai partai ini melalui visi, misi, dan program kerja.
Sebanyak 10,4 persen juga memberikan sinyal positif pada upaya partai yang selama ini dianggap menyerap dan membantu menyejahterakan masyarakat. Apresiasi juga diberikan pada citra kader partai yang jarang tersandung kasus korupsi.
Sementara itu, seperempat pemilih Nasdem memilih partai berlogo lingkaran biru ini karena ketokohan dalam partai. Selain sisi kepopuleran tokoh, 6,3 persen juga memilih karena popularitas partai ini sendiri. Sayangnya, masih ada 20,8 persen yang tidak menjawab mengapa menjatuhkan pilihan pada partai ini.
Ketokohan memang tak bisa dilepaskan dari Partai Nasdem. Sebelumnya, Partai Nasdem berdiri sebagai organisasi kemasyarakatan dengan tokoh sentral, seperti Surya Paloh dan Sultan Hamengkubuwono X yang merupakan petinggi Partai Golkar. Di awal masa pendirian partai, sosok pemimpin jaringan media MNC Group Hary Tanoesoedibjo juga bergabung dengan Nasdem sebelum mendirikan Partai Perindo.
Mengingat besarnya pemilih yang memperhatikan ketokohan partai, perlu kiranya Partai Nasdem untuk mengeksplorasi sosok-sosok unggul dalam partainya dalam rangka Pemilihan Presiden 2024 mendatang. Hal ini perlu dijadikan pertimbangan di saat Nasdem masih mengunggulkan sosok dari luar partai untuk diusung sebagai calon presiden.
Misalnya saja, Rapat Kerja Nasional (rakernas) Partai Nasdem pada 17 Juni 2022 menghasilkan rekomendasi tiga nama calon presiden, yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Ketiga bakal capres itu, tak satu pun berasal dari kader Nasdem.
Baca juga: Partai Nasdem dan Partai Demokrat Semakin Dekat
Pesohor
Selain sosok sentral dalam partai, Nasdem juga menguat karena sosok pesohor atau figur publik yang maju sebagai calon anggota legislatif (caleg). Pada Pemilu 2019, Nasdem merupakan partai yang paling banyak mencalonkan pesohor. Litbang Kompas mencatat Nasdem mencalonkan 39 orang dari 96 pesohor yang maju dari delapan parpol pada Pemilu 2019.
Meskipun hanya satu caleg pesohor Nasdem yang lolos ke Senayan, yakni Muhammad Farhan (Dapil Jabar I), efek popularitas para pesohor menjadi penopang penting keberhasilan Nasdem. Apalagi, para caleg pesohor tersebut ditempatkan di wilayah Jawa untuk menggaet suara pemilih yang merupakan wilayah-wilayah ”neraka” karena persaingan ketat dengan nama tenar dari partai lainnya.
Nasdem berhasil memanen suara para pesohor yang tak lolos ke Senayan tersebut sehingga suara Nasdem melejit dan jumlah kursi parlemen bertambah. Dari lima provinsi di Jawa, misalnya, Nasdem menguasai 21 kursi dari sebelumnya 14 kursi (Kompas, 9/10/2019).
Di tengah elektabilitas yang belum kunjung terdongkrak, Nasdem perlu memanfaatkan waktu kurang dari 18 bulan sebelum Pemilu digelar pada Februari 2024 mendatang. Akankah Nasdem menggunakan efek popularitas untuk memperkuat tumpuan elektoral? Atau justru fokus pada program kerja yang diapresiasi pemilih? Perjalanan menuju pemilu dua tahun ke depan akan menjadi ujian bagi performa Partai Nasdem. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Analisis Litbang ”Kompas”: Akselerasi dan Tantangan Elektoral Partai Demokrat