Menyoal Arah Regulasi Penyelenggara Sistem Elektronik di Indonesia
Upaya pemerintah melindungi negara dan masyarakat dari ancaman di ruang digital dihadapkan pada perlunya mengamankan industri digital itu sendiri. Bagaimana menyeimbangkan kepentingan keduanya?
Oleh
Rangga Eka Sakti
·6 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Konsumen mencari film untuk ditonton melalui aplikasi hiburan berbayar Netflix di Tangerang Selatan, Banten, Rabu (19/3/2020).
Ketentuan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir penyelenggara sistem elektronik atau PSE privat yang tidak melakukan pendaftaran melahirkan polemik. Pasalnya, peraturan yang dijadikan landasan masih mengandung berbagai persoalan, termasuk terkait perlindungan privasi dan adanya potensi menggerus kebebasan berekspresi.
Kondisi ini juga terbebani dengan ekosistem digital di Indonesia yang masih sangat bergantung pada PSE asing, seperti Google dan Meta, yang membuat pemblokiran bisa berakibat fatal.
Ancaman pemblokiran ini sendiri terkandung dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat yang telah diubah melalui Permenkominfo No 10/2021. Melalui peraturan ini, Kominfo mewajibkan para PSE untuk melakukan pendaftaran.
Pemerintah tampaknya tidak main-main untuk memaksa para penyelenggara sistem elektronik melakukan pendaftaran.
Pemerintah tampaknya tidak main-main untuk memaksa para PSE melakukan pendaftaran. Pasalnya, PSE yang tidak melakukan pendaftaran diancam dengan berbagai hukuman. Dalam Pasal 7 Ayat (2) Permenkominfo No 5/2020, hukuman paling ”ringan” yang akan diberikan ialah pemutusan akses (access blocking) terhadap sistem elektronik.
Artinya, layanan atau aplikasi yang disediakan oleh PSE yang tidak melakukan pendaftaran akan diblokir oleh pemerintah. Akses terhadap sistem elektronik ini kemudian baru bisa dinormalisasi oleh Kominfo apabila PSE tersebut sudah melakukan pendaftaran.
Melihat tujuannya, peraturan ini dibuat dengan niat yang baik. Peraturan PSE lingkup privat ini disusun guna melindungi negara dan masyarakat dari berbagai ancaman di ruang digital. Ancaman itu mulai dari penyalahgunaan data pribadi, eksploitasi seksual pada anak, hingga radikalisme terorisme berbasis digital.
Melalui aturan ini, diharapkan lingkungan digital di Indonesia bisa sedikit lebih aman dan nyaman. Setidaknya, pemerintah bisa melakukan pengawasan dan penindakan secara lebih cepat dan tepat dengan memiliki daftar PSE yang beroperasi atau menawarkan layanannya di Indonesia.
Tak dapat dimungkiri, beberapa pasal dalam peraturan ini memang memiliki misi melindungi para konsumen di Indonesia. Sebut saja Pasal 14 yang mewajibkan PSE untuk memutus akses atau memblokir konten yang mengandung unsur terorisme atau pornografi anak.
Selain itu, peraturan ini juga bisa memberikan akses kepada pihak berwajib untuk mendapat akses sistem elektronik dalam upaya penanganan berbagai kasus, termasuk perdagangan orang, kejahatan terorganisasi, hingga situasi darurat lain yang mengancam nyawa seseorang.
Hanya, peraturan menteri yang dijadikan landasan yang memaksa PSE untuk mendaftar ini masih diselimuti berbagai persoalan. Klasik, peraturan ini mengandung pasal-pasal karet. Alih-alih menguntungkan masyarakat, apabila dipaksakan, aturan ini justru bisa berujung pada pelanggaran privasi atau bahkan mencederai demokrasi.
Merujuk pada Pasal 9, PSE wajib memastikan bahwa sistem elektroniknya tidak memuat atau menyebarkan informasi atau dokumen elektronik yang dilarang. Persoalannya, definisi informasi atau dan dokumen yang dilarang ini terlalu luas dan rancu.
Menurut Pasal 9 Ayat (4) dan Pasal 14 Ayat (3), salah satu kriteria dari informasi atau dokumen elektronik yang dilarang adalah yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
Definisi yang terlalu umum ini berpotensi membuat pasal tersebut multitafsir, bahkan bisa ditafsirkan sesuka hati oleh penegak hukum. Konten-konten kritik terhadap pemerintah bisa saja dengan mudah diblokir dengan alasan ”mengganggu ketertiban umum”.
Aturan ini praktis akan memberi pemerintah akses untuk melakukan sensor terhadap konten digital di Indonesia tanpa harus repot-repot meminta izin kepada PSE. Tentunya, hal ini akan menjadi pukulan mundur terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia.
KOMPAS/NAMA FOTOGRAFER
Logo Google
Terlebih lagi, aspek penyensoran ini tampak menjadi salah satu titik berat dari peraturan menteri tersebut. Dibandingkan dengan pasal-pasal yang bersifat memberikan perlindungan dari tindak kriminal seperti penipuan atau pencurian data pribadi, justru lebih banyak pasal yang mengancam PSE untuk dapat ”mengontrol” konten-konten yang ada dalam sistem elektroniknya.
Selanjutnya, peraturan ini juga memiliki pasal yang berpotensi melanggar hak privasi dari pengguna internet di Indonesia. Sebagai contohnya ialah Pasal 12 yang mengatur tentang kewajiban penyelenggara komputasi awan.
Dalam Ayat (3) pasal ini, penyelenggara komputasi awan wajib memberikan informasi atau data elektronik pengguna untuk kepentingan pengawasan dan penegakan hukum. Selaras dengan Pasal 9 dan Pasal 14, definisi kepentingan pengawasan hukum masih belum jelas sehingga penafsirannya bisa melebar.
Berdasarkan Pasal 2, PSE lingkup privat yang dimaksud termasuk PSE yang menyediakan atau mengelola perdagangan, menyediakan layanan keuangan, menyediakan konten digital, menyediakan layanan komunikasi, layanan mesin pencari dan PSE yang melakukan pemrosesan data pribadi. Definisi ini menunjukkan bahwa semua jenis penyelenggara sistem elektronik akan terdampak peraturan ini.
Hingga menjelang batas akhir, masih banyak PSE asing yang tampak belum melakukan pendaftaran. Beberapa jenama PSE yang masih belum mendaftar adalah PSE milik Meta, termasuk Whatsapp, Instagram, dan Facebook, dan juga Google.
Terlebih lagi, karena memiliki berbagai produk dengan layanan yang berbeda, misalnya Google yang memiliki layanan mesin pencari, layanan komunikasi, dan layanan komputasi awan, banyak dari perusahaan ini harus berulang kali melakukan pendaftaran.
Jatuhnya tempo pendaftaran ini akan berbuah simalakama bagi pemerintah. Di satu sisi, batas akhir pendaftaran akan menjadi ujian ketegasan pemerintah, terutama Menteri Kominfo, apabila tidak segera melakukan pemblokiran terhadap PSE yang tidak mendaftar. Tanpa ketegasan sikap, besar kemungkinan kebijakan yang dikeluarkan tidak akan dipatuhi lagi di kemudian hari.
Sementara di sisi lain, pemblokiran layanan PSE ini akan memberi dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Sehari-hari, masyarakat tidak bisa lepas dari layanan-layanan PSE dari luar negeri ini.
Pemblokiran layanan penyelenggara sistem elektronik ini akan memberi dampak negatif bagi kehidupan masyarakat.
Bahkan, pemerintah pun masih menggunakan berbagai layanan yang mereka sediakan, seperti layanan komunikasi via aplikasi chatting hingga aplikasi yang memberikan layanan pertemuan virtual, seperti Microsoft Teams, Zoom, atau Google Meet.
Hal ini menunjukkan bahwa jika benar-benar diblokir, banyak aspek kehidupan masyarakat akan terganggu. Jutaan usaha kecil dan menengah yang menawarkan produknya di media sosial akan berhenti beroperasi dan administrasi pemerintahan akan terhambat. Indonesia pun akan terputus dari ekosistem informasi dunia.
Sepanjang sejarah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, tak banyak negara yang mampu bertahan tanpa kehadiran PSE asing ini. Bahkan, negara-negara dengan infrastruktur jaringan yang jauh lebih maju dan sumber daya manusia yang lebih mumpuni di Eropa saja masih tetap harus berkolaborasi dengan PSE luar negeri. Bisa dibilang, hanya China yang mampu berdikari dan membuat ekosistem digitalnya sendiri.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Warga mengakses laman media sosial Facebook di Jakarta, Rabu (7/8/2019).
Maka, pemerintah harus benar-benar mempertimbangkan matang aturan PSE ini. Efek sanksi blokir terhadap investasi industri digital dan aksesibilitas publik harus terlebih dahulu dikaji melalui analisis dampak secara mendalam.
Tujuan lanjutan dari wajib daftar, definisi data yang dilarang (sensor), serta akses data untuk keperluan pengawasan juga harus tuntas dijelaskan kepada publik agar tidak mengundang kecurigaan kepada pemerintah.
Jangan sampai tujuan utama untuk melindungi negara dan masyarakat dari berbagai ancaman di ruang digital justru berbalik menjadi ancaman bagi industri digital dan keamanan masyarakat itu sendiri. (LITBANG KOMPAS)