Sanksi Pemblokiran Menjadi Langkah Terakhir Pemerintah
Pemerintah menyatakan pengabaian kewajiban pendaftaran penyelenggara sistem elektronik privat akan dikenai sanksi secara bertingkat. Hingga sekarang, kebijakan ini memicu keramaian publik.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menegaskan, sanksi atas pengabaian kewajiban pendaftaran penyelenggaraan sistem elektronik atau PSE privat tidak akan langsung berupa pemblokiran akses. Pemerintah akan terlebih dulu memberikan teguran tertulis kepada PSE privat.
”Tenggat menunaikan kewajiban pendaftaran PSE privat besok 20 Juli 2022 pukul 23.59 WIB melalui Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik Berbasis Risiko atau OSS RBA. Mulai 21 Juli 2022, kami akan mengirim surat teguran tertulis kepada PSE privat yang belum patuh,” ujar Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Semuel Abrijadi Pangerapan dalam konferensi pers, Selasa (19/7/2022), di Jakarta.
Kewajiban PSE privat mendaftar di OSS RBA diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat yang telah diubah melalui Permenkominfo Nomor 10 Tahun 2021.
Sesuai Pasal 7 Permenkominfo No 5/2020, Menteri Komunikasi dan Informatika berperan memberikan sanksi administratif berupa pemutusan akses kepada PSE privat yang tidak mendaftar. Dalam hal PSE lingkup privat telah mempunyai tanda daftar, tetapi tidak melaporkan perubahan informasi pendaftaran atau tidak memberikan informasi pendaftaran dengan benar, Menteri memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Jika teguran diabaikan, sanksi berikutnya berupa penghentian sementara serta pencabutan akses dan pencabutan tanda daftar PSE privat.
Apabila PSE lingkup privat telah memenuhi ketentuan pendaftaran, Menteri melakukan normalisasi terhadap sistem elektronik yang diputus aksesnya. Sementara jika PSE privat telah melakukan daftar ulang dengan memberikan informasi benar, Menteri juga akan melakukan normalisasi terhadap sistem elektronik yang diputus akses dan dicabut tanda daftarnya.
”Pemutusan akses itu peran Menteri Komunikasi dan Informatika. Ketika sudah patuh mendaftar, kami seketika langsung membuka blokir,” tegas Semuel.
Sanksi administratif berupa denda belum bisa diterapkan kepada PSE privat yang belum menunaikan kewajiban pendaftaran. Pasalnya, pemerintah masih melakukan uji publik rancangan permenkominfo tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dan pengajian keberatan atas pengenaan sanksi administratif. Ditambah lagi, lanjut Semuel, pihaknya masih membahas revisi peraturan pemerintah terkait penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor teknologi informasi.
Semuel menambahkan, sejumlah PSE privat asing berskala besar sudah menunaikan kewajibannya mendaftar, yakni Telegram, Facebook, Instagram, WeChat, Netflix, Grab, Mobile Legend, TikTok, Google Cloud, dan Microsoft. Beberapa PSE privat asing lainnya sedang dalam proses mengurus pendaftaran di OSS RBA. Dalam konteks PSE privat domestik, dia menyebut sudah banyak pemain berskala besar mendaftar, seperti Traveloka, Tokopedia, OVO, MyPertamina, dan KAI (Kereta Api Indonesia) Access.
Hingga Selasa sore, total PSE privat asing yang sudah mendaftar mencapai 124. Sementara total PSE privat domestik yang terdaftar sebanyak 6.464.
”Apabila mereka (PSE privat asing) menganggap Indonesia sebagai pasar potensial, mereka pasti bersedia mendaftar di OSS RBA. Kebijakan ini mirip seperti orang bertamu 24 jam dan harus lapor kepada rukun tetangga,” ujar Semuel.
Dengan adanya data PSE privat yang terdaftar, lanjut Semuel, pemerintah dapat mengaitkannya untuk pendataan penerimaan pajak. Sebab, semua PSE privat yang melayani transaksi barang/jasa akan dikenai pajak, seperti Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini akan dikoordinasikan dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Semuel menekankan, tidak ada kepentingan pengendalian konten yang diproduksi PSE privat dalam kebijakan wajib daftar di OSS RBA. Kebijakan wajib daftar semata-mata untuk kebutuhan pendataan. Pemerintah baru akan bertindak apabila masyarakat mengadu soal konten yang meresahkan.
”Kejadian sebelumnya juga begitu. Kami terima aduan publik terkait konten yang meresahkan, seperti penistaan agama. Lalu, kami menindaklanjuti dengan meminta PSE privat menurunkan konten tersebut,” ujarnya.
Menyimpang
Manajer Advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Muhammad Busyrol Fuad saat dihubungi terpisah berpendapat, Permenkominfo No 10/2021 hanya mengubah ketentuan Pasal 47 yang menyatakan penghitungan jangka waktu enam bulan atas kewajiban pendaftaran PSE privat. Sebelumnya, Permenkominfo No 5/2020 hanya menyatakan kewajiban pendaftaran PSE dilakukan sejak peraturan menteri berlaku. Artinya, tidak ada perubahan mendasar yang dilakukan pemerintah untuk mengakomodasi berbagai protes terhadap kebijakan itu sejak tahun 2020.
”Perlindungan data pribadi dan perihal pembatasan hak asasi mengakses internet, seperti pemutusan akses, hanya bisa dilakukan melalui dua cara. Cara pertama adalah regulasi setingkat undang-undang dan cara kedua melalui putusan pengadilan. Kehadiran permenkominfo itu jelas menyimpang,” kata Fuad.
Selain itu, lanjut Fuad, kehadiran Permenkominfo No 5/2020 berpotensi menyebabkan aktivitas pemblokiran yang berlebih karena ada permintaan dari agensi -agensi pemerintahan atau orang per orang tertentu untuk membatasi konten tertentu. Permenkominfo No 5/2020 juga memperlihatkan, dalam mengatur teknologi internet, pemerintah cenderung mempertahankan pendekatan terpusat atau state-centered. Peran-peran pemerintah sebagai regulator, pengawas, sekaligus pemberi sanksi masih dititikberatkan.
”Padahal, sebagai negara demokratis, Pemerintah Indonesia seharusnya dalam menggunakan otoritasnya perlu menggunakan pendekatan-pendekatan yang sifatnya multipihak dengan melibatkan seluruh aktor kunci dalam konteks teknologi internet,” ucap Fuad.
Apabila pemerintah berusaha mengaitkan denda pengabaian kewajiban pendaftaran PSE dengan PNBP, Fuad menilai itu pun bermasalah. Sebab, hingga sekarang, pemerintah belum memiliki regulasi PNBP layanan teknologi digital yang komprehensif.
Ditambah lagi, Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan tentang perlindungan data pribadi. Ketiadaan regulasi ini menyebabkan pemerintah akan kesulitan mengenakan denda administrasi atas pelanggaran data pribadi yang dilakukan PSE privat.
Bulan lalu, Koalisi Advokasi Permenkominfo No 5/2020, yang salah satu anggotanya adalah Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), meminta empat hal kepada pemerintah. Pertama, menghentikan segera proses registrasi PSE privat di OSS RBA. Permintaan kedua, pemerintah mencabut Permenkominfo No 10/2021 tentang Perubahan atas Permenkominfo No 5/2020 karena dapat mengganggu kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Permintaan ketiga, pemerintah harus bisa memastikan bahwa pelaksanaan Permenkominfo No 10/2021 sesuai dengan standar hukum hak asasi manusia internasional. Adapun permintaan keempat, pemerintah membuka dialog dengan masyarakat sipil. Tujuan dialog adalah membahas dampak kewajiban pendaftaran PSE privat di OSS RBA terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang daring.
SAFEnet juga membuat petisi penolakan kebijakan wajib pendaftaran PSE privat di OSS RBA. Petisi ini disebarluaskan di media sosial sejak dua hari lalu dan viral.