Isu Pemindahan Ibu Kota Negara, dari Perdebatan hingga Pengalihan
Keputusan pemindahan Ibu Kota Negara masih menjadi isu hangat hingga kini. Perdebatan warganet di media sosial kini telah melebar arahnya.
Langkah pemerintah untuk memulai program pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan masih menuai pro dan kontra. Isu ini terus berjalan dengan ragam topik, mulai dari pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN), naskah akademik, hingga kasus Edy Mulyadi.
Rapat Paripurna DPR yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani menyetujui pengesahan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara pada 18 Januari 2022 lalu. Sebelumnya, UU IKN secara resmi mulai dibahas oleh Pansus IKN pada masa persidangan II tahun sidang 2021-2022 pada 7 Desember 2021.
Pansus IKN melaksanakan rapat kerja dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Menteri Keuangan, Menteri ATR BPN, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Hukum dan HAM. Bersamaan dengan rapat 18 Januari 2020 itulah, turut disepakati pemberian nama “Nusantara” sebagai Ibu Kota Negara.
Pengesahan UU IKN ini rupanya menjadi momentum naiknya kembali isu mengenai pemindahan ibu kota di masyarakat dengan ramainya perbincangan di media sosial. Padahal, isu pemindahan ibu kota ini sebelumnya mulai surut atau hanya sesekali muncul di perbincangan warganet selama 2021. Misalnya di April 2021 lalu, saat gambar desain bangunan Istana Negara karya Nyoman Nuarta tersebar di lini masa media sosial.
Di awal tahun, isu pemindahan ibu kota perlahan memanas di media sosial setelah Presiden Joko Widodo menyetujui desain final bangunan Istana Negara tersebut. Nyoman Nuarta pun diundang ke Istana Merdeka untuk mempresentasikannya pada 3 Januari 2022 kemarin. Ketika DPR mengesahkan RUU IKN dan memberikan nama “Nusantara”, tampaknya publik makin tersadar bahwa rencana pemindahan ibu kota bukan hanya sekadar wacana lagi.
Kesadaran kolektif inilah yang memunculkan perbincangan tentang pemindahan ibu kota makin hangat dan topiknya kian melebar di media sosial. Berkaitan dengan inilah, Litbang Kompas melakukan pemantauan dan pemetaan terkait isu Ibu Kota Negara/Nusantara (IKN) melalui aplikasi Talkwalker dalam sepekan (18-24 Januari 2022). Secara garis besar, perbincangan mengenai IKN terbelah antara pihak yang mendukung dan menolak.
Jika melihat traffic perbincangan warganet, isu IKN ini cenderung konsisten dari jam ke jam selama sepekan. Artinya, perbincangan ini melibatkan akun-akun asli meski memang pasti juga disumbangkan oleh akun-akun bot atau pendengung. Isu IKN ini memang banyak dibahas oleh para influencer, tokoh politik, dan aktivis sosial.
Selama sepekan, traffic percakapan secara mendadak mengalami lonjakan pada 24 Januari 2022 antara pukul 10.00-11.00 WIB. Pada waktu itulah tercatat bahwa warganet banyak membicarakan tentang kasus penghinaan yang dilakukan Edy Mulyadi. Dirinya dikritik oleh warganet terkait pernyataannya yang diduga menghina Kalimantan Timur dan pemindahan ibu kota.
Tiga topik
Tercatat pula, perbincangan IKN selama sepekan ini telah menjangkau 235 miliar akun pengguna di media sosial dari berbagai platform. Dari perbincangan isu ini, dapat dipetakan tiga topik pembahasan warganet yang dominan di isu ini. Ketiganya ialah penolakan UU IKN dan rencana pemindahan ibu kota, naskah akademik pemindahan ibu kota, serta kasus Edy Mulyadi.
Pertama, penolakan UU IKN beserta rencana pemindahan ibu kota. Penolakan warganet atas rencana pemindahan ibu kota dan pengesahan UU IKN yang mulai muncul pada 18 Januari lalu berimbas pada lebih banyaknya sentimen negatif dalam perbincangan isu ini selama sepekan. Bukti sentimen negatif ini juga terlihat pada tagar #TolakUUIKN yang paling banyak digunakan warganet.
Tagar #TolakUUIKN awalnya didistribusi oleh akun-akun generik seperti para pengamat, aktivis sosial, beserta para pengikutnya. Warganet yang menolak pemindahan ibu kota ini mengangkat persoalan seputar dana IKN yang digunakan dari APBN di saat pemulihan ekonomi, dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup (seputar AMDAL), hingga mempertanyakan kembali urgensi dari kepindahan ini. Banyak warganet menyangsikan bahwa proyek pemindahan ibu kota ini terkait dengan kepentingan bisnis para pemodal dan pejabat di dalamnya dengan tagar #IKNProyekOligarki.
Kejutan muncul pada 24 Januari 2022, traffic tagar ini melonjak di rentang waktu 14.00-15.00 WIB. Ternyata, akun-akun yang menolak pemindahan ibu kota menggunakan tagar ini di konten mengenai kasus Edy Mulyadi. Temuan lainnya, akun bot dan pendengung dari pihak oposisi pemerintah mendompleng tagar #TolakUUIKN di konten-konten yang berisi kritikan terhadap pemerintahan Joko Widodo.
Layaknya ada kubu yang menolak, ada juga kubu yang mendukung IKN. Kubu ini mengunakan tagar #DukungIKN, #DukungIbuKotaNusantara, atau #MenujuIndonesiaMaju. Meski begitu, dalam isu ini tagar-tagar tersebut diduga disebarkan oleh akun bot dan pendengung yang melonjak drastis penggunaannya pada 24 Januari 2022 di jam yang tidak lazim, yakni pukul 00.00-01.00 WIB.
Dari topik pro dan kontra IKN ini, perbincangan warganet justru meluas ke persoalan pilihan politik. Lagi-lagi, kubu pro pemerintah dan oposisi menggunakan isu ini beserta tagar-tagar yang terkait guna menyelipkan kampanye idealisme masing-masing kubu. Perdebatan substansial mengenai rencana pemindahan ibu kota menjadi bergeser ke pilihan politis.
Topik kedua yang dibahas warganet ialah pembahasan terkait Naskah Akademik UU IKN yang disebarkan oleh akun @nobi_zen di kanal Twitter dan dibahas oleh para akademisi di media sosial. Inilah pembahasan substansial dan mendasar yang seharusnya terjadi, meskipun banyak warganet mengomentari bahwa kualitasnya mirip makalah biasa dan terkesan asal tulis. Padahal, menurut UU Nomor 12 Tahun 2011, Naskah Akademik merupakan naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ada banyak kejanggalan di naskah akademik tersebut. Misalnya alasan fundamental dipilihnya Kalimantan Timur dan landasan sosiologis yang disebut-sebut namun tidak dijelaskan teori sosiologis yang dirujuk. Selain itu, warganet juga menyinggung mengenai teknik penulisan yang tidak sesuai kaidah PUEBI hingga daftar rujukan naskah yang sedikit dan terkesan tidak membahas jurnal penelitian termutakhir.
Terlepas dari semua kekurangan dari naskah akademik tersebut, sorotan yang tidak kalah penting ialah bentuk pemerintahan IKN yang otoriter. Artinya, dalam naskah akademik disebutkan bahwa IKN akan langsung diawasi oleh DPR dan Kepala IKN dipilih dengan cara penunjukan, bukan melalui proses demokrasi seperti pemilihan kepala daerah lainnya. Lagi-lagi, landasan dipilihnya sistem tersebut tidak dijelaskan dalam Naskah Akademik UU IKN.
Topik selanjutnya yang masih hangat bergulir ialah kasus dugaan penghinaan yang dilakukan Edy Mulyadi. Kendati dirinya sudah memberikan klarifikasi permintaan maaf kepada publik, namun banyak pihak masih belum puas dan menuntut penindakan hukum terhadap dirinya. Selain penindakan hukum, para tokoh adat beserta Aliansi Masyarakat Dayak menuntut Edy Mulyadi untuk menjalani proses hukum adat.
Dari ketiga topik di pusaran isu pemindahan ibu kota, kasus Edy Mulyadi dapat dikatakan yang paling banyak menyita perhatian warganet dalam sepekan ke belakang. Persoalan yang berkaitan dengan etnosentrisme memang mudah memantik emosi masyarakat yang disinggung. Sebut saja kasus Arteria Dahlan yang menyinggung masyarakat Sunda yang juga terjadi di pekan ini.
Pengalihan isu
Dari penelusuran dan pemetaan terkait isu pemindahan ibu kota atau IKN, sekali lagi dapat dilihat bahwa masyarakat Indonesia (melalui warganet) mudah terbawa isu. Pembahasan terkait RUU IKN, dana yang digunakan, hingga landasan fundamental pemindahan ibu kota seharusnya yang banyak dibahas di ruang publik. Di antara ketiganya, perbincangan tentang Naskah Akademik RUU IKN adalah yang paling mencerminkan demokrasi sehat di tataran akar rumput.
Menyadur Jurgen Habermas, media sosial saat ini dapat menjadi offentlichkeit atau keadaan yang dapat diakses semua orang karena memiliki sifat inklusif. Ruang publik yang di media sosial seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat (civil society) sebagai ruang beradu argumen yang muaranya pada kepentingan bersama. Maka, pembahasan IKN seharusnya dapat diarahkan ke hal yang substansial daripada emosional semata.
Baca juga: RUU IKN Disetujui DPR, Akademisi Menilai Masih Banyak Pasal Bermasalah
Sayangnya, ruang publik khususnya di media sosial, justru teralihkan ke perdebatan pilihan politis dan isu etnosentrisme. Bukan berarti kedua topik tersebut tidak penting, tapi dalam konteks pembahasan IKN, persoalan selanjutnya yang diperlukan ialah pengawalan dari masyarakat. Bagaimanapun juga itulah yang dapat dilakukan masyarakat saat ini karena rencana pemindahan ibu kota sudah pasti akan terjadi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: UU IKN dan Keyakinan Publik