Proyek pemindahan ibu kota negara mendapatkan dukungan publik. Meski demikian, sikap ini masih dibayangi keraguan publik atas undang-undang ibu kota negara yang baru disahkan itu. Publik dihadapkan pada dilema.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Jajak pendapat Kompas mencatat perlunya pemerintah meyakinkan masyarakat bahwa undang-undang yang pengesahannya dianggap terlalu cepat dan tergesa-gesa ini bisa menjadi dasar hukum kuat untuk pembangunan ibu kota negara bernama Nusantara tersebut. Tanpa UU yang layak, sebagian responden dalam jajak pendapat Kompas pekan lalu khawatir jika nantinya potensi praktik korupsi dalam pembangunan proyek IKN akan tinggi.
Sebanyak 42,2 persen responden menyatakan setuju metode penyusunan Undang-Undang UU Ibu Kota Negara (IKN) dilakukan secara sangat cepat oleh DPR dibandingkan dengan pembahasan UU lainnya. Namun, ada 49,7 persen yang menyatakan ketidaksetujuan terhadap model penyusunan UU IKN yang supercepat tersebut dengan mayoritas alasan adalah munculnya risiko sosial politik yang kontraproduktif dari tujuan semula.
Jika diperhitungkan dengan angka simpangan sampling yang hanya sekitar 3 persen, tampaknya keraguan publik responden itu cukup tegas, meski tipis. Hal ini juga terkonfirmasi dari pola identitas sosial di mana berdasarkan latar belakang pendidikan, kelas sosial ekonomi, ataupun kategori usia, tidak banyak perbedaan signifikan pola penilaian terhadap aspek kecepatan penyusunan UU IKN ini.
Tidak hanya mempersoalkan metode penyusunan dan pengesahan undang-undang, kelompok responden yang kontra dengan UU IKN juga menyorot soal buruknya sosialisasi. Asumsi ini pun terkonfirmasi dari hasil jajak pendapat di mana nyaris 60 persen dari responden mengaku tidak mengetahui bahwa RUU IKN telah disahkan oleh DPR.
Dalam aspek sosialisasi, tampaknya pengesahan UU IKN baru banyak diserap oleh responden berlatar belakang pendidikan tinggi, di mana dua pertiga bagian menyatakan mengetahui. Sementara di kelompok responden berpendidikan rendah baru sepertiga bagian yang menyatakan mengetahui UU IKN. Adapun pola yang terlihat dari kelompok responden yang menyatakan mengetahui UU IKN, baik dari responden berpendidikan rendah, menengah, maupun tinggi, mayoritas sama-sama menyatakan setuju dan senang dengan pengesahan RUU IKN menjadi undang-undang.
Kelompok responden yang menerima UU IKN menitikberatkan pada urgensi pemindahan ibu kota negara. Hal ini tecermin dari lebih dari sepertiga jawaban responden, seperti Jakarta yang sudah minim daya dukung karena kepadatan, pemerataan ekonomi, dan perpindahan ibu kota yang sudah lama direncanakan sejak era Soekarno. Tak hanya itu, sekitar sepertiga responden juga setuju dengan pengesahan UU ini karena merasa yakin materi yang terkandung di dalamnya sudah dirancang dengan matang.
Dari data ini dapat dilihat bahwa masyarakat yang yakin dengan UU IKN ingin agar ibu kota baru segera digarap oleh pemerintah. Selain itu, pada dasarnya masyarakat sudah selesai dengan pertanyaan soal butuh tidaknya pemindahan ibu kota. Sebagian besar dari publik sepakat dengan pemerintah, cepat atau lambat, memindahkan ibu kota ke luar Jakarta atau Pulau Jawa merupakan pilihan yang rasional. Bahkan, di tengah keraguan, masih lebih banyak dari masyarakat yang yakin jika proyek IKN ini akan berhasil dilaksanakan pada 2024.
Di antara pasal-pasal dalam UU IKN, pasal terkait badan otorita IKN menjadi hal yang cukup diperhatikan publik. Seperti tercantum dalam UU, pemerintahan IKN nantinya akan dijalankan oleh badan otorita yang dipimpin oleh seorang kepala dengan posisi setara menteri. Tidak seperti provinsi lainnya, kepala daerah ini nantinya akan dipilih langsung oleh presiden setelah meminta pertimbangan dari DPR.
Publik cenderung terbelah dalam merespons model pemerintahan khusus ini. Meski perbedaannya sedikit, masih lebih banyak dari masyarakat yang kurang setuju dengan model pemerintahan ini. Survei menunjukkan, lebih kurang tiga perempat responden tidak setuju jika nanti IKN dijalankan oleh pemerintahan berbentuk otorita.
Penolakan semakin menguat ketika publik menanggapi soal teknis penyelenggaraan pemerintahan yang tercantum di dalam UU IKN. Hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat di mana lebih dari separuh responden menyerukan penolakan mereka dengan sistem penunjukan langsung dan ketiadaan proses pilkada. Respons ini dapat dimaknai bahwa masyarakat sebetulnya masih berharap demokrasi tidak hilang begitu saja di ibu kota baru,
Tanggapan negatif masyarakat tersebut tentu sangat dapat dimengerti. Selain bertolak belakang dengan semangat desentralisasi, model pemerintahan yang sentralistis dan cenderung tidak demokratis ini berpotensi menjadikan jabatan kepala otorita sebagai ”dagangan” elite pemerintah pusat. Tak hanya itu, suara masyarakat di kawasan ini pun akan semakin tak terdengar dengan tidak adanya DPRD sebagai lembaga legislatif di daerah.
Bagaimanapun juga nasi sudah menjadi bubur. Dengan disahkannya UU IKN, sulit membayangkan jika undang-undang ini tidak dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Meskipun begitu, di tengah respons publik yang terbelah, pemerintah masih memiliki celah untuk memperkuat pelaksanaan UU melalui aturan pelaksana yang tengah disiapkan.
Keraguan masyarakat memang tidak mudah untuk dihilangkan, mengingat aturan turunan tidak mungkin bertentangan dengan pasal yang ada pada UU di atasnya. Maka dari itu, pemerintah harus bisa membuat masyarakat percaya bahwa bentuk pemerintahan ini merupakan pilihan yang paling baik. Publik juga harus diyakinkan bahwa orang pilihan Presiden memang benar-benar kompeten, bukan hanya menjadi pejabat yang mendapat jatah ”kue politik” semata.
Bagaimanapun UU IKN tak hanya melibatkan aparat pemerintah dan swasta. Ke depannya, masyarakat umumlah yang akan turut membangun dan menempati ibu kota baru. Dilema publik terhadap hadirnya ibu kota negara yang baru semestinya menjadi momentum bagi pemerintah untuk menguatkan kembali sosialisasi kepada publik tentang pentingnya perpindangan ibu kota. Jika pemerintah gagal melihat momentum dukungan publik ini dengan membuat aturan turunan yang akomodatif, jalan perpindahan ibu kota negara ke depannya akan semakin terjal.