Seyogianya membangun negeri ini bukan berdasar kepentingan rezim, tetapi jangka panjang. Pembenahan hak masyarakat lokal yang lebih dulu bermukim, bukan cuma masyarakat adat, itu penting
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Masyarakat di sekitar kawasan inti calon ibu kota negara baru di Kalimantan Timur sudah mengalami perubahan cara bertahan hidup setelah masuknya perusahaan batubara, perusahaan kayu, dan sawit. Mereka akan menghadapi kembali perubahan dengan adanya rencana pemerintah memindahkan ibu kota ke wilayah mereka.
Di atas bak mobil pikap yang melaju pelan, Alfian (33) fasih bercerita tentang wilayah yang ia lalui. Sambil memegang mandau di pangkuannya, ia menunjuk sebuah bukit yang dulunya ia dan keluarganya tanami padi gunung. Lahan itu kini sudah ditumbuhi pohon karet dan sawit.
”Sejak 2009, orang di kampung sudah tidak menanam padi gunung lagi. Kami dulu masih (menerapkan) sistem ladang berpindah. Untuk membuka lahan baru, harus membakar lahan skala kecil. Perusahaan kayu melarang kami membakar,” ujar Alfian, Jumat (28/5/2021) pagi.
Keturunan suku Balik (disebut juga Dayak Paser Balik) itu masih ingat betul ada sejumlah warga yang membuka lahan dengan membakar, kemudian ditangkap oleh tim keamanan perusahaan. Padahal, sesuai dengan tradisi Paser Balik, membakar lahan tak bisa dilakukan sembarangan. Membakar lahan tak boleh luas dan dibatasi.
Hal itu juga dilakukan berkelompok sehingga ketika ada potensi api meluas bisa segera dipadamkan. Hal itu dilakukan Alfian dan sukunya berpuluh-puluh tahun dan tak pernah ada kebakaran hutan akibat cara itu. Namun, perubahan akibat desakan dari luar tak bisa dihindari Alfian dan sukunya.
Kini, mereka tak lagi berladang padi gunung untuk stok makanan setahun. Mereka beralih menjadi petani sawit dan karet. Sejumlah anak muda menjadi pekerja di perusahaan kayu, batubara, dan sawit. Sebab, selain terdapat perusahaan kayu, di sekitar Kecamatan Sepaku juga terdapat perusahaan sawit dan perusahaan batubara. Dari sana, muncul plasma sawit dan pengepul sawit.
Komoditas karet juga populer karena Kaltim menjadi salah satu eksportir karet ke China. Balai Karantina Pertanian Samarinda, Kementerian Pertanian, mencatat, ekspor karet dari Kaltim ke China pada semester I-2020 sebesar 246,9 ton atau senilai Rp 5,02 miliar.
Alfian dan keluarganya kini tinggal di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Kelurahan itu berbatasan dengan PT ITCI Hutani Manunggal, perusahaan kayu yang wilayahnya direncanakan menjadi ibu kota negara baru.
Dalam buku 90 Tahun Kota Balikpapan, orang-orang suku Balik semula bermukim di sepanjang Pantai Teluk Balikpapan. Nama Balikpapan juga diperkirakan berasal dari suku tersebut. Kini, suku itu sudah tersebar ke banyak wilayah setelah eksploitasi minyak dan pembangunan yang terjadi sejak era Kerajaan Kutai.
Eksploitasi sumber daya alam di Kalimantan Timur dimulai ketika Sultan Kutai memberikan konsesi batubara dan minyak bumi kepada Belanda melalui Jacobus Hubertus Menten pada 1888 (Naskah Akademik Perda PPU tentang Pembentukan PT Yakin Benuo Taka Energy, 2017). Sumur minyak Mathilda menjadi saksi pengeboran perdana pada 10 Februari 1897 di kaki Gunung Komendur di sisi timur Teluk Balikpapan.
Adapun eksploitasi besar-besaran hutan Kalimantan juga terjadi pada era Orde Baru di pengujung 1960-an, yang diikuti penambangan batubara, pembukaan lahan gambut, dan konsesi untuk kelapa sawit (Kompas, 28/8/2019).
Dengan masuknya industri dalam rentang waktu yang panjang itu, suku Balik diperkirakan berpindah sehingga tak lagi terkonsentrasi di Balikpapan. Masyarakat yang tinggal lebih dulu juga tertatih menghadapi perubahan. Kamri (35), keturunan Dayak Paser, misalnya, yang kini bertani sawit dan sesekali berburu, diselimuti kekhawatiran karena akan ada perubahan di tempat tinggalnya.
Warga Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, itu, rumahnya hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari kawasan PT ITCI Hutani Manunggal. Ia khawatir masa depannya dan keluarga ketika ada perpindahan orang dalam jumlah besar ke wilayahnya. Pemerintah memperkirakan akan ada 1,5 juta aparatur sipil negara dan keluarga yang menetap di ibu kota negara.
Perubahan besar-besaran pasti akan terjadi, pikir Kamri. Namun, ia belum menemukan siasat agar orang sepertinya bisa bertahan dengan perubahan yang mungkin terjadi. Ia tak bisa membayangkan perubahan itu. Ia juga khawatir apakah pekerjaannya saat ini bertahan di tengah perubahan itu.
”Dulu bisa sering berburu kijang karena hutan luas. Sekarang urus kebun sawit untuk dijual. Lahannya sekitar 1 hektar,” ujar Kamri di depan rumah kayunya.
Antropolog dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Simon Devung, mengingatkan pemerintah agar tidak tergesa-gesa dalam proses pemindahan ibu kota negara. Menurut dia, hak-hak warga lokal ataupun pendatang yang sudah menetap lebih dulu perlu dipenuhi terlebih dahulu. Begitu juga dengan nilai kearifan lokal yang dikembangkan turun-temurun, yang sudah adaptif dan paling sesuai dengan kondisi sosial masyarakat setempat.
”Seyogianya membangun negeri ini bukan berdasar kepentingan rezim, tetapi jangka panjang. Pembenahan hak masyarakat lokal yang lebih dulu bermukim, bukan cuma masyarakat adat, itu penting,” kata Simon.
Semangat itu juga dikemukakan ketua tim peneliti arkeologi di sekitar wilayah ibu kota negara, Harry Truman Simanjuntak. Meskipun berfokus pada penelitian arkeologi, penelitiannya juga melibatkan antropolog, biolog, geolog, hingga ahli bahasa. Tujuannya mengaitkan kehidupan leluhur, alam, hingga manusia yang saat ini menetap. Hasil penelitiannya akan menjadi rekomendasi kepada pemerintah.
”Membangun sebuah ibu kota negara pasti membawa banyak perubahan. Prinsipnya, jangan sampai ada efek merusak. Jadi, tidak serta-merta menghilangkan aset yang ada di wilayah itu, tetapi justru menggali dan mengembangkan menjadi bagian pengembangan ibu kota negara,” tutur Truman.
Setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa sebagian Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara menjadi lokasi paling cocok sebagai ibu kota negara baru, berbagai kementerian silih berganti datang. Sejumlah warga sudah mendapatkan keuntungan dengan membuka penginapan hingga warung makan.
Meski demikian, kepastian pembangunan ibu kota negara masih menunggu rancangan undang-undang selesai dibahas DPR. Sejurus dengan itu, orang seperti Kamri juga berharap kepastian perubahan yang lebih baik bagi orang sepertinya yang sudah menetap puluhan tahun di sana.
”Pasti akan ramai di sini. Awal-awal pasti ada pekerjaan angkut-angkut untuk saya yang tidak lulus SD. Ke depan, ya ndak tahu akan kerja apa,” ujar Kamri.