Perlindungan Pekerja Migran di Masa Pandemi
Sebagaimana tenaga kerja di seluruh sektor, pekerja migran juga mengalami tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Bantuan sosial dan program pemberdayaan diperlukan agar tetap dapat bertahan dan berdaya saing.
Pandemi Covid-19 memukul berbagai sektor ekonomi dan bisnis. Lesunya aktivitas ekonomi turut memberi dampak pada pengurangan jam kerja dan penghasilan tenaga kerja. Berdasarkan laporan BPS pada Agustus 2021 ada 21,32 juta penduduk Indonesia yang terdampak Covid-19, baik itu menjadi penganggur, tidak bekerja untuk sementara waktu, maupun mengalami pengurangan jam kerja. Khusus jumlah pengangguran karena Covid-19 tercatat 1,82 juta orang.
Tren tenaga kerja global juga masih menunjukkan tekanan pandemi bagi pekerja. Walau menunjukkan penurunan dibanding pada saat awal pandemi di 2020, tetapi hingga kuartal III-2021, Organisasi Buruh Internasional (ILO)masih memperkirakan dampak lanjutan pandemi bagi pasar tenaga kerja dunia. Sebanyak 4,7 persen jam kerja di dunia diperkirakan hilang akibat pandemi. Ini, setara dengan 137 juta pekerjaan penuh waktu berdasarkan 48 jam kerja seminggu.
Dampak Covid-19 juga dialami pekerja migran Indonesia. Pekerja Migran Indonesia merupakan sebutan bagi setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Tanah Air.
Pekerja migran merupakan salah satu pihak yang rentan terkena dampak pandemi. Virus yang tidak mengenal asal negara dan profesi ini bisa memapar siapa saja dan di mana saja. Di negara penempatan mereka rawan tertular virus korona, mengalami risiko kehilangan pekerjaan, serta memiliki keterbatasan akses untuk mendapatkan bantuan sosial atau vaksin Covid-19.
Mereka juga rentan terombang-ambing kebijakan pembatasan sosial di jalur kepulangan yang melewati berbagai perbatasan negara. Risiko juga dialami para pekerja migran setelah kembali ke Tanah Air, terutama dampak keberlangsungan penghidupan untuk menghadapi dampak pandemi yang sudah memasuki tahun ketiga ini.
Di awal merebaknya pandemi sejumlah pekerja migran ikut tertular virus korona. Data Kementerian Tenaga Kerja pada Mei 2020menyebutkan ada 587 orang pekerja migran di 11 negara penempatan yang terpapar Covid-19. Sepuluh pekerja migran diantaranya meninggal dunia.
Selain dari aspek kesehatan, dampak sosial ekonomi juga dihadapi para pekerja migran. Hasil survei Migrant Care dan Universitas Brawijaya pada November 2020 – Februari 2021 terhadap 2.500 pekerja migran di tujuh negara menunjukkan fenomena tersebut.
Masalah paling banyak adalah tidak digaji yang diungkapkan 20 persen responden pekerja migran. Dengan kondisi ini para pekerja migran dipastikan akan terhambat mengirimkan uang ke keluarganya. Sementara 16 persen responden pekerja migran lainnya menyatakan mengalami kekerasan.
Selain masalah upah dan kekerasan, dalam catatan Migrant Care sejak Januari 2020 – Juni 2020, ada 130.729 pekerja migran yang harus pulang di masa pandemi, utamanya karena kontrak kerjanya habis. Selesainya kontrak kerja ini juga masih terjadi hingga 2021. Pada periode April-Mei 2021 terdapat 49.682 pekerja migran yang harus pulang kampung.
Terbatas
Di masa pandemi, berakhirnya kontrak kerja menjadi satu permasalahan tersendiri yang dihadapi pekerja migran. Hal ini karena mereka belum tentu dapat segera mendapatkan kontrak baru.
Ketidakpastian segera mendapat pekerjaan karena adanya kebijakan penghentian pengiriman pekerja migran ke negara-negara tujuan selama merebaknya virus korona. Keterbatasan ini juga akibat kebijakan pembatasan sosial atau karantina wilayah yang diberlakukan di berbagai negara, termasuk negara-negara yang banyak menjadi tujuan penempatan.
Data BP2MI menunjukkan di masa pandemi penyaluran pekerja migran menunjukkan tren penurunan. Pada 2020 tercatat hanya 113.173 orang pekerja migran yang berangkat ke luar negeri. Jumlah tersebut menurun dibandingkan pada 2019 yaitu sebanyak 276.553 orang dan 283.640 pekerja migran pada 2018.
Hingga Januari – Juli 2021, ada 40.805 orang yang bekerja ke luar negeri. Total keberadaan pekerja migran di luar negeri juga mengalami penurunan dari 3,74 juta orang pada 2019 menjadi 3,19 juta orang di 2020.
Seiring dengan berkurangnya jumlah pekerja migran dan dampak pandemi yang dialami pekerja migran, jumlah remitensi per tahun juga menunjukkan penurunan dari 11.435 juta dollar AS di 2019 menjadi 9.427 juta dollar AS di 2020. Pada 2021, hingga kuartal ketiga tercatat remitansi hanya sebesar 6.840 juta dollar AS.
Berbagai dampak pandemi dari aspek kesehatan, sosial, dan ekonomi mengingatkan pentingnya langkah perlindungan bagi pekerja migran di masa pandemi. Secara mendasar, konsep perlindungan ini sebenarnya sudah tertera dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Di masa pandemi seperti saat ini, penambahan aspek kesehatan sebagai bagian dari perlindungan menjadi faktor krusial yang harus dipertimbangkan dalam pengiriman pekerja migran. Jaminan mendapat bekal kesehatan dan mengakses layanan kesehatan termasuk vaksin Covid-19 harus menjadi bagian dari skema perlindungan pekerja migran sejak sebelum berangkat, bekerja di negara penempatan, dan saat pulang.
Jangan sampai pekerja migran terkatung-katung saat berhadapan dengan paparan virus korona atau tidak mendapatkan layanan kesehatan dan vaksin terutama di negara tujuan. Demikian pula dengan aspek dampak non-kesehatan. Perlindungan bagi pekerja migran yang terkena PHK, tidak menerima gaji, atau dipotong gajinya juga harus menjadi langkah mitigasi perlindungan pekerja migran.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah melalui kedutaan besar telah memberikan paket bantuan darurat bagi pekerja migran seperti yang dilakukan KBRIBandar Seri Begawan dan KJRI Melbourne, serta akses mendapatkan vaksin Covid-19 oleh KBRI Manama, Bahrain.
Di dalam negeri, untuk mengantisipasi makin parahnya dampak pandemi, pemerintah juga meluncurkan berbagai program bantuan kepada pekerja migran. Sebagai bagian dari lanskap tenaga kerja, pemerintah juga menyapa para pekerja migran yang terkena dampak pandemi melalui Kartu Prakerja. BP2MI melaporkan pada 2020 hampir 120.000 pekerja migran telah memanfaatkan Program Kartu Prakerja.
Jaminan
Secara umum, pemerintah juga melakukan langkah-langkah perlindungan di masa pandemi. Di awal merebaknya wabah Covid-19, pemerintah menghentikan sementara penempatan pekerja migran. Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 151 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
Langkah tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan meluasnya wabah Covid-19 di Indonesia dan negara-negara tujuan penempatan, serta ditetapkannya wabah korona sebagai darurat kesehatan global oleh WHO.
Namun kebijakan yang dikeluarkan pada Maret 2020 tersebut segera dicabut melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 294 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru yang diberlakukan pada Juli 2020.
Pertimbangannya, upaya percepatan ekonomi nasional sebagai dampak pandemi memerlukan pembukaan kembali kesempatan bagi calon pekerja migran untuk bekerja di luar negeri. Tentu saja pengiriman pekerja migran ini tetap dengan prinsip mengedepankan protokol kesehatan.
Dari sini terlihat, walaupun diberlakukan sementara, kebijakan penghentian penempatan pekerja migran menjadi dilema bagi pemerintah. Di satu sisi, pertimbangan keselamatan warga menjadi satu prioritas, tetapi di sisi lain penghentian pengiriman tentu memiliki dampak bagi perekonomian Indonesia terutama dari aspek lapangan pekerjaan.
Masih terpuruknya aktivitas ekonomi dan dunia usaha di dalam negeri yang juga terdampak pandemi membuat pilihan membuka kembali penyaluran pekerja migran diambil pemerintah. Pengiriman kembali pekerja migran di masa-masa pandemi masih merebak juga memperlihatkan adanya problem mendasar dari permasalahan pekerja migran dan juga tenaga kerja secara keseluruhan, yaitu ketersediaan lapangan pekerjaan dengan upah yang layak.
Pandemi juga mendorong kasus-kasus perlindungan yang selama ini mengemuka yaitu perlindungan hukum di negara penempatan serta tata kelola rekrutmen dan penyaluran pekerja migran harus segera dituntaskan mengingat ada dampak yang lebih serius berupa terputusnya penghidupan para pahlawan devisa ini akibat Covid-19.
Wabah yang masih mengancam hingga saat ini membuat peluang Indonesia mengirimkan lebih banyak tenaga kerja menjadi terhambat. Namun, jika mau dilihat dari aspek yang lebih mendalam, keterbatasan mobilitas juga dapat memberi peluang baru bagi Indonesia dalam hal penyiapan kualitas pekerja migran.
Masih terbatasnya penerimaan jumlah pekerja migran oleh negara-negara tujuan dapat digunakan untuk membenahi tata kelola pengiriman pekerja migran. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2021 memberikan amanat bagi pemerintah kabupatan/kota untuk melakukan pendataan calon pekerja migran sesuai persyaratan, melakukan verifikasi kelengkapan dokumen pekerja migran, serta pembinaan lembaga terkait termasuk agen pekerja migran.
Di tingkat desa, pemerintahan desa setempat memiliki kewajiban melakukan verifikasi data dan pencatatan identitas calon pekerja migran. Selain itu pemerintah desa juga berkewajiban memfasilitasi pemenuhan persyaratan administrasi kependudukan calon pekerja migran.
Pembenahan tata kelola dari proses awal rekrutmen di tingkat pemerintahan terdepan dapat dilakukan untuk meminimalisasi problem kelengkapan dokumen bagi calon pekerja migran dan menghindari adanya agen penyalur nakal yang banyak merugikan pekerja migran. Tipu daya dokumen resmi seperti pemalsuan umur dan tidak lengkapnya dokumen selama ini menjadi celah pekerja migran mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari pemberi kerja dan penahanan akibat razia identitas dari otoritas negara tujuan penempatan.
Di luar pembenahan tata kelola di lingkup awal proses perekrutan, regulasi Negara juga menugaskan pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa untuk menyediakan program pelatihan kerja dan pemberdayaan sosial bagi pekerja migran.
Belajar dari kompetensi pekerja migran Filipina, peningkatan kualitas pekerja migran dari pelatihan ini dapat fokus pada tiga hal, yaitu keterampilan teknis pekerjaan, kemampuan bahasa asing terutama bahasa Inggris, serta pengetahuan aturan hukum di negara penempatan. Dengan bekal ini diharapkan dapat menghadirkan pekerja migran yang berdaya saing jika kebijakan penempatan pekerja migran sudah dibuka lebar seiring terkendalinya wabah korona.
Sedangkan upaya pemberdayaan sosial menjadi jalan lain munculnya sumber penghidupan bagi pekerja migran dan keluarganya. Pemberdayaan sosial yang dilakukan secara bersama-sama dalam lingkup komunitas berpotensi membuka peluang usaha di tingkat desa bagi masyarakat termasuk pekerja migran.
Inisiasi seperti ini telah dilakukan Migrant Care melalui program Desa Peduli Buruh Migran (DESBUMI) di sebagian desa di Jabar, Jateng, Jatim, NTB, dan NTT. Di sejumlah desa binaan, aneka produk usaha dilakukan mulai dari membuat masker hingga produksi bahan makanan.
Baca juga: Pekerja Migran Belum Terima Bantuan
Bekal kemampuan ini menjadi jalan pemberdayaan bagi pekerja migran dan keluarganya untuk tetap terlindungi di masa pandemi. Ragam kebijakan dan bantuan pemerintah selama pandemi kepada seluruh tenaga kerja terdampak pandemi seperti bansos, kartu pra kerja, dan program padat karya memiliki daya jangkau terbatas dari sisi waktu mengingat keterbatasan anggaran Negara.
Program pemberdayaan ekonomi yang menyentuh problem dasar tenaga kerja yaitu ketersediaan lapangan usaha terus dinanti para calon pekerja migran dan tenaga kerja pada umumnya. Tanpa kebijakan penanganan yang mendasar, keinginan bertahan hidup dengan mencari sumber penghasilan ini akan tetap dilakukan calon-calon pekerja migran di masa pandemi dengan berbagai cara. Modal nekat ini termasuk dengan menggunakan dokumen tidak resmi dan agen penyaluran abal-abal dengan risiko mempertaruhkan nyawa di perjalanan untuk mencapai negara tujuan. (LITBANG KOMPAS)