Pentingnya Transisi Ekonomi di Kalimantan
Persentase penduduk miskin dan ketimpangan yang rendah di Kalimantan ternyata belum menjamin kualitas kehidupan masyarakatnya menjadi lebih baik. Rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan bisa menjadi katalisator.
Investasi memiliki peranan penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi. Dalam struktur produk domestik bruto (PDB) dari sisi pengeluaran, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi menduduki peringkat kedua setelah sektor konsumsi. Rata-rata sekitar 31 persen kemajuan ekonomi nasional disumbang oleh sektor investasi tersebut.
Daerah yang memiliki tingkat investasi yang tinggi juga memiliki tingkat kecenderungan kemajuan ekonomi yang tinggi pula. Dalam kurun 2016-2020, mayoritas investasi di Indonesia sekitar 80 persen terakumulasi di Jawa dan Sumatera. Pulau Jawa sekitar 57 persen dan Sumatera sekitar 22 persen.
Dampaknya, kemajuan ekonomi nasional juga terakumulasi di kedua wilayah itu. Setiap tahun rata-rata sekitar 58 persen kemajuan ekonomi bersumber dari Jawa dan 21 persen dari Sumatera.
Untuk daerah lainnya, seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua, dan Bali-Nusa Tenggara, rata-rata berkontribusi relatif kecil. Masing-masing kurang dari 8 persen setahun. Kondisi demikian linier dengan besaran investasi yang masuk di sejumlah wilayah tersebut yang rata-rata juga di bawah 8 persen setahun.
Deskiripsi tersebut mengindikasikan bahwa investasi memiliki peran yang sangat penting untuk menopang kemajuan ekonomi wilayah. Dengan masuknya investasi, peluang untuk meningkatkan unit produksi semakin tinggi sehingga mampu menambah peluang lapangan pekerjaan baru.
Semakin banyak orang yang bekerja secara produktif, kualitas kehidupan masyarakat akan semakin baik. Kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan penduduk secara luas dapat meningkat. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa investasi berperan secara tidak langsung bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran.
Salah satu tolok ukur kemakmuran itu adalah pendapatan per kapita yang tinggi. Dari lima wilayah di Indonesia, Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tingkat pendapatan per kapita yang tinggi di Indonesia.
Pada 2020, PDRB per kapita di Kalimantan mencapai kisaran Rp 74 juta per kapita. Nominal ini jauh meninggalakan Jawa dan Sumatera yang hanya berkisar Rp 56 juta-Rp 60-an juta nasional.
Dengan investasi yang relatif kecil, yakni hanya sekitar 8 persen dari seluruh total investasi nasional, Kalimantan menghasilkan nilai ekonomi regional yang relatif tinggi sehingga memberikan nilai pendapatan per kapita yang terbanyak di Indonesia.
Dengan pendapatan yang relatif tinggi itu menyebabkan jumlah kemiskinan di seluruh Kalimantan rata-rata cukup rendah di bawah persentase kemiskinan nasional yang mencapai 10,14 persen. Persentase kemiskinan di kalimantan rata-rata di bawah 8 persen.
Ketimpangan pendapatan di seluruh wilayah Kalimantan pun relatif rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional yang mencapai 0,382. Nilai koefisien gini di Kalimantan rata-rata berada pada kisaran 0,310-0,340. Bahkan, di Kalimantan Utara nilai koefisien gininya dapat mencapai 0,292, yang artinya ketimpangan pendapat antarmasyarakatnya relatif sangat kecil.
Hanya saja, persentase kemiskinan dan juga ketimpangan pendapatan yang relatif kecil tersebut ternyata tidak selalu memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang juga lebih baik secara merata.
Indikasinya terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia di Kalimantan yang rata-rata di bawah IPM nasional yang sebesar 72,29. Dari lima provinsi di Kalimantan, hanya Kalimantan Timur yang IPM-nya di atas rata-rata nasional, yakni mencapai 76,88.
Daerah lainnya hanya memiliki IPM pada kisaran 71-an. Bahkan, di Kalimantan Barat, IPM-nya jauh lebih kecil lagi, yakni sebesar 67,90. Relatif belum meratanya IPM ini patut menjadi perhatian penting bagi pemerintah dan stakeholder terkait.
Pasalnya, IPM ini merupakan tolok ukur penting untuk melihat seberapa besar masyarakat dapat mengakses sejumlah hasil pembangunan, seperti pendapatan, kesehatan, dan pendidikan. Bisa jadi, potensi ekonomi yang dimiliki daerah tersebut belum sepenuhnya mampu untuk menyejahterakan masyarakat secara luas.
Baca juga : Peluang Investasi di Kalimantan Terbuka Lebar, Hilirisasi Jadi Kunci
Ekonomi ekstaktif dan agraris
Secara umum, potensi ekonomi yang sudah tergarap dengan baik di Kalimantan adalah bersifat ekstaktif. Sumber daya alam yang terkandung di bumi Kalimantan digunakan sebesar-besarnya untuk mendorong kemajuan perekonomian daerah.
Bila diakumulasikan seluruh wilayah Kalimantan, sektor yang paling besar kontribusinya adalah sektor pertambangan dan penggalian. Sekitar 26 persen PDRB seluruh Kalimantan berasal dari lapangan usaha ini. Komoditasnya beragam, mulai dari pertambangan batubara, migas, bijih logam, hingga pertambangan lain-lain.
Dari berbagai jenis pertambangan tersebut, batubara adalah yang terbesar karena menguasai sekitar 72 persen nilai produksi usaha pertambangan di Kalimantan.
Usaha pertambangan batubara terbesar di Kalimantan berpusat di wilayah Kalimantan Timur. Konsribusi PDRB dari komoditas pertambangan ini pada 2020 mencapai Rp 191 triliun.
Peringkat berikutnya disusul Kalimantan Selatan dengan kontribusi sekitar Rp 29 triliun, Kalimantan Utara sekitar 16-an triliun, dan Kalimantan Tengah sekitar Rp 7 triliun. Untuk sentra komoditas migas berpusat di wilayah Kaltim dan Kaltara dengan besaran kontribusi lebih dari Rp 36 triliun.
Untuk komoditas pertambangan bijih logam tersebar merata di seluruh Kalimantan. Hanya saja, yang terbesar berada di wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Selain pertambangan, sektor lain yang memberikan andil besar bagi perekonomian Kalimantan adalah agraris. Tepatnya pada subsektor perkebunan. Sektor yang sebagian besar berupa komoditas kelapa sawit ini mampu memberikan sumbangan bagi PDRB Kalimantan hampir 7 persen atau sekitar Rp 84 triliun.
Komoditas ini dibudidayakan di seluruh Kalimantan, tetapi yang terbesar berada di wilayah Kaltim, Kalbar, dan Kalteng. Nilai kontribusinya bagi PDRB setempat masing-masing lebih dari Rp 21 triliun.
Baca juga : Nikel dan Kemajuan Ekonomi Daerah
Tantangan ekonomi masa depan
Kemajuan ekonomi Kalimantan yang sebagian besar ditopang oleh usaha ekstaktif pertambangan dan juga perkebunan itu akan memiliki tantangan yang besar pada masa depan. Isu global terkait dengan net zero emission pada 2050 akan kontraproduktif dengan potensi ekonomi yang saat ini dimiliki Kalimantan.
Rencana Pemerintah Indonesia yang akan melakukan terminasi pembangkit batubara berteknologi rendah beberapa tahun ke depan tentu akan menjadi permasalahan serius bagi perekonomian Kalimantan.
Belum lagi, adanya upaya serupa yang juga dilakukan sejumlah negara akan melakukan terminasi PLTU di negaranya mengikuti arahan kesepakatan Paris Agreement, COP 21.
Pembangunan pembangkit energi fosil, terutama batubara, tidak akan mendapat bantuan pinjaman dari sejumlah negara donor. Permintaan batubara untuk PLTU kemungkinan akan berkurang pada masa mendatang.
Kondisi tersebut akan menjadi ancaman serius bagi perekonomian Kalimantan. Pasalnya, mayoritas permintaan batubara digunakan untuk kepentingan PLTU, baik itu DMO maupun yang ekspor.
Posisi Kalimantan sangat rentan terhadap penurunan permintaan batubara ini karena sekitar 86 persen produksi batubara nasional berasal dari Kalimantan. Artinya, skenario global menuju zero emission menjadi tantangan yang berat bagi perekonomian Kalimantan. Belum lagi adanya ancaman yang serius dari kerusakan alam pascatambang yang tidak direklamasi secara baik.
Komoditas lainnya yang juga akan mengalami tekanan berat terhadap isu lingkungan adalah kelapa sawit. Isu deforestasi dan kerusakan lahan hutan akan menjadi hambatan besar dalam pengembangan budidaya kelapa sawit di Kalimantan.
Di satu sisi memberikan kontribusi perekonomian nasional yang relatif besar, tetapi di sisi lainnya berpotensi negatif bagi lingkungan. Hingga saat ini, budidaya kelapa sawit di Kalimantan merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia.
Luasan lahannya mencapai 6 juta hektar atau sekitar 40 persen dari semua luas lahan sawit di Indonesia. Total produksinya mencapai 19,4 juta ton atau sekitar 39 persen dari produksi nasional.
Besarnya produksi ini tentu saja akan memberikan tekanan yang besar pula terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Hutan lestari yang mampu menyerap emisi karbon terancam oleh degradasi lingkungan yang mengatasnamakan kemajuan ekonomi.
Oleh sebab itu, skenario Pemerintah Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045 sekaligus menuju target rendah emisi pada 2060 relatif tidak mudah untuk diimplementasikan menjadi suatu kebijakan pemerintahan.
Terutama bagi pemerintah daerah yang selama ini sebagian besar mengandalkan kemajuan ekonominya dari sektor primer, seperti usaha ekstaktif dan perkebunan yang membutuhkan lahan yang luas sehingga mengancam kelestarian alam.
Perlu kebijakan yang tepat dalam mendorong transisi ekonomi tersebut. Dari usaha primer bergeser secara bertahap menuju sektor yang lebih tinggi lagi. Seperti industri manufaktur dan jasa.
Memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur diharapkan dapat menjadi sebuah katalisator yang mendorong masuknya investasi ke Kalimantan.
Namun, hal ini tentu saja memerlukan investasi yang relatif besar sehingga memerlukan kerja sama yang erat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan segenap stakeholder terkait.
Rencana pemerintah yang mulai akan memindahkan status ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur pada 2024 diharapkan dapat menjadi sebuah katalisator yang mampu mendorong masuknya investasi ke Kaltim dan Kalimantan secara umum lebih cepat lagi. Oleh sebab itu, perlu kesiapan daerah untuk menangkap peluang potensi investasi yang bakal hadir di Kalimantan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Jahitan Harapan untuk Penerbangan dan Pariwisata