Jahitan Harapan untuk Penerbangan dan Pariwisata
Tren kedatangan jumlah pesawat dan penumpang di Indonesia mengalami penurunan. Pandemi menjadi pukulan berat bagi bisnis penerbangan dan pariwisata. Mampukah kedua sektor ini bangkit?
Dunia penerbangan masih dibayangi pandemi Covid-19 di pengujung tahun ini. Ketatnya aturan perjalanan udara di sejumlah negara, termasuk Indonesia, membuat banyak maskapai sepi penumpang dan merugi.
Indikasi ini terlihat dari tren kedatangan jumlah pesawat dan penumpang di Indonesia, baik untuk perjalanan domestik maupun luar negeri. Untuk penerbangan domestik, jumlah kedatangan pesawat anjlok lebih dari 60 persen pada 2020 dibandingkan dengan 2019 sehingga jumlah penumpang domestik pun turun hingga lebih dari 40 juta orang.
Pada penerbangan internasional, penurunannya jauh lebih dalam: jumlah kedatangan pesawat berkurang lebih dari 70 persen. Kedatangan jumlah penumpang dari luar negeri turun hingga sekitar 86 persen.
Tahun 2021, eskalasi peningkatan wabah akibat munculnya varian Delta membuat sejumlah negara kembali menghadapi masa-masa sulit. Perjalanan lintas negara atau lintas daerah dengan menggunakan pesawat untuk sementara waktu menjadi agenda yang ditunda atau dihindari.
Akibatnya, tren jumlah kedatangan penumpang menurun lebih dalam lagi. Sepanjang 2021, hingga Oktober, jumlah penumpang domestik berkurang hingga sekitar 13 juta orang dari posisi terakhir pada 2020 yang mencapai 35 juta orang.
Angka kedatangan penumpang internasional jauh lebih miris. Selama 10 bulan, hingga Oktober 2021, jumlahnya belum mencapai 500.000 orang. Padahal, sebelum pandemi, angka kedatangan penumpang internasional di Indonesia diperkirakan belasan juta orang per tahun.
Munculnya varian baru, Omicron, di sejumlah negara menjelang akhir tahun ini kembali mengguncang kepercayaan pelaku sektor penerbangan. Hingga saat ini belum resmi terkonfirmasi adanya kasus positif Omicron di Indonesia.
Akan tetapi, hal itu harus diwaspadai bersama dan berpengaruh terhadap permintaan sektor transportasi, khususnya perjalanan dengan angkutan udara.
Maskapai merugi
Menurut data Indonesia National Air Carriers Association (INACA), pada 2020 tingkat keterisian kursi pesawat terbang turun drastis hingga di kisaran 57 persen dari semua kursi tersedia.
Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, tingkat okupansi kursi penerbangan ini rata-rata mencapai 75 persen per tahun. Anjloknya permintaan tersebut tentu berpengaruh pada kinerja maskapai penerbangan karena beban operasional lebih besar daripada pendapatan.
Baca juga:
Sebagian besar maskapai yang beroperasi untuk penerbangan komersial di Indonesia hampir dipastikan merugi pada masa pandemi ini. Tak terkecuali, maskapai besar seperti Grup Lion dan Grup Garuda Indonesia, yang menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar penerbangan domestik, juga mengalami tekanan kerugian ini.
Tahun 2020, Grup Lion yang terdiri dari maskapai Lion Air, Batik Air, dan Wing Air, mengalami penurunan jumlah penumpang sekitar 48 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pada grup maskapai nasional yang terdiri dari Garuda Indonesia dan Citilink, penurunannya lebih tajam lagi, yakni mencapai 63 persen pada periode 2019-2020. Terparah adalah maskapai Garuda Indonesia karena mengalami penurunan permintaan jumlah penumpang hingga 70 persen.
Anomali kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan secara umum. Apabila perusahaan memiliki manajemen yang bagus serta memiliki kepercayaan dari para investor dan kreditornya, perusahaan penerbangan tersebut dapat bertahan melewati masa-masa sulit.
Sebaliknya, apabila memiliki manajemen kurang baik dan sulit mendapat dukungan dana dari para pemodal ataupun kreditor, perusahaan pun rentan tumbang.
Bisnis penerbangan ini membutuhkan biaya sangat besar. Pesawat yang tidak beroperasi sekali pun tetap menelan biaya. Setidaknya untuk perawatan, biaya karyawan, parkir di bandara, dan sewa pesawat.
Apabila sektor penerbangan tidak segera pulih dan tidak disertai tata kelola perusahaan yang baik, kebangkrutan hanya tinggal menunggu waktu.
Garuda Indonesia yang merupakan maskapai pelat merah kebanggaan nasional pun tampaknya berada di ujung tanduk.
Garuda Indonesia diterpa isu bangkrut. PT Mitra Buana Koorporindo (MBK) selaku kreditor mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sementara ke Pengadilan Niaga.
Penundaan itu disetujui oleh pengadilan pada awal Desember ini. Putusan PKPU ini memberi ruang kepada Garuda Indonesia selama 45 hari untuk mengajukan proposal perdamaian yang memuat rencana restrukturisasi kewajiban usaha terhadap kreditor.
Harapannya, langkah negosiasi ini dapat diterima oleh kreditor sehingga Garuda Indonesia dapat melakukan restrukturisasi dan memulihkan kinerja perusahaan.
Baca juga : Memilih Takdir Garuda Indonesia
Pariwisata terpukul
Kelesuan dunia penerbangan berimbas pada sektor jasa pariwisata. Mobilitas masyarakat untuk berwisata pun turun. Tujuan-tujuan wisata andalan Indonesia terdampak.
Semakin besar ketergantungan suatu daerah terhadap industri jasa pariwisata, semakin berat pula penurunan ekonomi yang terjadi. Bali, misalnya, mengalami penurunan produk domestik regional bruto terbesar di sektor jasa wisata, seperti akomodasi perhotelan, restoran, dan makan minum pada akhir 2020.
Hampir 30 persen atau senilai Rp 17,4 triliun pendapatan sektor jasa di Bali turun dari periode sebelumnya. Pada triwulan III-2021, sektor jasa akomodasi di Bali masih tumbuh minus lebih dari 8 persen secara tahunan.
Daerah dengan tujuan wisata nasional unggulan kondisinya beragam. Sebagian mulai menunjukkan tanda perbaikan meskipun relatif masih kecil. Wilayah Sumatera Utara yang memiliki kawasan wisata andalan nasional Danau Toba secara keseluruhan provinsi mulai beranjak positif.
Kontribusi sektor jasa akomodasi naik sekitar 4 persen dari kondisi triwulan III-2020. Kondisi serupa terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua wilayah yang lekat dengan wisata perkotaan, alam, dan sejarah ini mulai tumbuh positif walaupun masih kecil.
Kenaikannya masing-masing tidak lebih dari 3 persen pada triwulan III-2021. Namun, untuk wilayah Yogyakarta yang berimpitan dengan Jateng, justru kondisinya masih relatif suram.
Daerah yang kaya wisata alam, sejarah, budaya, seni, dan purbakala ini masih minim tingkat kunjungan wisata. Hingga menjelang akhir 2021, tingkat penerimaan sektor akomodasi masih menunjukkan notasi negatif sekitar 5 persen dari tahun lalu.
Uniknya, ada daerah lain yang tampaknya justru menjadi magnet tujuan wisata, yakni Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Di kedua wilayah ini, kontribusi sektor akomodasi meningkat di atas 7 persen. Bahkan, di NTB melonjak hingga 64 persen pada triwulan II-2021.
Hal ini mengindikasikan bahwa program pemerintah terkait dengan kawasan wisata superprioritas di Mandalika berhasil menarik minat wisatawan. Keberadaan sirkuit balapan di Mandalika sepertinya akan berhasil mendorong kemajuan wisata di NTB secara keseluruhan.
Jadi, ada harapan sektor pariwisata akan mampu segera bangkit apabila pemerintah berhasil menciptakan ajang kegiatan yang menarik di sejumlah daerah lainnya.
Namun, yang terpenting saat ini, tentu tetap membentuk imunitas menghadapi pandemi yang belum sepenuhnya berakhir. Kesehatan masih menjadi faktor penentu pemulihan berbagai sektor perekonomian. Tak terkecuali bagi sektor jasa penerbangan dan pariwisata. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Akhir Tahun, Pariwisata Terus Dipacu