Memilih Takdir Garuda Indonesia
Penyehatan Garuda Indonesia lebih luas dari restrukturisasi utang dan neraca keuangan ala bankir. Suatu perubahan fundamental membutuhkan profesional. Semoga pemerintah mengambil keputusan yang memanusiakan manusia.
Langit kelabu semakin menyelimuti Garuda Indonesia pada akhir 2021. Pertanda bukan mendung, melainkan badai. Utang menggunung Rp 70 triliun menghantarkan nasib maskapai pelat merah ini di ujung tanduk kepailitan.
Pandemi telah mengakibatkan perusahaan beragam sektor dan ukuran tutup usia. Masyarakat dunia menjumpai dan memaklumi kebangkrutan. Namun, premis tersebut sering tidak berlaku ketika pailit menghampiri maskapai penerbangan pembawa bendera negara (flag carrier).
Polemik di Tanah Air muncul ketika wacana Pelita Air Service dipersiapkan untuk menggantikan Garuda Indonesia semakin menghangat. Berkaca dari rasionalitas rencana kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menutup BUMN kronis, muncul kemungkinan Garuda menjumpai takdir serupa.
Makna ”flag carrier”
Definisi maskapai pembawa bendera perlu diluruskan sebelum silang pendapat berlanjut. Konsep flag carrier diperhitungkan setelah Perang Dunia II membuktikan betapa mematikannya pesawat tempur.
Beralih ke transportasi udara, negara memagari kepemilikan saham mayoritas maskapai penerbangan hanya pada nasionalitasnya. Tujuannya tidak lain demi kepentingan dan keamanan nasional. Kontrol terhadap swasta akan lebih mudah ketika panggilan patriotisme didengungkan.
Skenario tersebut menjadi landasan Amerika Serikat guna memobilisasi pasukan andai blok Soviet melakukan agresi militer pada era Perang Dingin.
Konvensi Chicago 1944 mewajibkan setiap pesawat memiliki nasionalitas. Umumnya bendera pesawat mengikuti tempat pendirian maskapai penerbangan, baik yang dimiliki negara, seperti Garuda Indonesia, maupun swasta layaknya Batik Air dan Sriwijaya Air.
Konteks flag carrier ialah kehadiran maskapai penerbangan sejalan dengan fungsi dan tujuan politik pemerintah. Demi mewujudkan cita-cita tersebut, umumnya keseluruhan atau mayoritas saham flag carrier dimiliki negara.
Misi Garuda Indonesia sebagai maskapai pembawa bendera tidak hanya menyelenggarakan penerbangan sipil guna merajut konektivitas domestik ataupun internasional. Armada Garuda Indonesia sewaktu-waktu dapat difungsikan sebagai pesawat negara (state aircraft) guna menjalankan misi kenegaraan dan kemanusiaan.
Penerbangan haji menjadi tanggung jawab Garuda Indonesia seandainya maskapai swasta absen. Begitu pula pengerahan tentara untuk menangani konflik bersenjata, pengiriman obat-obatan dan logistik pada bencana alam, hingga kunjungan kenegaraan dan penerbangan repatriasi.
Kehadiran maskapai pembawa bendera krusial demi menjamin keberhasilan misi. Suatu hal yang tidak dapat digantungkan pada maskapai swasta sebagaimana hadir guna mencari keuntungan. Bukan tidak mungkin penolakan pengerahan armada maskapai swasta terjadi ketika pemegang saham tidak sepaham dengan Pemerintah Indonesia. Probabilitas ini perlu dimitigasi sebelum menentukan takdir Garuda Indonesia.
Nyatanya pandemi telah meruntuhkan mitos maskapai pembawa bendera tidak akan bangkrut. Pertengahan Oktober 2020, penerbangan AZ1586 rute Cagliari-Roma menandakan berakhirnya era sang maskapai pembawa bendera Italia.
Injeksi modal telah beberapa kali dilakukan sebelumnya, tetapi apa daya ketika rasionalitas untuk memutus kerugian menang. ITA Airways kini hadir menggantikan Alitalia dengan hanya sekitar 30 persen dari 10.000 pegawai Alitalia tertampung.
Lawatan mancanegara Presiden Jokowi menggunakan Garuda Indonesia awal November seolah memberikan angin segar. Isyarat kehadiran sang maskapai pembawa bendera mutlak dan sakral bagi bangsa Indonesia di tengah masa sulit.
Opsi penyelamatan
Seandainya pemerintah bersikeras mempertahankan Garuda Indonesia, terdapat empat hal penting perlu dipertimbangkan dalam bermanuver.
Pertama, sempat terdengar wacana pembukaan keran investasi asing melebihi 49 persen dalam rangka restrukturisasi utang dan injeksi modal. Kebijakan ini ibarat pedang bermata dua. Rezim hukum udara memandang kepemilikan minimal 51 persen saham oleh nasionalitas Indonesia krusial guna menjamin kewarganegaraan Garuda Indonesia tetap merah putih.
Perjanjian pengangkutan udara (air service agreements), baik bilateral maupun multilateral, umumnya mengunci kepemilikan saham (ownership) dan kontrol efektif (effective control) dengan nasionalitas. Kegagalan mempertahankan nasionalitas akan mengakibatkan suatu maskapai kehilangan hak menerbangi rute internasional, termasuk skema penerbangan code-share.
Sebelumnya merger Air France-KLM harus melalui struktur yang rumit perihal kepemilikan saham dan kontrol efektif. Disepakati masing-masing 50 persen saham dimiliki Belanda dan Perancis agar kedua maskapai tidak kehilangan hak rute penerbangan internasionalnya.
Seandainya Pemerintah Indonesia tidak memiliki opsi selain liberalisasi yang mengizinkan investor asing menjadi pemegang saham mayoritas, Kementerian Luar Negeri bersama Kementerian Perhubungan perlu menegosiasikan ulang semua perjanjian pengangkutan udara.
Hasilnya tentu tidak dalam semalam serta menguras tenaga mengingat jumlah perjanjian bilateral pengangkutan udara Indonesia tidak sedikit. Upaya ini membutuhkan perencanaan matang dan hasil tepat waktu agar konektivitas Indonesia dengan dunia tidak terputus.
Kedua, tidak dimungkiri maskapai pelat merah ini segera membutuhkan dana segar. Namun, tidak kalah penting untuk menahan diri guna menyeleksi investor asing yang ingin masuk. Kriteria mereka harus sesuai dengan rencana jangka panjang pemulihan maskapai pelat merah. Seandainya Garuda Indonesia ingin mempertahankan penerbangan langsung ke Benua Biru, faktor eksternal semacam hukum udara dan kompetisi Uni Eropa perlu dicermati.
Menjamurnya investasi maskapai Timur Tengah pada beberapa maskapai Uni Eropa prapandemi Covid-19 sempat mengangkat kasus dominasi grup ataupun kompetisi tidak sehat. Beberapa rute dan prime time slot bandara perlu dilepas sebagai imbas. Manajemen Garuda Indonesia perlu pandai bersiasat agar tidak terjebak.
Kemudian, Garuda Indonesia dan Emirates baru saja menandatangani perjanjian code-share. Seyogianya dikawal tidak eksklusif guna menghindari ketergantungan konektivitas internasional pada suatu maskapai semata. Code-share hanya untuk sementara waktu dan jangan terlena dengan segala kepraktisan. Beberapa misi negara tetap membutuhkan Garuda Indonesia.
Perkuat diplomasi udara
Terakhir, secara paralel Pemerintah Indonesia perlu memperkuat diplomasi udara. Upaya ini tecermin melalui perjanjian pengangkutan udara yang terbukti berperan krusial dalam menyokong ekspansi sejumlah maskapai penerbangan Timur Tengah. Situasi Qatar dapat menggambarkan contoh ideal.
Gencarnya Pemerintah Qatar menegosiasikan 6th Freedom of the Air menciptakan hak Qatar Airways mengangkut penumpang dari suatu negara ke negara lain dengan transit di Doha. Alhasil, ekspansi Qatar Airways berlangsung mulus bersamaan dengan perkembangan pesat Hamad International Airport (DHB).
Mundur sekitar empat dekade lampau, Pemerintah Belanda mendengarkan saran akademisi hukum udara Universiteit Leiden, Prof Wassenbergh, lebih dulu menjemput konsep open skies. Bandara Schiphol Amsterdam dan maskapai KLM kini menikmati dengan jadi pemain global.
Pemerintah Indonesia dapat mengadopsi strategi tersebut guna mendukung rencana jangka panjang pemulihan Garuda Indonesia. Salah satunya dengan merapatkan barisan dengan keilmuan, seperti air transport economics dan hukum udara. Dominasi Lufthansa tidak luput dari peran ahli hukum udara Prof Regula Dettling-Ott yang dipercayakan sebagai Vice President EU Affairs periode 2010-2016.
Menjadi pertanyaan jika reformasi Garuda Indonesia terjadi, apakah siap untuk menempatkan akademisi andal pada jajaran manajemen guna menjelma menjadi maskapai pembawa bendera yang sesungguhnya.
Akhir kata, penyehatan Garuda Indonesia lebih luas dari restrukturisasi utang dan neraca keuangan ala bankir. Suatu perubahan fundamental membutuhkan profesional.
Dalam takdir Garuda Indonesia turut berbicara nasib banyak pegawai yang menggantungkan hidup pada maskapai pelat merah ini. Apa pun akhirnya, semoga Pemerintah Indonesia mengambil keputusan yang memanusiakan manusia.
Ridha Aditya Nugraha, Air and Space Law Studies Universitas Prasetiya Mulya