Mau tidak mau, utang harus tetap direstrukturisasi, baik melalui jalur pengadilan maupun nonpengadilan. Pemerintah berkomitmen mengawal restrukturisasi ini sambil terus mendorong pembenahan bisnis Garuda.
Oleh
HENDRIYO WIDI/ STEFANUS OSA TRIYATNA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Hampir dua tahun pandemi Covid-19 mendera industri penerbangan global, termasuk Indonesia. Belum pulih benar, Omicron, varian baru virus korona, muncul menggoyang pasar.
Membawa luka lama yang diperparah imbas pandemi dan beban restrukturisasi utang, maskapai milik pemerintah, Garuda Indonesia, tetap berupaya terbang mengepakkan sayapnya. Diakui Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputera, pandemi memorakporandakan industri penerbangan karena berbasis mobilitas masyarakat.
Akibatnya, jumlah penumpang maskapai di seluruh dunia, termasuk Indonesia, turun drastis hingga 90 persen. Garuda juga tak terhindarkan dari hal itu. Jumlah penumpang Garuda pada akhir 2020 sempat membaik hingga 50 persen berkat kampanye terbang dengan aman, nyaman, dan edukasi protokol kesehatan.
Namun, Garuda kembali terjun bebas pada Juli 2021 saat pengetatan mobilitas demi pengendalian penyebaran virus korona baru varian Delta. Perbaikan baru kembali terjadi pada September-Oktober 2021.
”November 2021 mulai terlihat puncak peningkatan penumpang. Kami berharap Desember ini meningkat lagi. Saat ini, jumlah penumpang masih berkisar 30 persen dari kondisi normal. Namun, lagi-lagi pandemi menghadang,” kata Irfan dalam wawancara khusus dengan Kompas, awal Desember 2021.
Sebelum pandemi, Garuda menerbangkan 15 juta-19 juta penumpang domestik per tahun, lantas anjlok menjadi 4,5 juta penumpang pada 2020. Tingkat keterisian pesawat domestik sebelum Covid-19 yang selalu di atas 70 persen anjlok hingga 43,3 persen pada 2020. Padahal, kontribusi penumpang domestik ini berkisar 80-85 persen dari total penumpang Garuda.
Menurut Irfan, kondisi kini tak mudah bagi Garuda. Biaya operasionalnya tidak murah dengan tanggungan utang yang begitu besar. Di sisi lain, ada sejarah panjang dan harapan publik yang begitu besar.
Garuda tidak sendirian. Pada 2020, sebanyak 43 maskapai penerbangan dengan setidaknya 485 pesawat tidak beroperasi. ”Tanpa intervensi pemerintah, lebih banyak maskapai bangkrut,” kata Brendan Sobie, analis pada Sobie Aviation.
Garuda masuk klasifikasi tetap bertahan. ”Insya Allah tetap bertahan. Kami tetap harus menjalani restrukturisasi utang dan biaya operasional. Sembari melakukan itu, kami memikirkan skema bisnis Garuda ke depan dan mengantisipasi pemulihan industri penerbangan,” tutur Irfan.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pun berharap Garuda bertahan. ”Kita ingin Garuda tetap eksis. (Garuda ini) flag carrier, kebanggaan kita juga,” ujarnya.
Menhub telah pula mendengar ada kabar baik dari restrukturisasi Garuda. Kabar baik lain, kata Menhub, dengan posisi sebagai negara kepulauan, kebutuhan terbang diprediksi akan kembali normal pada pertengahan 2022.
Begitu permintaan melonjak, Menhub meyakini, Garuda dan maskapai lain di Indonesia dapat menemukan cara untuk memasok kursi bagi penumpang. Maskapai Indonesia harus pulih, terlebih karena sejauh ini belum ada maskapai asing yang menyatakan minat ikut terbang di Indonesia.
”Penerbangan global juga terkontraksi dalam. (Maskapai) Malaysia, Thailand juga begitu. Singapura juga pusing,” ujar Budi Karya Sumadi.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyatakan, secara teknis, Garuda Indonesia sudah bangkrut meski belum secara legal. Total utangnya mencapai 9,756 miliar dollar AS (sekitar Rp 140 triliun). Dari jumlah itu, sebesar 6,351 miliar dollar AS adalah utang Garuda terhadap lessor (perusahaan sewa guna) pesawat.
Utang sewa pesawat disepakati pada periode 2012-2014 dengan tenor beragam sebesar 8-12 tahun. Bunga sewa pesawat itu mencapai 24,7 persen atau empat kali lipat dari maskapai-maskapai lain di dunia.
Beban utang yang sangat besar itu juga berimbas pada kondisi ekuitas Garuda. Per September 2021, ekuitas Garuda negatif 2,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 40 triliun dengan tambahan negatif ekuitas setiap bulan mencapai 110 juta dollar AS-150 juta dollar AS atau Rp 1,5 triliun-Rp 2 triliun.
Sementara itu, dengan pendapatan 50 juta dollar AS per bulan, beban biaya operasional Garuda Indonesia sekitar 150 juta dollar AS per bulan. Artinya, perusahaan merugi 100 juta dollar AS per bulan. Dari Januari hingga September 2021, total pendapatan Garuda sebesar 568 juta dollar AS, sementara total biaya operasional yang ditanggung mencapai 1,29 miliar dollar AS.
Upaya efisiensi
Demi memangkas beban biaya operasional, Garuda Indonesia mengembalikan sejumlah pesawat yang disewa dan menegosiasi biaya sewa pesawat dengan penghematan 200 juta dollar AS (sekitar Rp 3 triliun). Selain itu, mengurangi rute penerbangan dan mengurangi jumlah dan jenis pesawat.
Grup Garuda menargetkan jumlah pesawat Garuda dan Citilink berkurang dari 202 pesawat pada 2021 menjadi 134 pesawat pada 2022. Sementara jenis pesawat akan dikurangi dari 13 tipe menjadi 7 tipe. Rute penerbangan Garuda dan Citilink juga akan dikurangi dari 237 rute pada 2019 menjadi 140 rute pada 2022.
Garuda juga mengurangi jumlah karyawan, sekitar 2.000 orang, dengan menawarkan pensiun dini. Garuda juga memotong gaji karyawan, termasuk direksi dan komisaris. ”Mereka yang berpendapatan lebih dari Rp 27 juta per bulan, kita potong 50 persen. Yang bergaji di bawah Rp 27 juta dipotong 30 persen,” kata Irfan.
Garuda juga berupaya meningkatkan kontribusi pendapatan kargo hingga sebesar 40 persen setidaknya hingga pandemi usai. Sebelumnya, dalam kondisi normal, kontribusi kargo terhadap pendapatan Garuda sebesar 10-15 persen.
Per 19 Agustus 2021, misalnya, pendapatan kargo Garuda mencapai 90,9 juta dollar AS (sekitar Rp 1,3 triliun). Pendapatan itu naik dibandingkan dengan triwulan III-2020 yang sebesar 61,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 886,217 miliar.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, langkah-langkah efisiensi yang telah dilakukan Garuda itu dapat memangkas biaya operasional dari rata-rata 150 juta dollar AS per bulan menjadi sekitar 80 juta dollar AS per bulan. Namun, itu masih belum cukup karena beban operasional masih terlalu besar.
Mau tidak mau, utang harus tetap direstrukturisasi, baik melalui jalur pengadilan maupun nonpengadilan. Pemerintah berkomitmen mengawal restrukturisasi ini sambil terus mendorong pembenahan bisnis Garuda. (MAHDI MUHAMMAD/ HARYO DAMARDONO)