Bukan Sekali Ini Garuda Bangkrut
Banyak kesempatan pulihkan Garuda, karena selain nilai historis, nilai ekonomi Garuda masih baik. Kekayaan Garuda masih paling tinggi di antara penerbangan lain di Indonesia, baik SDM, infrastruktur, maupun pangsa pasar.
Paling tidak sepanjang sejarah berdirinya, Garuda Indonesia sudah tiga kali dinyatakan bangkrut. Pertama tahun 1968, kedua tahun 1998, dan ketiga tahun 2021.
Pada awal 1968, Garuda Indonesia Airways dililit berbagai masalah, terutama masalah keuangan yang masuk kategori bangkrut! Pemerintahan saat itu kemudian memanggil Wiweko Soepono yang pernah menjalankan usaha penerbangan komersial di Burma (Myanmar) untuk membenahi dan menyehatkan Garuda Indonesia.
Saat ditawari, Wiweko tak serta-merta langsung menerima. Dia minta waktu seminggu untuk mempelajarinya dan selang seminggu kemudian Wiweko menghadap Presiden Soeharto, menyatakan kesanggupannya dengan dua syarat. Syarat pertama, Wiweko meminta agar diberi keleluasaan untuk membenahi perusahaan yang kondisinya memprihatinkan ini tanpa campur tangan pihak mana pun. Syarat kedua, dia minta diberi akses langsung untuk melaporkan perkembangannya kepada Presiden.
Kedua permintaan langsung disetujui Presiden dan seketika itu Presiden juga memberikan petunjuk menyangkut tiga hal: (1) pembenahan agar mengutamakan penerbangan dalam negeri; (2) penerbangan luar negeri kalau dianggap perlu dapat dihentikan; (3) harus mampu berdiri di atas kaki sendiri. Berdasar arahan Presiden ini, tanpa menunda waktu, Wiweko langsung tancap gas mengurai benang kusut yang menjerat Garuda.
Langkah pertama adalah melakukan evaluasi organisasi. Jumlah karyawan sebanyak 6.000 orang dianggap terlalu banyak, tak sesuai dengan output yang dikeluarkan, sehingga dia pangkas setengahnya hingga tinggal 3.000 orang. Pengurangan karyawan ini sejalan dengan program perampingan organisasi menjadi lebih sederhana, lebih cepat dalam mengambil keputusan, atau disebut single management approach.
Berdasar arahan Presiden ini, tanpa menunda waktu, Wiweko langsung tancap gas mengurai benang kusut yang menjerat Garuda.
Dengan pola kepemimpinan seperti ini, Wiweko menjabat sebagai Direktur Utama Garuda selama 16 tahun, dari Februari 1968 sampai November 1984. Di akhir jabatannya, dia meninggalkan legasi berupa 79 pesawat jet milik sendiri, terdiri dari 4 unit Boeing B-747, 6 unit Douglas DC-10, 9 unit Airbus A-300, 29 unit Douglas DC-9, dan 36 unit Fokker F-28.
Pada 1998, Garuda kembali dilanda masalah keuangan parah. Kali ini, Robby Djohan yang dapat tugas membereskannya dari Presiden, melalui Menteri BUMN Tanri Abeng. Seperti Wiweko, awalnya Robby enggan jadi ”kapten” di Garuda. Selain karena merasa usia sudah tua, juga karena ”kagak ngerti” soal penerbangan, katanya.
Akan tetapi, akhirnya ia menerima juga tugas itu dan respons pertama yang dia lontarkan—saat itu—tantangan di Garuda adalah untuk memprivatisasikannya karena pemerintah sudah tak punya uang untuk terus mendanainya. Tetapi, nilai buku Garuda waktu itu mungkin hanya 1 dollar AS.
Apanya yang mau dijual? Karena itu, Garuda harus direstrukturisasi dulu. Padahal, secara teknis Garuda sudah bangkrut. Negative net worth-nya sudah tak tertolong. Kewajibannya membengkak pada tingkat yang mengerikan. Bottom-line-nya sudah berdarah-darah.
Baca juga : Mati Hidup Garuda Indonesia
Namun, dengan gayanya yang kasual, Robby kemudian membuat berbagai gebrakan dan membawa angin segar bagi karyawan, bagi industri, ataupun bagi komunitas pariwisata. Dia melakukan beberapa terobosan, di antaranya pengurangan pegawai dengan pola golden shakehand, restrukturisasi rute, restrukturisasi armada, restrukturisasi organisasi jadi lebih ramping, dan restrukturisasi keuangan. Robby memang sangat singkat memimpin di Garuda, hanya enam bulan. Namun, dia telah membawa perubahan yang cukup signifikan, yaitu kinerja keuangan mulai membaik.
Kepemimpinan yang kuat
Dari dua kali keadaan keuangan yang dinyatakan bangkrut, kemudian dapat kembali turnaround, ada beberapa kesamaan cara mereka dalam menanganinya yang berakhir sukses. Kedua ”kapten” Garuda tersebut adalah sosok dengan kepemimpinan yang kuat.
Kini, di pengujung 2021, Garuda kembali kolaps. Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo menyebutkan secara teknis Garuda sudah bangkrut! Tak tanggung-tanggung, kondisinya dinyatakan lebih parah dari Jiwasraya! Neraca keuangan September 2021 defisit 2,8 miliar dollar AS. Posisi utang 9,8 miliar dollar AS. Sebagian besar utang kepada lessor untuk tunggakan pembayaran sewa pesawat senilai 6,3 miliar dollar AS.
Beda dengan kondisi terdahulu, saat ini masalah yang dihadapi Garuda, selain akibat pengelolaan perusahaan yang ugal-ugalan sebelumnya—yang berakibat inefisiensi dan rencana bisnis yang tidak tepat sasara, sehingga terjadi oversupply—juga diperburuk oleh pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Pandemi global ini mengakibatkan turunnya jumlah penumpang yang sangat drastis sehingga maskapai harus mengurangi, bahkan menghentikan, banyak penerbangan. Itulah keadaan sekarang, ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga.
Menghadapi situasi saat ini, kita bisa belajar dari kisah sukses pada penyelesaian tahun 1968 dan 1998, ditambah beberapa penyesuaian dengan situasi dan kondisi saat ini. Pelajaran penting yang dapat diambil adalah bahwa Garuda harus dipimpin oleh seseorang yang punya kepemimpinan kuat (strong leadership), yang tegas, cerdas, cepat tanggap, dan berani untuk tak populer.
Direksi harus bisa menaklukan toxic employee, baik yang deadwood maupun kelompok ”berkuasa”. Bahaya kelompok ”berkuasa” ini selalu menuntut hak-hak mereka tanpa menghiraukan kondisi perusahaan. Mereka sangat egois. Karena itu, timbul disharmoni di lingkungan karyawan sehingga akibatnya berdampak buruk pada kinerja perusahaan.
Tugas utama direksi Garuda saat ini, selain melakukan restrukturisasi keuangan dengan melakukan lobi dan negosiasi kepada kreditor, lessor, ataupun vendor, adalah harus menciptakan teamwork yang solid, harmonis, dan produktif. Seluruh karyawan harus memiliki sense of crisis, semua unit harus ikut menanggung beban (sharing the pain). Jangan ada yang merasa lebih penting. Direksi harus lugas bernegosiasi dengan karyawan dan yang harus dimenangkan adalah kepentingan perusahaan. Setelah itu, tidak ada lagi kompromi.
Bahaya kelompok ”berkuasa” ini selalu menuntut hak-hak mereka tanpa menghiraukan kondisi perusahaan.
Upaya penyelamatan
Keadaan Garuda saat ini tak beda jauh dengan keadaan pada masa krisis moneter 1998. Belajar dari restrukturisasi gaya Robby, dapat dipetik beberapa pelajaran sesuai kondisi saat ini.
Beban terbesar Garuda adalah dari tunggakan sewa pesawat 6,3 miliar dollar AS (setara Rp 90 triliun). Angka ini yang pertama harus dikecilkan direksi. Ya direksi, karena sebagai korporasi, ini tugas direksi. Bukan tugas pemegang saham. Sebaiknya pemegang saham tak masuk pada strategi teknis, cukup beri dukungan, jaminan, dan kesempatan bagi direksi untuk melakukan langkah ke depan.
Idealnya hal pertama yang harus dilakukan adalah restrukturisasi rute dan armada. Keduanya harus dilakukan bersamaan, tak bisa dipisahkan. Ujungnya, proposal skema pengembalian beberapa pesawat yang tak layak dengan keadaan pasar dan kemampuan Garuda. Garuda harus mampu meyakinkan lessor. Seharusnya bisa, karena keadaan ini tak hanya menimpa Garuda, tetapi semua perusahaan penerbangan dunia, dan lessor harus melihat jangka panjang. Kepentingan mereka akan bisa teratasi jika mereka mendukung program Garuda.
Baca juga : Rindu Mengangkasa Bersama Garuda
Mereka akan rugi juga apabila Garuda dinyatakan bangkrut! Mari kita lihat rute mana saja yang bagus untuk dipertahankan. Pertama, rute Timur Tengah, khususnya Jakarta-Jeddah. Rute penerbangan langsung Jakarta-Jeddah hanya dilayani Garuda dan Saudi Airlines. Isian penerbangan ini rata-rata di atas 70 persen. Menariknya, penumpang rute ini umumnya jemaah umrah dan mereka membeli produk paket umrah sehingga harga paket umrah sudah termasuk harga hotel, land arrangement, dan tentu saja harga tiket pesawat.
Dimasukkannya harga tiket pada komponen paket memberi ruang dalam penerapan harga, yaitu maskapai penerbangan dapat memberikan harga yang bagus sejauh tidak terlalu jauh gapnya dengan kompetitor. Harga jual paket jadi kompetitif. Pasar segmen ini sangat besar.
Angka jemaah umrah Indonesia lima tahun terakhir terus meningkat. Menurut Kementerian Agama, tahun 2014-2015 mencapai 649.000 orang, tahun 2015-2016 meningkat jadi 677.509 orang, dan naik lagi pada 2016-2017 jadi 876.246 orang, dan tahun 2017-2018 mencapai 1.005.336 orang, meski kemudian menurun sedikit pada 2018-2019 menjadi 974.650 orang.
Kalau mengacu pada pencapaian jumlah anggota jemaah pada 2018-2019, rata-rata jemaah umrah dari Indonesia per bulan sekitar 122.000 orang. Periode umrah berlangsung delapan bulan dalam setahun. Artinya, angka rata-rata jemaah umrah per hari sekitar 4.000 orang. Ini bukan angka kecil, setara 10-13 kali penerbangan per hari. Apabila dari angka ini Garuda kebagian 30 persen saja, yaitu sekitar 36.000 anggota jemaah per tahun atau 4.500 anggota jemaah per bulan dan 150 janggota emaah per hari, itu sudah lebih dari lumayan.
Pilihan pesawat untuk rute ini adalah Boeing-777-ER300 dengan kapasitas 314 kursi. Jumlah kursi ini bisa diperbanyak jika dilakukan rekonfigurasi dengan menghapus first class dan menambah economy class, bisa 400 kursi tersedia.
Rute jarak jauh lain yang bisa dipertahankan adalah ke Jepang, Korea Selatan, China, dan Australia. Rute ke Jepang, tujuan Tokyo adalah rute emas Garuda. Selain penumpang terdiri dari kalangan pengusaha dan wisatawan, angkutan kargo juga tinggi. Untuk rute ini, sebaiknya gunakan armada Boeing-777-ER300.
Konfigurasi kursi kelas bisnis dan kelas ekonomi sangat diminati. Rute terbaiknya Jakarta-Denpasar-Tokyo. Selain tujuan Tokyo, Jepang punya kota tujuan lain yang banyak peminatnya, seperti ke/dari Osaka atau Nagoya. Namun, untuk sementara ini sebaiknya rute ini jangan diterbangi dulu menunggu sampai keadaan pandemi betul-betul mereda dan perekonomian pulih, Garuda pulih.
Rute ke Korsel, China, dan Australia sebetulnya masih sangat berat pada situasi saat ini, ketika destinasi wisata baik di Indonesia maupun di negara-negara itu masih banyak pembatasan. Segmen pasar rute ke tiga negara ini kebanyakan wisatawan. Wisatawan Australia, terutama dari Sydney dan Perth, sangat menyukai datang ke Bali. Begitu juga dari Seoul, Korsel.
Baca juga : Menjawab Tantangan Bisnis Penerbangan
Untuk rute China, Garuda perlu memberikan perhatian khusus. Akan lebih baik lagi apabila dalam struktur organisasi Garuda ada bagian khusus menangani pasar China, sebagaimana adanya organisasi khusus yang menangani pasar umrah sekarang.
Pasar China sangat besar dan China telah menjadikan Indonesia negara tujuan wisata ketiga setelah Thailand dan Jepang. Tahun 2019, tak kurang dari 3 juta wisatawan asal China berkunjung ke Indonesia, terutama Bali. Mereka berasal dari beberapa kota, seperti Shanghai, Beijing, Guangzhou, Shenzhen, Hangzhou, Chengdu, Hong Kong, Nanjing, Xi’an, dan Tianjin.
Rute jarak jauh lain yang bisa dipertahankan adalah ke Jepang, Korea Selatan, China, dan Australia.
Melihat potensi yang besar ini, Garuda tak harus melakukan penerbangan reguler, tetapi bisa dengan pola pesawat carter dan mendedikasikan beberapa pesawat untuk menggarap pasar ini.
Rute luar negeri lain yang harus dipertahankan adalah rute regional, Jakarta-Singapura. Di luar rute-rute di atas tak jadi prioritas untuk diterbangi, sebaiknya dihentikan sampai kondisi kesehatan keuangan Garuda pulih dan Garuda fokus pada penerbangan domestik. Untuk rute domestik. Garuda harus menghentikan penggunaan pesawat Bombardier CRJ1000 yang tak efisien dan tak diminati pasar. Kemudian serahkan pesawat ATR kepada Citilink.
Dari analisis tadi, dapat dilakukan pengurangan armada. Prioritas pertama dihapuskan dari armada Garuda adalah pesawat Bombardier CRJ1000 yang berjumlah 18 unit; kemudian sebagian pesawat wide body, seperti Boeing 777-300, Airbus 330; dan sebagian narrow body, seperti Boeing 737-300, dikembalikan kepada lessor. Pesawat ATR diserahkan saja ke Citilink sehingga armada Garuda kian singset dan hanya punya dari dua pabrikan saja, Boeing dan Airbus, agar lebih efisien dan efektif.
Setelah pengurangan rute dan armada, langkah selanjutnya pengurangan SDM. Konsekuensi berkurangnya alat produksi adalah mengurangi operator produksi, kru udara, dan kru darat. Langkah efisiensi lain misalnya perampingan organisasi, pengurangan meal on board, dan mengoptimalkan IT.
Pemerintah selaku pemegang saham diharapkan dapat membuat berbagai regulasi yang bisa mendukung kinerja Garuda. Mulai dari perjanjian udara dengan negara lain yang dapat memberi peranan kuat bagi Garuda, pembebasan pajak suku cadang pesawat, diskon harga avtur, diskon route charge, sampai program pemasaran pariwisata.
Dalam rangka pemulihan sektor pariwisata, dapat dibuat program Visit Indonesia. Banyak kesempatan pulihkan Garuda, karena selain nilai historis, nilai ekonomi Garuda masih baik. Sulit membentuk penerbangan lain sebagai pengganti. Kekayaan Garuda masih paling tinggi di antara penerbangan lain di Indonesia, baik SDM, infrastruktur, maupun pangsa pasar.
Yona Mardiona, Praktisi dan Pemerhati Manajemen Penerbangan dan Pariwisata