Menjawab Tantangan Bisnis Penerbangan
Pada 2022, industri penerbangan akan menghadapi kekurangan pesawat. Pemerintah RI telah menyiapkan Pelita Air untuk mengisi kekurangan itu. Maskapai itu ditargetken mulai mengudara pada April 2022 dengan 25 armada.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional atau IATA mengkaji, pada 2022 industri penerbangan akan dihadapkan pada tiga tantangan utama. Ketiga tantangan tersebut adalah pandemi Covid-19 yang belum berakhir, kelangkaan pesawat, serta kekurangan tenaga kerja layanan penerbangan.
Pandemi Covid-19 belum berakhir karena berbagai varian virus korona baru masih bermunculan. Hal ini dapat menghambat pemulihan industri penerbangan lantaran jumlah penumpang bisa kembali berkurang saat terjadi pengetatan mobilitas untuk mengendalikan pandemi.
Pandemi yang berimbas pada kondisi finansial maskapai-maskapai di dunia menyebabkan perusahaan-perusahaan penerbangan itu mengurangi jumlah pesawat dan pekerja. Hal itu dilakukan untuk mengurangi beban operasional.
Permintaan penerbangan diproyeksikan sudah mulai pulih dan berangsur-angsur membaik pada 2022. Lonjakan penumpang dimungkinkan terjadi, tetapi maskapai-maskapai telah mengurangi jumlah pesawat dan pekerjanya.
Setiap maskapai perlu kembali menyediakan pesawat untuk menjawab lonjakan permintaan itu. Setiap maskapai juga perlu kembali merekrut pekerja. Jika mereka yang telah dihentikan tidak kembali lagi, berarti harus ada modal tambahan untuk merekrut, melatih, dan mengakreditasi pekerja baru.
IATA memperkirakan, jumlah penumpang pesawat di dunia pada 2021 bakal menembus 2,3 miliar orang. Pada 2022, jumlahnya diperkirakan bertambah menjadi 3,4 miliar penumpang atau masih lebih rendah dari 2019 yang sebanyak 4,5 miliar penumpang.
Permintaan penerbangan diproyeksikan sudah mulai pulih dan berangsur-angsur membaik pada 2022. Lonjakan penumpang dimungkinkan terjadi, tetapi maskapai-maskapai telah mengurangi jumlah pesawat dan pekerjanya.
Total kerugian maskapai-maskapai global selama 2020-2022 diperkirakan 200 miliar dollar AS. Pada 2020 saja, total kerugiannya 137,7 miliar dollar AS. Kemudian pada 2021 dan 2022, total kerugian diperkirakan turun masing-masing menjadi 52 miliar dollar AS dan 12 miliar dollar AS.
”Kita telah melewati titik terdalam dari krisis dan jalan menuju pemulihan mulai terlihat. Namun, masalah serius tetap ada. Penerbangan kembali harus menunjukkan ketahanannya,” kata Direktur Jenderal IATA Willie Walsh.
Holding BUMN Pariwisata dan Pendukung, PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) atau Aviata, juga menyebutkan, pemulihan dari imbas pandemi akan berpengaruh pada permintaan atau lonjakan jumlah penumpang dan suplai armada pesawat. Dari sisi suplai, banyak maskapai, termasuk Garuda Indonesia, yang kondisi keuangannya memburuk sehingga harus mengembalikan pesawat kepada lessor (perusahaan jasa sewa guna).
Aviata memperkirakan, ada sebanyak 19 juta penumpang pesawat yang tidak bisa terlayani pada 2022 dan 25 juta penumpang tidak terlayani pada 2023. ”Jika kekurangan pesawat itu tidak diatasi, bisnis penerbangan dan pariwisata akan turut terpengaruh dan akan lambat pulih,” ujar Wakil Direktur Utama PT Aviata Edwin Hidayat Abdullah.
Baca juga : PMN Investasi Penyediaan Armada bagi Maskapai Milik Negara Diusulkan Rp 3 Triliun
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengemukakan, saat ini ada 350-450 pesawat yang beroperasi di Indonesia. Jika kehilangan sekitar 150 pesawat yang dioperasikan Garuda Indonesia, tahun depan akan terjadi kelangkaan pesawat.
Kemungkinan besar, jika restrukturisasi utang berhasil, Garuda akan melanjutkan bisnisnya dengan 40-50 pesawat saja. Padahal, pada 2022, jika tidak terjadi lonjakan kasus Covid-19 akibat virus korona varian Omicron, jumlah penumpang pesawat diperkirakan bisa mencapai 70 persen dari sebelum pandemi.
”Saat ini saja, dengan jumlah penumpang sekitar 50 persen dari sebelum pandemi, kekurangan pesawat sudah mulai terasa. Ini juga karena Garuda sudah mengurangi jumlah pesawat dan rute penerbangan,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Kartika, pemerintah telah menyiapkan PT Pelita Air Service, anak perusahaan PT Pertamina (Persero), untuk mengisi kekurangan suplai pesawat. Menurut rencana, maskapai tersebut akan mengoperasikan sekitar 25 pesawat medium dan mulai beroperasi pada April 2022 dengan modal awal sekitar 300 juta dollar AS.
Pemerintah telah menyiapkan PT Pelita Air Service untuk mengisi kekurangan suplai pesawat. Maskapai tersebut akan mengoperasikan sekitar 25 pesawat medium dan mulai beroperasi pada April 2022 dengan modal awal sekitar 300 juta dollar AS.
Modalnya bisa dari Pertamina dan juga bisa dari pemerintah. Kementerian BUMN meyakini, Pertamina dapat memodali Pelita lantaran membutuhkan pasar avtur. Selama pandemi, banyak maskapai yang mengurangi jumlah pesawat sehingga pasar avtur Pertamina turun.
”Di samping itu, biaya sewa pesawat juga telah turun dari kisaran 300.000 dollar AS-350.000 dollar AS per bulan menjadi 130.000 dollar AS-150.000 dollar AS per pesawat per bulan. Penurunan biaya sewa pesawat ini dan lonjakan penumpang berpotensi memunculkan maskapai baru,” katanya.
Baca juga : Menunggu Homologasi atau Pailit Garuda, Sekoci Disiapkan
Menurut Kartika, Kementerian BUMN juga tengah berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian terkait dengan pemanfaatan pernyataan modal negara (PMN) 2022 yang bakal diterima PT Aviata senilai Rp 3,3 triliun. PMN yang akan digunakan untuk investasi penyediaan fleet atau armada bagi maskapai milik negara ini sudah disetujui oleh Kementerian Keuangan.
Maskapai yang akan menerima investasi itu tengah dibahas. Bisa jadi penerima investasinya adalah Garuda Indonesia dengan syarat restrukturisasi utang telah berhasil. Penyertaan modal itu bisa pula diberikan kepada Pelita Air.
”Kami tengah mematangkan opsi-opsi itu. Pastinya, baik Garuda maupun Pelita bisa bersama-sama mengembangkan industri penerbangan nasional lantaran pasarnya ada dan sedang meningkat, tetapi suplai pesawatnya terbatas,” katanya.
Baca juga:
- Wakil Menteri BUMN: Secara Teknis, Garuda Sebenarnya Sudah Bangkrut
- Akhir Era Alitalia, Simbol Kejayaan dan Kebanggaan Italia
Lobi pemerintah daerah
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga mendukung kehadiran Pelita Air untuk mengisi kebutuhan penerbangan. Dia juga meyakini Garuda dan Lion Air tetap dapat bertahan. ”Ada Super Air Jet. AirAsia juga mulai balik. Tapi, sehat juga (dengan adanya Pelita), nanti mereka bisa berbagi daerah,” ujarnya.
Dengan jumlah armada yang memadai dan tarif yang tidak terlalu murah, tetapi juga tidak sangat mahal, maskapai tetap akan hidup. Penerbangan selama lebih kurang satu jam tarifnya bisa sekitar Rp 1 juta. Untuk rute Jakarta-Yogyakarta,misalnya, tarifnya dapat sekitar Rp 1,2 juta dan load factor (tingkat keterisian penumpang) 60-70 persen. ”Kalau itu terkendali, penumpang tak merasa mahal, (kondisi) maskapai juga bagus,” ujarnya.
Menurut Budi, maskapai dapat menambah kapasitas penumpang kapan pun, tetapi kerap ada kekhawatiran terkait dengan jumlah penumpang. Untuk mengatasi persoalan itu, baik maskapai maupun pemerintah pusat dapat melobi pemerintah daerah ataupun bekerja sama dengan swasta. Misalnya, dengan membuat kesepakatan pemesanan kursi pesawat dalam kurun waktu tertentu.
Budi mencontohkan, dirinya pernah berkunjung ke Sulawesi Selatan, Toraja, Mentawai, Sintang, Cepu (Blora), dan Wirasaba (Purbalingga). Ia menemui para kepala daerah di sana dan meminta mereka untuk membeli setidaknya 40 persen kursi pesawat.
”Itu membuat percaya diri teman-teman di industri penerbangan,” kata Budi.
Budi juga menekankan, Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga angkutan udara menjadi andalan. Apabila kondisi sudah normal, industri penerbangan pasti membaik.
Di sisi lain, industri maskapai internasional juga membutuhkan ruang untuk tumbuh. Bisa saja mereka bekerja sama dengan maskapai nasional, baik berupa kemitraan penyediaan pesawat maupun pemberian dana investasi.