Nikel dan Kemajuan Ekonomi Daerah
Nikel menjadi sumber daya energi yang mampu membawa kemajuan bagi suatu daerah. Dengan pengelolaan tepat dan mengedepankan kelestarian lingkungan, nikel akan memberikan keberkahanbagi masyarakat setempat.

Ilustrasi tambang nikel
Semangat besar pemerintah Indonesia untuk membangun industrialisasi baterai kendaraan listrik di dalam negeri berpotensi besar mendorong kemajuan ekonomi daerah.
Salah satu yang kemungkinan besar terakselerasi kemajuannya adalah wilayah yang memiliki material sumber daya alam pendukung industrialisasi baterai kendaraan listrik tersebut.
Sentra pertambangan nikel diproyeksikan akan menjadi daerah yang mengalami perkembangan sangat pesat karena unsur mineral ini menjadi salah satu komponen terpenting dalam hilirisasi baterai listrik.
Data Kementerian ESDM tahun 2019 mencatat, produksi bijih nikel Indonesia mencapai kisaran 800 ribu ton. Nominal ini menduduki peringkat satu dunia yang terpaut hampir 400 ribu ton dari produsen kedua dunia yang diduduki Filipina.

Bila dibandingkan oleh produsen ketiga dunia yang diduduki Rusia lebih jauh lagi karena negeri “beruang merah” itu hanya mampu memproduksi sekitar 270 ribu ton.
Dari segi cadangan nikelnya, Indonesia diperkirakan memiliki deposit sekitar 72 juta ton. Menurut data USGS dan Badan Geologi, Kementerian ESDM, cadangan ini menempati posisi pertama di dunia dengan porsi hingga 52 persen dari total cadangan dunia saat ini yang berkisar 139 juta ton.
Berdasarkan laporan Kementerian ESDM tahun 2020, daerah yang memiliki potensi cadangan nikel di luar wilayah operasi pertambangan di Indonesia itu jumlahnya mencapai kisaran 4,5 miliar ton.
Jumlah ini sangatlah besar karena lebih dari 30 kali lipatnya cadangan nikel dunia saat ini. Dengan jumlah cadangan sebesar itu maka produksi nikel di Indonesia baru akan habis dalam beberapa dekade mendatang.

Tambang nikel Konawe milik PT Virtue Dragon Nickel Industry di Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (25/2/2019).
Pemilihan proses ekstraksi bijih nikel akan berpengaruh pada output produk dan jangka waktu ketahanan produksinya.
Bila bijih nikel dipisahkan dengan proses pyrometallurgy atau pemisahan logam dari bijihnya dengan cara pemanasan pada temperatur tinggi maka diperkirakan umur cadangannya mampu diproduksi hingga sekitar 27 tahun ke depan.
Namun, jika ekstraksi bijih nikel menggunakan proses hydrometallurgy atau menggunakan reagen pelarut yang dilakukan pada temperatur relatif rendah maka diperkirakan cadangan nikel Indonesia mampu berproduksi hingga 73 tahun ke depan hingga kisaran tahun 2093.
Perbedaan proses ekstraksi bijih nikel pada endapan laterit tersebut menghasilkan output produksi yang berbeda. Pada rencana industri hilir nikel di Indonesia, proses pyrometallurgy akan menghasilkan aneka produk stainless steel.

Untuk proses hydrometallurgy akan menghasilkan sejumlah produk seperti campuran logam berbasis nikel, pelapisan logam, dan baterai. Dari rencana industri hilir ini dapat diindikasi jika proses ekstraksi hydrometallurgy adalah yang memiliki daya saing yang tinggi di kancah internasional.
Dengan proses hydrometallurgy maka Indonesia berpeluang besar untuk menghasilkan bahan baku utama pembuatan baterai kendaraan. Selain itu, dengan proses yang menghasilkan output di antaranya berupa senyawa MHP (mix ydroxide precipitate) dan NiOH (nikel hidroksida) ini maka umur cadangan nikel Indonesia menjadi sangat panjang, yakni hingga 73 tahun.
Artinya, Indonesia berpeluang menjadi produsen terbesar baterai kendaraan listrik di dunia di masa mendatang. Terutama untuk bateri lithium tipe Nickel Cobalt Aluminum Oxide (NCA) dan Nickel Manganese Cobalt Oxide (NMC) yang mengutamakan penggunaan material nikel.
Baca juga : Hilirisasi Nikel dan Kisah SDA Kita
Sulawesi sentra nikel
Berdasarkan laporan Peluang Investasi Nikel Indonesia, Kementerian ESDM, jumlah ijin usaha pertambangan dan operasi produksi (IUP OP) dan smelter nikel yang sudah beroperasi di Indonesia hingga tahun 2020 mencapai 323 ijin. Tersebar di lima wilayah, seperti di Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Dari ke-5 wilayah tersebut, sekitar 84 persen perizinan berada di Sulawesi, sehingga bisa dikatakan Sulwesi merupakan sentra nikel terbesar di Indonesia.
Di wilayah tersebut setidaknya ada 273 ijin usaha pertambangan dan smelter nikel yang menyebar di Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Tengah (Sulteng), dan Sulawesi Tenggara (Sultra). Paling banyak berada di daerah Sultra dengan jumlah IOP OP nikel mencapai 154 izin.

Gunung dan hutan yang rusak oleh tambang nikel di pegunungan di Kecamatan Langgikima, Konawe Utara, Senin (5/8/2019). KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Selanjutnya, disusul Sulteng dengan IUP OP sebanyak 85 izin dan Sulsel berkisar 34 perizinan. Banyaknya perizinan tersebut berkaitan erat dengan sumber daya nikel yang tersedia di masing-masing wilayah itu. Semakin banyak cadangan nikelnya maka jumlah perizinan juga semakin banyak.
Dari ketiga daerah itu, Sultra merupakan daerah yang memiliki cadangan nikel terbesar hingga sekitar 1,8 miliar ton. Untuk Sulteng sebanyak 1 miliar ton dan Sulsel hanya sekitar 0,1 miliar ton atau 100 juta ton.
Besarnya cadangan tersebut menyebabkan usaha pertambangan dan industrailisasi nikel di Sulawesi sangat marak. Terutama di sejumlah kawasan industri seperti di Morowali, Sulteng; Konawe, Sultra; dan Bantaeng, Sulsel.
Ketiga kawasan industri tersebut sudah ditetapkan sebagai kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Perpres No 109 tahun 2020. Bahkan, kawasan industri di Konawe dan Morowali sudah ditetapkan sebagai Objek Vital Nasional sehingga akan semakin mengakselerasi pengembangan industri nikel di kawasan tersebut.

Di kawasan industri di Konawe setidaknya sudah ada PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS). Perusahaan ini memperoduksi nickel pig iron (NPI) atau ferronickel (FeNi) serta baja tahan karat dan stainless steel.
Untuk kawasan industri di Morowali yang berada di area PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) setidaknya sudah ada 20-an tenant yang memproduksi komoditas nikel mulai dari hulu hingga hilir.
Dari memproduksi FeNi, baja tahan karat, baja karbon, stainless steel, hingga slab. Bahkan, pada tahun 2022 nanti diperkirakan sudah ada satu tenant di IMIP yang memproduksi bahan baku untuk industri baterai kendaraan listrik.
Pabrik bahan baku baterai tersebut merupakan perusahaan kerja sama antara Indonesia, China, dan Jepang yang bernama PT QMB New Energy Materials. Perusahaan ini melibatkan tiga investor yang terdiri dari GEM Co.,Ltd.; Brunp Recycling Technology Co.,Ltd.; Tsingshan; PT IMIP; dan Hanwa. Investasi sementara yang terserap dalam industri ini mencapai kisaran 700 juta dollar AS.

Warga Desa Tambakua mengamati kawasan pegunungan yang rusak karena tambang nikel di Kecamatan Langgikima, Konawe Utara, Senin (5/8/2019).
Industrialisasi tersebut tentu saja akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki posisi strategis dalam perdagangan sejumlah produk turunan nikel seperti baja, stainless steel, dan juga bahan baku baterai kendaraan listrik.
Posisi Indonesia menjadi “leader” di kancah global akan semakin kuat tak terkalahkan. Bayangkan saja, PT VDNI saja memiliki kemampuan untuk memproduksi NPI pada tahun 2021 hingga kisaran 800 ribu metrik ton setahun.
Untuk kawasan industri IMIP jumlahnya kian masif lagi karena memiliki kapasitas produksi stainless steel hingga kisaran 3 juta ton dan carbon steel sekitar 3,5 juta ton.
Selain itu, khusus untuk komoditas pendukung baterai listrik di kawasan IMIP diperkirakan akan memproduksi sekitar 50 ribu ton produk intermediate nikel hidroksida; 150 ribu ton baterai kristal nikel sulfat; 20 ribu ton baterai kristal sulfat kobalt; dan 30 ribu ton baterai kristal sulfat mangan.

Nilai produksi yang dihasilkan dari bahan baku komponen baterai listrik tersebut diperkirakan mencapai setidaknya 800 ribu dollar AS per tahun sehingga dapat menghasilkan keuntungan kotor lebih dari Rp 1 triliun.
Baca juga : Industri Nikel Morowali Siap Andil dalam Program Kendaraan Listrik
Ekonomi wilayah
Keberadaan industri dan pertambangan nikel, selain meningkatkan perekonomian secara makro nasional, juga akan meningkatkan kemajuan perekonomian daerah.
Wilayah Sulawesi secara umum dan khususnya wilayah Sulteng dan Sultra akan mengalami lonjakan perkembangan ekonomi yang relatif sangat besar. Setidaknya terjadi lonjakan kontribusi dari sisi produk domestik regional bruto (PDRB) sektor pertambangan dan penggalian.
Berdasarkan data BPS, pada 2019 nilai output dari pertambangan biji nikel secara nasional mencapai kisaran Rp 27 triliun. Nominal ini terdistribusikan sebagian besar ke daerah-daerah sentra pertambangan nikel seperti di Sultra dan Sulteng.

Sejumlah karyawan di pabrik pengolah feronikel di Kawasan Industri Morowali di Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, mengawasi monitor di ruang kontrol, Senin (28/1/2019). KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN
Hal ini tentu saja akan mendongkrak perkembangan ekonomi wilayah. Sektor pertambangan kemungkinan besar akan segera menjadi sektor penyumbang bagi PDRB terbesar di kedua provinsi itu. Mengalahkan sektor pertanian yang hingga saat ini masih mendominasi kontribusinya bagi PDRB setempat.
Pada kurun 2015-2020, sektor pertambangan menduduki peringkat kedua dari semua sektor penyumbang PDRB di masing-masing provinsi tersebut. Pada tahun 2020 sektor pertambangan di Sultra berkontribusi pagi perekonomian daerah setempat sekitar 20 persen dan di Sulteng sekitar 15-an persen pada tahun 2019.
Kontribusi sektor pertambangan di Sulteng cenderung konstan pada kurun 2015-2020 dan di Sulteng menunjukkan tren yang terus meningkat.
Pada tahun 2010, kontribusi sektor pertambangan bagi PDRB Sulteng masih sekitar 10 persenan, tetapi pada tahun 2019 sudah meningkat menjadi sekitar 15-an persen.

Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertambangan di Sulteng kemungkinan besar akan meningkat lebih tinggi lagi di masa mendatang. Apalagi, di wilayah ini terdapat kawasan industri PT IMIP yang sangat masif mengembangkan industri nikel skala global.
Jumlah tenaga kerja dalam pengolahan nikel mencapai puluhan ribu karyawan. Untuk sementara jumlah tenaga kerja lokal di PT VDNI di Konawe, Sultra mencapai 18 ribu orang dan di wilayah industrialisasi nikel di PT IMIP di Morowali, Sulteng mencapai 43 ribuan orang.
Jumlah ini kemungkinan besar akan terus bertambah secara signifikan dalam waktu dekat. Tenaga kerja pada usaha pertambangan nikel juga bertambah seiring dengan kian besarnya permintaan bahan baku ore nikel untuk diproses pada pabrik-pabrik pengolahan.

Tumpukan nikel yang diolah oleh pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter berbasis nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry di Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (25/2/2019)
Aktivitas hulu-hilir ini menciptakan multiplier efek yang besar bagi perekonomian wilayah. Semakin banyaknya tenaga kerja yang hadir di wilayah itu maka daerah sekitar usaha nikel akan turun berkembang.
Dengan pengelolaan yang tepat dan mengedepankan kelestarian lingkungan, maka nikel akan memberikan berkah kebaikan bagi masyarakat sekitarnya dan juga kemajuan di masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Pertambangan Nikel Berkontribusi Tingkatkan Kerusakan Ekologis