Dua Dekade Sayap Garuda Keropos
Sejatinya, tubuh PT Garuda sudah keropos selama dua dekade ke belakang. Pandemi Covid-19 mempercepat keruntuhan maskapai pelat merah tersebut.
PT Garuda Indonesia kini berstatus perusahaan BUMN dengan penundaan kewajiban pembayaran utang atau PKPU sementara karena terlilit kewajiban utang. Beban yang ditanggung Garuda saat ini adalah penuaian dari kesalahan di masa lalu. Pandemi Covid-19 memang menghantam bisnis maskapai, sekaligus menyadarkan bobroknya manajemen Garuda selama ini.
Dengan status PKPU sementara yang disandangnya, PT Garuda Indonesia justru memiliki peluang dalam mempercepat restrukturisasi kepada semua pihak yang terlibat. Dalam jangka waktu 45 hari, Garuda selaku debitor dapat menyusun dan mengajukan proposal perdamaian yang memuat rencana restrukturisasi kewajiban usaha terhadap para kreditor. Langkah ini sebenarnya menguntungkan karena para kreditor itu akan bernegosiasi bersama dibandingkan Garuda harus melakukan negosiasi satu per satu.
Hingga September 2021 Garuda memiliki total kewajiban mencapai 9,76 miliar dolar AS atau setara Rp 138,53 triliun. Utang terbesar ialah kepada lessor yang mencapai 6,35 miliar dlolar AS atau Rp 90,14 triliun. Sebelumnya, Garuda memiliki perjanjian dengan 32 lessor pesawat, padahal maskapai lain hanya memiliki empat atau lima lessor saja.
Utang terbesar berikutnya ialah kepada pihak bank sebesar 967 juta dlolar AS atau setara Rp 13,73 triliun. Urutan berikutnya ialah utang kepada vendor BUMN senilai 630 juta dolar AS atau Rp 8,94 triliun. Ringkasnya, Garuda berada dalam negatif ekuitas senilai 2,82 miliar dollar AS atau Rp 40,04 triliun per September 2021, belum lagi ditambah kenaikan nilai ekuitas negatif tiap bulan.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo menyatakan pada pertengahan November 2021 lalu bahwa Garuda secara teknis sudah bangkrut, tetapi secara legal belum. Garuda masih memiliki aset senilai 6,9 miliar dollar AS atau Rp 99,13 triliun. Namun, jika melihat semua kewajiban di atas, Garuda harus memanfaatkan kesempatan PKPU sementara untuk akselerasi restrukturisasi dan pemulihan maskapai.
Rekam nilai laba rugi Garuda memang fluktuatif atau cenderung sakit-sakitan apabila ditelusuri lebih jauh, bahkan sebelum pandemi muncul. Pada 2012 lalu, Garuda berhasil membukukan laba sebesar 111 juta dollar AS, tetapi langsung turun menjadi hanya 11 juta dollar AS pada tahun berikutnya. Pada 2014, Garuda justru merugi 369 juta dollar AS, yang mungkin disebabkan pembelian pesawat baru yang kala itu bertambah sebanyak 23 unit.
Pada 2015 dan 2016, Garuda tercatat untung meski hanya 78 juta dollar AS dan 9 juta dollar AS di kedua tahun itu. Namun, pada 2017 dan 2018, Garuda justru mencatat kerugian hingga 200-an juta dollar AS. Laporan keuangan 2018 pun sempat disajikan ulang (restatement) setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai ada kejanggalan dalam kerja sama anak usaha Garuda, PT Citilink Indonesia, dengan PT Mahata Aero Teknologi.
Menariknya, pada 2019 laporan keuangan Garuda berhasil menunjukkan laba sebesar 6,5 juta dollar AS atau setara Rp 93,39 miliar. Saat itu, Garuda berhasil melakukan upaya renegosiasi biaya sewa pesawat sekaligus memperpanjang masa sewa pesawat, renegosiasi kewajiban perusahaan yang akan jatuh tempo, hingga melakukan program efisiensi biaya dengan memprioritaskan keselamatan dan layanan penerbangan.
Garuda juga telah mencoba optimalisasi lini bisnis kargo, misalnya dengan memanfaatkan kompartemen penumpang untuk memaksimalkan angkutan kargo dan layanan pengiriman berbasis aplikasi Kirim Aja.
Angin segar rupanya berembus sesaat sampai akhirnya pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada awal 2020. Rapor merah menghiasi neraca keuangan Garuda dengan kerugian 2,5 miliar dollar AS pada 2020 dan kerugian 1,7 miliar AS (per September 2021). Penurunan drastis jumlah penumpang karena pandemi menjadi hal yang disebut-sebut sebagai faktor kerugian tersebut.
Kondisi memprihatinkan yang kini dialami maskapai kebanggaan nasional ini patut ditelusuri akarnya. Persoalan bukan semata-mata karena pandemi, melainkan budaya manajemen yang korup rupanya sudah terjadi sejak dua dekade lalu. Tidak heran, tubuh manajemen Garuda tidak menunjukkan hal-hal penting bagi perusahaan, seperti transparansi, inovasi, apalagi keuangan yang sehat.
Kasus Garuda
Dihimpun dari arsip pemberitaan harian Kompas sejak dua dekade sebelumnya, kondisi Garuda pada Juni 2000 ternyata sudah sakit-sakitan. Berdasarkan laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diungkapkan ICW kala itu, negara dirugikan hingga 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 8,5 triliun akibat KKN yang selama ini terjadi di PT Garuda Indonesia (Kompas, 7/6/2000).
ICW mengindikasikan adanya empat kasus KKN, yang meliputi leasing pesawat Airbus mulai dari A330-300, pesawat B747-200, dan pesawat B747-400 serta rekayasa sewa-menyewa komponen dan perawatan pesawat antara PT Garuda, PT Merpati Nusantara Airlines (MNA), dan PT Sakanusa Dirgantara (SD). Kasus-kasus tersebut belum termasuk delapan kontrak terindikasi KKN, yang hingga waktu itu masih ditangani Garuda secara internal. Sayangnya, pantauan ICW ini tidak dilanjutkan ke jenjang penyelidikan lebih lanjut.
Enam tahun kemudian, Komite Penanganan Korupsi PT Garuda melapor ke KPK tentang adanya empat kasus dugaan korupsi oleh sepuluh karyawan yang diduga terlibat di dalamnya. Dari keempat kasus, paling besar ialah dugaan korupsi utang di strategi bisnis unit kargo senilai 1,4 juta dollar AS dan Rp 74,9 miliar.
Kaus lain ialah kasus macetnya dana Yayasan Karyawan Perusahaan Garuda di reksa dana senilai Rp 28 miliar, penyalahgunaan tiket Garuda di Denpasar sebesar Rp 70 juta, dan dugaan penggelembungan pengadaan pesawat Airbus A-330 (Kompas, 30/8/2006).
Lagi-lagi, penyelidikan ini sayangnya tidak dipublikasikan dan pada saat itu isu ini kalah tenar dibandingkan kasus pelarian Gayus Tambunan. Ada juga pencarian Nunun Nurbaeti sebagai tersangka kasus suap saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda Goeltom (2004). Ditambah, korupsi wisma atlet yang menyeret nama Nazaruddin dan Angelina Sondakh.
Periode 2007 hingga 2015 dapat dikatakan Garuda terbang tinggi tanpa terbentur kasus korupsi di tubuh manajemennya yang terlihat serius berbenah. Secara berturut-turut, KPK memberikan penghargaan BUMN dengan Unit Pengendalian Gratifikasi Terbaik pada 2014 dan 2015 kepada Garuda. Penghargaan tersebut menunjukkan komitmen Garuda untuk memiliki prinsip tata kelola perusahaan yang baik sekaligus menjadi secercah harapan Garuda untuk lepas dari embusan isu-isu KKN di masa lalu.
Baru saja mendapat sanjungan, badai langsung menerpa Garuda di awal Januari 2017. Navigasi kabin Garuda sontak kacau tatkala Emirsyah Satar, mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Emirsyah Satar diduga menerima suap sekitar Rp 20 miliar dalam bentuk dollar Amerika Serikat dan euro dari perusahaan otomotif ternama asal Inggris, Rolls-Royce (Kompas, 19/1/2017).
Ia juga didakwa atas pencucian uang. Emirsyah diduga menerima Rp 5,79 miliar untuk pembayaran rumah di Pondok Indah serta 680.000 dollar AS dan 1,02 juta euro yang dikirim ke rekening Emirsyah di Singapura. Kemudian, ia juga diduga menerima 1,2 juta dollar Singapura untuk pelunasan apartemennya di negara tersebut.
Setelah upaya penyelidikan, penyidikan, dan persidangan selama lebih kurang empat tahun, pada 8 Mei 2021 Emirsyah mendapat vonis 8 tahun penjara. Ia juga dikenai denda Rp 1 miliar subsider pidana kurungan selama 3 bulan. Selain itu, ia dibebani uang pengganti sejumlah 2,1 juta dolar Singapura atau sekitar Rp 22,3 miliar.
Sebenarnya, selama penyelidikan kasus suap Emirsyah berjalan, KPK juga menetapkan Soetikno Soedarjo selaku beneficial owner (penerima manfaat) dari Connaught International (perusahaan yang diduga menjadi perantara suap). Selain itu, KPK turut mencegah dua mantan anak buah Emirsyah di Garuda, Hadinoto Soedigno dan Agus Wahjudo, serta seorang lainnya dari swasta, Sellywati Raharja, ke luar negeri.
Akhirnya pada 25 Januari 2021, Hadinoto Soedigno (Direktur Teknik PT Garuda Indonesia periode 2007-2012 dan Direktur Produksi PT Citilink Indonesia periode 2012-2017) ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Ia diduga menerima suap 2,3 juta dollar AS, 477.540 euro, pembayaran makan malam dan penginapan Rp 34,8 juta, serta fasilitas sewa pesawat pribadi 4.200 dollar AS. Total uang yang diterima Hadinoto mencapai Rp 40,69 miliar.
Pada 3 Juni 2021, jaksa KPK menuntut Hadinoto 12 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 8 bulan kurungan. Jaksa juga meminta majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti senilai 2,3 juta dollar AS dan 477.540 euro atau setara Rp 40 miliar, yang harus dibayarkan maksimal satu bulan setelah adanya putusan pengadilan.
Tentu saja, publik tidak akan lupa dengan kasus memalukan penyelundupan 15 boks berisi onderdil sepeda motor Harley-Davidson bekas dengan kondisi terurai dan tiga boks lain berisi dua sepeda Brompton baru beserta aksesorinya yang dibawa pesawat Airbus A330-900 Neo Garuda Indonesia dari Perancis (Kompas, 17 November 2019).
Sepeda motor itu dibeli pada April 2019 dengan pembayaran melalui transfer oleh Manajer Keuangan Garuda Indonesia di Amsterdam. Pada 7 Desember 2019, Menteri BUMN Erick Thohir pun memberhentikan Dirut PT Garuda Indonesia kala itu, I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra, setelah terbukti sebagai pelaku utama penyelundupan.
Deretan kasus yang terungkap di atas sudah cukup untuk melihat betapa keroposnya tubuh manajemen Garuda. Pandemi di Indonesia pada awal 2020 memang turut menyebabkan bisnis penerbangan anjlok karena aturan pembatasan penumpang, jumlah perjalanan merosot, serta animo penumpang untuk naik pesawat turun tajam. Semua itu tidak sebanding dengan biaya operasional, seperti biaya pemeliharaan pesawat dan biaya tenaga kerja.
Meski begitu, pandemi tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena maskapai penerbangan di belahan dunia mana pun juga mengalami penurunan pendapatan. Terkhusus bagi Garuda, pandemi lebih tepat dikatakan sebagai badai yang mempercepat tubuh pesawat menukik tajam (akselerasi radial) dan menunggu sedikit waktu untuk kemudian menjadi puing-puing.
Penyelamatan Garuda
Ada sejumlah aksi jangka pendek ataupun jangka panjang untuk menyelamatkan Garuda, seperti yang disampaikan para pengamat melalui opininya di media sosial atau media massa. Paul Sutaryono, Staf Ahli Pusat BUMN dan pengamat perbankan, menuliskan opini yang memuat sembilan opsi penyelamatan yang dapat dilakukan, terutama oleh pemerintah.
Opsi itu mulai dari melakukan restrukturisasi utang hingga memperbaiki manajemen dengan menempatkan direksi yang tidak hanya memahami dunia penerbangan, tetapi juga mengerti keuangan (Kompas, 2/10/2021). Pandangan Paul Sutaryono tampak runut dan logis jika diterapkan satu per satu secara bertahap.
Baca juga : Kaji Mendalam Persoalan Garuda Indonesia
Penetapan status PKPU sementara Garuda adalah bagian dari upaya awal restrukturisasi utang yang dikemukakan sebagai langkah awal sebelum menjejaki delapan opsi lain yang ditawarkan Sutaryono. Langkah kedua yang selanjutnya ialah pemerintah mengucurkan penyertaan modal negara (PMN) karena bagaimanapun Garuda adalah wajah maskapai penerbangan nasional di mata dunia.
Status istimewa Garuda sebagai maskapai penerbangan pembawa bendera negara (flag carrier) turut membuka opsi penyelamatan lain. Ridha Aditya Nugraha dari Air and Space Law Studies Universitas Prasetiya Mulya menuliskan bahwa kendati Garuda membutuhkan dana segar, penting untuk menyeleksi investor asing yang masuk. Kriteria para investor harus sesuai dengan rencana jangka panjang pemulihan Garuda.
Misalnya saja, jika Garuda ingin mempertahankan penerbangan langsung ke ”Benua Biru”, faktor eksternal semacam hukum udara dan kompetisi Uni Eropa perlu dicermati. Sebab, investasi maskapai Timur Tengah pada beberapa maskapai Uni Eropa sebelum pandemi Covid-19 sempat mengangkat kasus dominasi grup ataupun kompetisi tidak sehat. Imbasnya, beberapa rute dan prime time slot bandara perlu dilepas sehingga manajemen Garuda perlu cermat bersiasat agar tidak terjebak dalam perangkap tersebut (Kompas, 27/11/21).
Aditya Nugraha mengingatkan agar secara paralel Pemerintah Indonesia memperkuat diplomasi udara. Empat dekade lalu, Pemerintah Belanda mendengarkan saran akademisi hukum udara Universiteit Leiden, Prof Wassenbergh, untuk lebih dulu menjemput konsep open skies. Bandara Schiphol, Amsterdam, dan maskapai KLM kini menikmati hasilnya dengan jadi pemain global.
Memang, pada akhirnya penyelamatan Garuda bukan hanya persoalan laba rugi neraca keuangan, melainkan juga perkara nasionalisme. Garuda memiliki modal berharga yang tidak dimiliki maskapai penerbangan lokal lain, yakni identitas sebagai maskapai pembawa bendera negara. Armada Garuda sewaktu-waktu dapat difungsikan sebagai pesawat negara (state aircraft) guna menjalankan misi kenegaraan dan kemanusiaan.
Dari sejarahnya, Garuda hadir dalam perjuangan awal masa kemerdekaan Indonesia. Pada 28 Desember 1949, dua pesawat Dakota (DC-3) berangkat dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta, menuju Yogyakarta untuk menjemput Soekarno dibawa kembali ke Jakarta, sekaligus menandai perpindahan kembali ibu kota RI ke Jakarta. Sejak saat itulah Garuda Indonesian Airways (GIA) terus berkembang hingga dikenal sekarang sebagai Garuda Indonesia.
Penghargaan yang diperoleh Garuda di ranah nasional dan internasional pun tidak main-main. Bahkan sepanjang 2020, Garuda meraih peringkat 5-Star On Time Perfomance Rating 2020 dari OAG Flightview yang merupakan lembaga pemeringkatan on time performance independen yang berkedudukan di Inggris.
Baca juga : Bukan Sekali Ini Garuda Bangkrut
Garuda juga meraih The Best Airline in Indonesia selama empat tahun berturut-turut sejak 2017 hingga 2020, predikat Major Airlines – Traveler’s Choice Major Airline Asia selama tiga tahun berturut-turut sejak 2018 hingga 2020 dari TripAdvisor 2020 Traveler’s Choice Airlines Awards, serta berhasil dinobatkan menjadi salah satu maskapai dengan penerapan protokol kesehatan terbaik di dunia versi Safe Travel Barometer.
Sejarah panjang Garuda telah terbentang dan masih dapat digelar lebih jauh lagi. Rentetan prestasi tingkat internasional masih dapat diukir dan tidak hanya menjadi nostalgia semata. Garuda Indonesia masih dapat diselamatkan dan lepas landas karena di dalam tubuh maskapai Garuda terkandung nasionalitas bangsa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Garuda Belum Pailit, Masih dalam Proses PKPU Sementara