Pembangunan perekonomian dipacu terus meningkat, tetapi dengan berupaya seoptimal mungkin menekan laju pertumbuhan emisi gas rumah kaca.
Oleh
Budiawan Sidik A.
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Kompleks Tugu Monas yang menempati areal seluas 80 hektar, selain menjadi lokasi tujuan wisata bersejarah dan monumen ikon di Ibu Kota, juga menyediakan ruang terbuka hijau yang menjadi paru-paru kota sebagai penghasil oksigen yang dapat menurunkan emisi gas rumah kaca.
Indonesia berkomitmen melanjutkan pembangunan nasional berwawasan lingkungan. Pembangunan perekonomian dipacu terus meningkat, tetapi dengan berupaya seoptimal mungkin menekan laju pertumbuhan emisi gas rumah kaca.
Upaya ini sejalan dengan komitmen ”Paris Agreement” yang disepakai Indonesia dalam konferensi ”Conference of The Parties” (COP) 21 tahun 2015. Dengan perjanjian ini, Indonesia berkomitmen untuk turut serta mencegah kenaikan temperatur global sebesar 2 derajat celsius dan membatasi kenaikan temperatur global sebesar 1,5 derajat celsius dibandingkan pada masa pra-industri.
Komitmen tersebut selanjutnya dituangkan ke dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang merupakan inti dari penerapan Paris Agreement yang disepakati dalam konferensi COP 21.
NDC merupakan perwujudan upaya setiap negara untuk mengurangi emisi dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Pada periode pertama, yakni pada tahun 2030, Indonesia memiliki target NDC pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen apabila mendapat dukungan internasional.
Target NDC tersebut merupakan bagian dari tahapan visi jangka Indonesia dalam rencana pembangunan yang rendah karbon dan berketahanan iklim. Pada 2050 Indonesia menargetkan mulai menuju net zero emission dan pada 2070 target emisi nol tersebut diharapkan dapat tercapai. Tentu saja untuk meraih target rendah emisi GRK tidaklah mudah karena melibatkan segenap sektoral.
Kompas
Komitmen Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Infografik
Indikasi ini terlihat dari rencana NDC 2030 yang berupaya menurunkan mitigasi skenario pertama (tanpa kerja sama internasional) sebesar 29 persen dari level emisi Business as Usual (BaU).
Dari kelima sektor penyumbang GRK, ada dua sektor paling menonjol yang ditargetkan akan mengalami reduksi GRK terbesar, yaitu energi dan kehutanan. Sektor energi direncanakan akan mengalami reduksi GRK sekitar 314 juta ton emisi karbon dioksida (CO2e) atau sekitar 11 persen dari level emisi BaU energi pada 2030. Untuk sektor kehutanan, ditargetkan akan susut emisi hampir 500 juta ton CO2e atau sekitar 17 persen dari level emisi BaU kehutanan.
Untuk meredam laju pertumbuhan emisi kedua sektor tersebut tidaklah mudah, terutama sektor energi yang mengalami pertumbuhan emisi karbon paling masif.
Pada 2010, level emisi energi berada pada kisaran 453 juta ton CO2e, tetapi dengan pertumbuhan emisi yang tinggi sekitar 6,7 persen setahun, pada tahun 2030 emisi energi secara BaU diperkirakan 1.669 juta ton CO2e.
Peningkatan emisi ini melonjak lebih tinggi dari periode sebelumnya, yakni pada rentang tahun 2000-2012 yang ”hanya” meningkat pada kisaran 4,5 persen. Hal ini menunjukkan produksi dan konsumsi energi kian besar dan terus meningkatkan emisi GRK.
Pada 2000-2018, emisi GRK sektor energi rata-rata meningkat sekitar 15 juta ton CO2e per tahun sehingga pada tahun 2018 emisi sektor ini hampir mencapai 600 juta ton CO2e. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar energi dihasilkan oleh sumber pembangkitan yang tidak ramah lingkungan.
Kompas
Tren peningkatan emisi gas rumah kaca global. Sumber: WMO
Berdasarkan data Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV), KLHK Tahun 2020 menunjukkan ada sekitar 10 kategori bidang energi yang berkontribusi menyumbang emisi.
Dari 10 kategori ini, tiga di antaranya adalah penyumbang emisi terbesar, terdiri dari bidang pembangkitan panas dan kelistrikan sebesar 44 persen, transportasi sekitar 26 persen, dan industri manufaktur-konstruksi hampir 18 persen.
Kategori lainnya, rata-rata berkontribusi menyumbang emisi masing-masing kurang dari 4 persen, seperti kelompok hunian rumah tangga; gas buang minyak, gas alam, dan bahan bakar padat; pengolahan minyak; komersial; serta pengolahan batubara.
Untuk menuju net zero emission 2050, Pemerintah Indonesia merencanakan sejumlah skenario mitigasi di sektor energi. Terdiri dari skenario kebijakan NDC diperpanjang (extended NDC); skenario transisi; dan rencana low carbon scenario compatible with Paris Argreement target (LCCP).
Dari ketiga skenario itu, LCCP ditargetkan akan menghasilkan penurunan emisi terbesar pada 2050. Diperkirakan emisi akan turun menjadi sekitar 766 juta ton CO2e setelah emisi GRK mencapai puncaknya pada 2030 sebesar 1.163 juta ton CO2e.
Hasil kalkulasi skenario LCCP sebesar 766 juta ton CO2e pada tahun 2050 itu berbeda cukup jauh dengan skenario kebijakan NDC diperpanjang dan skenario transisi.
Kompas
Infografik gas rumah kaca
Dengan skenario kebijakan NDC diperpanjang, diperkirakan emissi GRK pada 2050 masih sekitar 2.100 juta ton CO2e. Dengan skenario ini, emisi GRK akan meningkat sekitar 3,1 persen per tahun pada kurun 2010-2050.
Selanjutnya, apabila menggunakan skenario transisi, tren emisi GRK tetap akan meningkat, tetapi dengan tren sedikit lebih kecil, yakni 2,1 persen per tahun pada kurun 2010-2050. Pada tahun 2050 nanti emisi GRK model skenario transisi diperkirakan masih sekitar 1.439 juta ton CO2e.
Jadi, dari ketiga skenario mitigasi tersebut, LCCP merupakan model yang relatif progresif untuk menuju Indonesia net zero emission. Dalam rencana LCCP ini, ada sejumlah rencana yang direkomendasikan untuk dapat terpenuhi.
Selain itu, juga mengejar target bauran energi primer dari sektor energi baru terbarukan (EBT) harus meningkat hingga 33 persen pada 2050. Terakhir adalah dengan melakukan transformasi sistem energi dengan berfokus pada sektor pembangkit listrik dan transportasi.
Pembangkitan listrik dan transportasi merupakan sektor krusial untuk segera transisi menuju energi yang lebih ramah lingkungan. Pasalnya, kedua sektor ini menyumbang emisi terbesar hingga 68 persen dari semua total emisi yang mencemari lingkungan Indonesia.
Tingginya kontribusi emisi dari kedua kategori itu disebabkan oleh besarnya asupan energi fosil yang digunakan dalam proses mekanisasinya. Pembangkit listrik dan mesin-mesin kendaraan sebagian besar menggunakan energi fosil. Sekitar 85 persen pembangkit listrik menggunakan energi fosil.
Pembangkitan listrik dan transportasi merupakan sektor krusial untuk segera transisi menuju energi yang lebih ramah lingkungan.
Laporan dari Ditjen Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM tahun 2020, menunjukkan pembangkit listrik secara nasional yang berasal dari PLTD 6 persen, PLTG sekitar 28 persen, dan dari PLTU batubara kisaran 50 persen. Pembangkit listrik yang berasal dari sumber EBT tergolong masih kecil, yakni kurang dari 15 persen.
Dominasi kelompok fosil ini juga terjadi pada sektor transportasi. Lebih dari 80 persen penjualan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri digunakan oleh sektor transportasi. Akibatnya, sektor yang mendorong kegiatan mobilitas manusia dan barang ini menjadi salah satu penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia.
Alhasil, transisi pembangkitan energi listrik dan juga asupan bahan bakar untuk transportasi menuju nonfosil menjadi salah satu kunci penting keberhasilan menuju net zero emission. (LITBANG KOMPAS)