Panas Bumi Indonesia Belum Tergarap Baik
Indonesia memiliki ratusan gunung api yang berpotensi besar memberikan berkah alam berupa energi panas bumi. Sayangnya, potensi tersebut belum tergarap dengan optimal.

Instalasi pemanfaatan panas bumi sebagai pembangkit listrik Chevron Geothermal Salak sebesar 377 MW, Rabu (20/6) yang berada di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kompas/Ichwan Susanto
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia. Lokasi Indonesia yang berada pada pertemuan lempeng dunia membuat Indonesia memiliki ratusan gunung api yang berpotensi besar memberikan berkah alam berupa energi panas bumi.
Hanya saja, karunia alam ini belum termanfaatkan secara optimal untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Hingga saat ini, jumlah pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) masih relatif sedikit, sehingga energi yang dihasilkannya pun tergolong minim.
Hanya sekitar tujuh persenan dari total potensi energi panas bumi yang dapat dibangkitkan menjadi energi listrik.
Indonesia memiliki ratusan gunung api yang berpotensi besar memberikan berkah alam berupa energi panas bumi
Berdasarkan data Ketahanan Energi Tahun 2019, Dewan Energi Nasional (DEN), Indonesia menduduki peringkat kedua dalam hal kepemilikan jumlah gunung api aktif dan juga potensi panas bumi secara global.
Indonesia memiliki jumlah gunung api aktif sebanyak 146 buah atau terpaut 14 buah dengan Amerika Serikat (AS) yang menduduki peringkat pertama dengan 160 buah gunung api aktif.
Jumlah gunung api aktif ini memberikan berkah potensi energi panas bumi di Indonesia yang sangat besar, yakni mencapai kisaran 28 ribu Mega Watt (MW). Potensi panas bumi ini juga tidak terpaut jauh dengan AS yang diperkirakan mencapai 30 ribu MW.

Sayangnya, besarnya potensi energi panas bumi di Indonesia tersebut belum termanfaatkan secara optimal. Hingga tahun 2020, dari sekitar 28 ribu MW potensi panas bumi baru sekitar 2.100 MW saja yang sudah diproduksi energinya menjadi listrik melalui PLTP.
Artinya, kapasitas terpasang PLTP di Indonesia yang mengeksploitasi potensi energi panas bumi hanya berkisar 7 persen saja.
Besaran kapasitas terpasang PLTP ini kalah jauh dengan Filipina yang mencapai kisaran 31 persen. Padahal, Filipina hanya memiliki gunung api sebanyak 47 buah dengan potensi panas bumi berkisar 6 ribu MW.
Namun, negara kepulauan di utara Indonesia ini pada tahun 2019 sudah mampu membangun PLTP dengan kapasitas terpasang sekitar 1.800-an MW atau hampir setara dengan kapasitas PLTP di Indonesia.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2F20200829WEN12_1598688656.jpg)
Pipa dari jaringan instalasi energi panas bumi yang melintasi perkebunan warga di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Sabtu (29/8/2020).
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa pembangkitan energi dari sumber panas bumi belum menjadi prioritas utama di Indonesia. Tidak menutup kemungkinan rendahnya eksploitasi energi panas yang berlimpah ini karena pengembangan PLTP di Indonesia menghadapi banyak kendala.
Akibatnya, PLTP dan juga sumber pembangkitan EBT lainya masih minim produksinya. Output produksinya masih kalah jauh dengan pembangkitan yang bersumber dari energi fosil seperti dari batubara (PLTU), gas (PLTG), dan juga diesel (PLTD).
Pada kurun 2015-2020, kapasitas pembangkitan listrik di Indonesia mayoritas sekitar 85 persen berasal dari energi fosil. Terdiri dari PLTU sekitar 50 persen, PLTG sekitar 28 persen, dan PLTD sekitar 7 persen.
Sisanya, sekitar 15 persen lainnya berasal dari sumber EBT seperti pembakit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 8 persenan, PLTP sekitar 3 persen, dan PLT EBT lainnya kisaran 3 persen. Jadi, hingga saat ini, produksi listrik Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumber energi yang tidak terbarukan.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Sorik Marapi beroperasi di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Kondisi tersebut berbeda cukup signifikan dengan sejumlah negara Asia lainnya, seperti China, Vietnam, dan India. Ketiga negara ini masing-masing memiliki pembangkit listrik yang bersumber dari EBT rata-rata lebih dari 30 persen dari seluruh pembangkit listrik yang ada di negara bersangkutan. Bahkan, Vietnam memiliki persentase pembangkit listrik dari EBT lebih dari 40 persen.
Hal ini patut menjadi pembelajaran serius bagi pemerintah karena ketiga negara itu memiliki karakter atau struktur perekonomian yang hampir mirip dengan Indonesia.
Selain itu, secara sumber daya alam EBT Indonesia memiliki keberagaman dan juga potensi energi yang berlimpah ruah. Tidak kalah dengan ketiga negara itu.
Hanya saja, kenyataannya ketiga negara tersebut mampu mendorong pengembangan EBT lebih maju daripada Indonesia. Jadi, tidak ada salahnya apabila Indonesia melakukan komparasi studi dengan ketiga negara itu agar mampu mengembangkan produksi EBT menjadi lebih optimal lagi.
Baca juga : Urgensi Penguatan Industri Hulu Migas (Bagian Pertama)
Pengembangan PLTP
Panas bumi Indonesia yang berlimpah perlu untuk terus dikembangkan agar mampu menghasilkan produksi yang besar. Setidaknya, potensi panas bumi Indonesia yang mencapai kisaran 28 ribu MW dapat dioptimalkan produksinya hingga mendekati perkiraan hitungan potensi maksimalnya.
Produksi listrik dari PLTP yang saat ini baru berada di sekitar 17 wilayah kerja panas bumi (WKP) perlu untuk ditingkatkan lagi kapasitas produksinya. Selain itu, perlu untuk menambah WKP baru lainnya sehingga jumlah produksinya kian meningkat dan sumber produksinya kian banyak.

Grafis kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi di Indonesia sejak 2014-2017 dan rencana pengembangan di 2018.
Apalagi, Indonesia memiliki sekitar 146 buah gunung api aktif yang tentu saja memberikan peluang potensi panas bumi yang melimpah di sekitar wilayah gunung api tersebut. Jadi, perlu untuk dieksplorasi lebih lanjut agar dapat menemukan titik-titik sumber panas bumi yang dapat dimanfaatkan untuk industri PLTP.
Memang, harus diakui bahwa pengembangan industri PLTP itu tidaklah mudah. Usaha ini merupakan penggabungan antara teknik pertambangan dan juga teknik produksi energi sehingga memiliki tingkat risiko yang besar dan juga pendanaan yang relatif mahal.
Belum lagi lokasi WKP yang biasanya berada di wilayah konservasi alam menimbulkan kerumitan tersendiri saat mengajukan perizinan karena harus mendapatkan persetujuan lintas instansi kementerian, lembaga, hingga instansi di daerah.
Selain itu, juga terkadang mendapat tekanan penolakan dari masyarakat setempat sehingga membuat investasi sektor panas bumi kian terkendala. Bahkan, hingga output produksinya pun yang berupa energi listrik di beberapa WKP belum menemukan titik temu yang diharapkan oleh para Investor.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_15743569_117_0.jpeg)
Petani menuju ladang melewati jaringan pipa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dioperasikan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
PT PLN sebagai pemain tunggal pembeli listrik di Indonesia menetapkan harga beli listrik dari investor PLTP dengan harga yang cenderung lebih rendah. Akibatnya, investor terutama dari pihak swasta baik domestik ataupun luar negeri akan berpikir ulang untuk berinvestasi di sektor PLTP di Indonesia.
Fenomena tersebut membuat pengembangan PLTP di Indonesia relatif kurang menggembirakan. Sejumlah parameter yang sudah ditetapkan oleh pemerintah tidak tercapai secara maksimal.
Beberapa di antaranya adalah terkait target investasi dan juga produksi uap panas bumi. Kedua variabel ini cenderung selalu meleset dari target. Bahkan, khusus untuk investasi nilainya terus menurun dan semakin menjauhi sasaran.
Indonesia memiliki sekitar 146 buah gunung api aktif yang tentu saja memberikan peluang potensi panas bumi yang melimpah di sekitar wilayah gunung api tersebut.
Baca juga : Urgensi Penguatan Industri Hulu Migas (Bagian Kedua)
Serapan investasi
Pada tahun 2015-2020, pemerintah melalui Kementerian ESDM menargetkan serapan investasi di bidang panas bumi rata-rata mencapai 1,3 miliar dollar AS per tahun.
Namun, kenyataannya nilai realisasi yang tercapai rata-rata hanya di kisaran 1 miliar dollar AS setahun atau sekitar 70 persen dari target. Bahkan, sejak tahun 2019 hingga 2020, nilai realisasinya melorot jauh hingga kisaran 700-800 juta dollar AS.
Capaian investasi pada tahun 2019 dan 2020 itu hanya sekitar 67 persen dari target investasi yang dicanangkan. Kondisi demikian membuat target produksi uap panas bumi menjadi belum tercapai secara optimal setiap tahunnya.
Pada tahun 2015-2019, produksi uap panas bumi yang ditargetkan rata-rata sebanyak 108 juta ton per tahun, tetapi realitasnya hanya mencapai kisaran 89 juta ton.

Keindahan Danau Linow di Lahendong, Kecamatan Tomohon Selatan, Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Danau yang terbentuk dari aktivitas vulkanik tersebut juga dikenal dengan sebutan danau tiga warna. Kawasan sekitar Danau Linow menyimpan potensi energi panas bumi.Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
Masih ada kekurangan produksi uap panas sekitar 10 juta ton setiap tahunnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pengusahaan energi dari panas bumi tidaklah mudah.
Berlimbahnya potensi sumber daya panas bumi tidak serta merta dapat meningkatkan produksi listrik dari PLTP secara signifikan dalam tempo singkat.
Banyaknya wilayah yang mengandung panas bumi yang berserak di sekitaran 147 gunung api di Indonesia ternyata masih sangat minim sekali yang sudah berhasil ditambang saat ini.
Baru sekitaran 17 wilayah saja yang sudah beroperasi secara optimal dan akan terus dikembangkan. Dapat dibayangkan betapa besarnya produksi listrik dari PLTP apabila potensi panas bumi yang berlimpah ini dapat ditambang dan diproduksi untuk menghasilkan energi listrik secara masif. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Sinergi dan Kontraproduksi Antara Ekonomi dan Energi