Urgensi Penguatan Industri Hulu Migas (Bagian Pertama)
Penguatan suplai energi yang bersumber dari fosil tetap dibutuhkan oleh Indonesia, terutama yang berupa migas yang saat ini jumlah penyediaannya dari dalam negeri terus menyusut.
Oleh
Budiawan Sidik A
·5 menit baca
Energi Fosil di Indonesia masih sangat dibutuhkan, setidaknya hingga tahun 2050-an. Bila nanti target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 32 persen tercapai pada tahun 2050, maka sisanya sekitar 68 persen masih tetap ditopang oleh energi fosil, seperti batubara dan migas (minyak bumi dan gas).
Penguatan suplai energi yang bersumber dari fosil tetap dibutuhkan oleh Indonesia, terutama yang berupa migas yang saat ini jumlah penyediaannya dari dalam negeri terus menyusut. Tingkat ketergantungan impornya masih sangat besar dari luar negeri.
Setiap hari, kebutuhan konsumsi migas di Indonesia di atas 1,5 juta barel, tetapi tingkat penyediaannya hanya mencapai sekitar 50 persennya saja atau berkisar 700-800-an ribu barel.
Kekurangan ini ditutup dengan mendatangkan migas impor yang dipesan dari sejumlah negara, seperti di antaranya Singapura, Thailand, Korea Selatan, Jepang, China, Russia, dan Amerika.
Kondisi ini menyebabkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap dinamika ekonomi dan politik global. Apabila terjadi peningkatan harga minyak bumi dunia maka akan memberikan tekanan negatif pada neraca perdagangan internasional.
Valuta asing yang diperlukan untuk membeli BBM dan gas impor semakin banyak, sehingga rawan menekan kurs rupiah menjadi lemah. Apabila negara tidak siap memiliki cadangan devisa yang cukup, maka sangat rentan timbul gejolak harga (inflasi) di dalam negeri sebagai akibat peningkatan harga migas global.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan sejumlah penguatan agar suplai minyak bumi dan gas di dalam negeri stabil dan juga tidak terlalu membebani keuangan negara. Impor BBM dan gas sebisa mungkin dikurangi dan ditekan sekecil mungkin.
Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan. Seperti di antaranya pemerintah melakukan kebijakan transisi energi dari penggunaan LPG ke kompor listrik; mandatori penggunaan biodiesel; akselerasi penggunaan mobil listrik; dan disaat bersamaan juga berupaya untuk meningkatkan suplai BBM dan gas dari dalam negeri.
Khusus untuk peningkatan suplai BBM dan gas dari dalam negeri tersebut pemerintah harus mendorong kenaikan produksi migas dari sumur-sumur yang ada di dalam perut bumi Indonesia. Lifting minyak harus ditingkatkan, sehingga mendorong penyediaan bahan baku untuk industri pengilangan dalam negeri.
Upaya ini berkaitan erat dengan peningkatan industri hulu migas. Semakin banyak industri hulu migas yang melakukan eksplorasi, maka peluang untuk memperoleh ladang minyak baru yang memiliki cadangan besar akan semakin tinggi.
Semakin banyak sumur-sumur minyak baru ditemukan, maka peluang untuk meningkatkan ketahanan energi dari sisi ketersediaan sektor BBM dan gas akan semakin menguat.
Begitu juga sebaliknya, semakin sedikit usaha atau industri hulu migas yang beroperasi maka peluang untuk meningkatkan suplai energi fosil dari kelompok migas akan kian mengecil.
Investasi mengecil
Lifting minyak akan terus menyusut dan cadangan migas nasional akan semakin cepat habis dalam jangka pendek kurang dari 10 tahun lagi. Bila hal ini terjadi maka beban keuangan negara akan semakin berat karena jumlah impor BBM dan gas setiap hari semakin besar jumlahnya.
Sayangnya, kondisi saat ini tampaknya industri hulu migas di Indonesia semakin kurang diminati. Satu indikasinya terlihat dari jumlah investasi yang ditanamkan di sektor hulu migas kian mengecil.
Dari tahun 2015-2020, investasi sektor hulu migas rata-rata terus menyusut sekitar minus 6 persen atau senilai 970 Juta dollar AS setahun. Pada tahun 2015, investasi hulu migas masih berkisar 15 miliar dollar AS, tetapi pada tahun 2020 sudah susut menjadi kisaran 10 miliar dolar AS.
Penyusutan investasi hulu migas tersebut berimbas pada pembiayaan semua sektor kegiatannya. Mulai dari produksi, pengembangan, eksplorasi, dan administrasi. Penyusutan terbesar berada pada kegiatan eksplorasi yang rata-rata mengalami penyusutan investasi hampir mendekati minus 20 persen per tahun atau senilai 360-an juta dollar AS.
Kegiatan eksplorasi ini anjlok sangat drastis sejak tahun 2015. Pada tahun 2014, investasi kegiatan eksplorasi masih berkisar 2,6 miliar dollar AS, tetapi pada tahun 2015 anjlok drastis menjadi 970 juta dollar AS. Pada tahun-tahun berikutnya nilainya terus menyusut dan pada tahun 2020 nilai investasi kegiatan eksplorasi ini semakin minim menjadi kisaran 444 juta dollar AS.
Semakin minimnya investasi di kegiatan hulu migas tersebut akan memberikan dampak negatif bagi perekonomian nasional. Lifting minyak akan semakin menyusut dan cadangan migas nasional akan semakin sedikit.
Litfting minyak semakin sedikit karena sebagian operator wilayah kerja pertambangan migas tidak melakukan pengembangan produksi lagi di wilayah kerjanya. Bisa jadi karena cadangan migas yang kian menipis di wilayah tersebut, sehingga tidak perlu lagi melakukan investasi produksi dan pengembangan.
Solusi yang ditawarkan adalah melakukan kegiatan eksplorasi di sejumlah wilayah kerja lain yang ditawarkan pemerintah. Dengan semakin banyak eksplorasi maka peluang untuk menemukan ladang-ladang baru akan semakin terbuka lebar.
Hanya saja, tampaknya para investor untuk beberapa saat lalu enggan berinvestasi pada kegiatan ini karena adanya perubahan skema kerja sama antara pemerintah dengan para kontraktor migas dari cost recovery menjadi gross split.
Dengan perubahan skema itu membuat risiko finansial yang dihadap para investor kian besar sehingga berdampak pada susutnya investasi di sektor hulu migas.
Industri energi memberikan kontribusi yang relatif besar bagi perekonomian nasional.
Kontribusi Energi
Industri energi memberikan kontribusi yang relatif besar bagi perekonomian nasional. Secara makro, kontribusi industri energi dapat dilihat dari kontribusinya terhadap PDB nasional.
Selain itu, juga dapat dilihat dari besarnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari sektor sumber daya alam (SDA) migas. Dari kedua hal ini menunjukkan jika industri energi berkontribusi secara langsung bagi perekonomian nasional dan juga sebagai sumber pendapatan negara.
Pada tahun 2015-2020, kontribusi sektor pertambangan migas (hulu) rata-rata memberikan konstribusi bagi PDB nasional hampir mencapai Rp 400 triliun per tahun. Nominal ini menggambarkan proporsi kontribusi bagi PDB nasional sekitar 2,85 persen per tahun.
Meskipun secara nasional relatif kecil, tetapi secara sektoral kelompok pertambangan dan penggalian, industri migas hulu memiliki peran sangat besar. Terlihat dari besaran kontribusi kelompok migas terhadap sektor pertambangan dan penggalian rata-rata mencapai 38 persen per tahun. Artinya, industri hulu migas sangat besar pengaruhnya bagi sektor ekstraktif pertambangan itu.
Walaupun secara nasional kontribusi PDB sektor hulu migas relatif kecil, tetapi secara kelompok memberikan nilai yang cukup signifikan bagi pendapatan negara. Khususnya pada kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Setiap tahun, sektor migas memberikan PNBP sekitar Rp 86 triliun per tahun atau sekitar 25 persen dari seluruh PNBP nasional. Artinya, secara tidak langsung kelompok hulu migas itu memiliki peranan yang besar dalam menambah sumber pendapatan negara nonpajak. (LITBANG KOMPAS)