Sinergi dan Kontraproduksi Antara Ekonomi dan Energi
Ekonomi dan energi menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Keduanya terikat erat, saling melengkapi, dan mendukung. Efisiensi energi menjadi kata kunci yang sangat penting dalam membangun perekonomian nasional.
Oleh
Budiawan Sidik Arifianto
·6 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidrap (Sidenreng Rappang), Sulawesi Selatan yang berkapasitas 75 MW.
Ekonomi dan energi merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan satu dengan lainnya. Kedua-duanya terikat erat, saling melengkapi, dan mendukung. Untuk memajukan sebuah perekonomian nasional, maka memerlukan daya dukung suplai energi yang memadai agar segala kegiatan ekonomi dapat tumbuh ke arah positif. Apabila terjadi gangguan pada salah satu variabel tersebut, maka potensi terjadi perubahan pada variabel lain sangatlah besar akibat saling eratnya hubungan.
Kualitas hubungan antara sektor ekonomi dan energi di setiap negara selalu berbeda-beda. Beragamnya karakteristik sumber daya alam, tingkat konsumsi, kemajuan ekonomi, dan juga dinamika politik di suatu negara akan sangat memengaruhi kualitas hubungan antara perekonomian dan sektor energi.
Secara umum, ada sejumlah parameter yang mengukur kualitas hubungan tersebut. Setidaknya ada tiga pendekatan, yakni elastisitas energi, intensitas energi, dan produktivitas energi. Ketiga variabel ini menunjukkan seberapa efisien energi yang digunakan suatu negara untuk menumbuhkan perekonomiannya.
Berdasarkan laporan Ketahanan Energi Indonesia 2019, Dewan Energi Nasional (DEN), elastisitas energi merupakan perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi dengan pertumbuhan ekonomi.
Semakin rendah elastisitas menunjukan pemakaian energi semakin efisien. Sebaliknya, semakin tinggi elastisitas maka mengindikasikan terjadinya pemborosan dalam penggunaan energi.
Variabel berikutnya yang menggambarkan efisiensi adalah intensitas energi. Variabel intensitas ini menggambarkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk mendapatkan per satu satuan Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara barel minyak (SBM) per miliar rupiah. Intensitas energi yang semakin menurun seiring dengan kenaikan produk domestik bruto (PDB) menunjukkan penggunaan energi menjadi lebih efisien.
Variabel lainnya lagi yang terkait efisiensi adalah produktivitas energi. Produktivitas energi didefinisikan sebagai perbandingan antara PDB terhadap penggunaan energi primer.
Semakin tinggi nilai produktivitas energi menggambarkan tingkat utilitas energi yang semakin baik dan efisien. Semakin efisien penyediaan energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi maka tingkat ketahanan energi nasional akan semakin meningkat.
Pada kurun tahun 2014-2018, nilai elastisitas energi berfluktuasi. Pada tahun 2014-2016, nilai elastisitas rata-rata di bawah 1. Sisanya, pada tahun 2017-2018 tren nilai elastisitasnya meningkat lebih besar dari 1 (> 1). Hal ini menunjukkan adanya tren penggunaan energi yang inefisien.
Pada tahun 2017 dan 2018 terjadi peningkatan suplai energi yang besar hingga rata-rata lebih dari 7 persen per tahun tetapi kurang bermanfaat untuk mendorong kemajuan perekonomian. PDB relatif stagnan di kisaran 5 persenan saja, sehingga mengindikasikan adanya ketidaksesuaian permintaan dan suplai yang disediakan oleh pemerintah.
BADAN PUSAT STATISTIK
Sejumlah komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB) yang menjadi acuan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2021
Selain itu, dapat pula berarti sebagian besar energi yang disediakan belum optimal digunakan untuk sektor produktif yang dapat meningkatkan kontribusi nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Selanjutnya, terkait dengan intensitas energi, secara umum Indonesia relatif baik dan mampu bersaing dengan negara-negara di sekitar kawasan. Pada kurun 2008-2018, intensitas energi di Indonesia menurun relatif signifikan, sehingga menjadi kisaran kurang dari 2 barrel oil equivalen (BOE) per ribuan dollar AS. Artinya, untuk menghasilkan satu unit PDB (ribuan dollar AS), total konsumsi energi yang diperlukan kurang dari 2 BOE. Besaran ini lebih rendah
dari intensitas energi di sejumlah negara seperti Malaysia, Thailand, dan India. Artinya, penggunaan energi di Indonesia lebih efisien dalam memberikan kontribusi terhadap PDB dibandingkan ketiga negara tersebut.
Hanya saja, bila dibandingkan dengan sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang nilai intensitas energi Indonesia lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan negara-negara maju itu jauh lebih efisien lagi dibandingkan Indonesia.
Selain itu, sektor utama penopang ekonomi negara maju tersebut tidak lagi mengandalkan industrialisasi, tetapi sudah bergeser ke sektor lebih tinggi lagi, yakni kelompok jasa. Misalnya saja, jasa keuangan, hiburan, jasa perdagangan, akomodasi, pendidikan, dan informasi teknologi.
Pergeseran sektor itu menyebabkan konsumsi energi di negara-negara maju relatif tidak setinggi konsumsi energi di negara yang masih mengandalkan industrialisasi. Oleh sebab itu, negara maju menjadi lebih efisien dalam mengkonsumsi energi, tetapi tetap menghasilkan nilai ekonomi nasional (PDB) dengan nominal yang besar.
Untuk menghasilkan nilai PDB yang tinggi dengan besaran intensitas energi yang rendah tersebut tidaklah mudah. Perlu proses yang panjang dan didukung oleh kebijakan pemerintah yang berkesinambungan. Apalagi, dengan kondisi Indonesia yang saat ini memiliki ketergantungan yang besar pada energi fosil (migas) impor maka memerlukan kebijakan yang tepat.
Intensitas energi diharapkan mampu ditekan sekecil mungkin agar beban keuangan negara untuk mengimpor energi fosil tersebut tidak terlalu berat. Oleh sebab itu, pemerintah beserta segenap stake holder bidang energi harus menerapkan kebijakan demand side management yang baik agar efisiensi energi dapat dilakukan lebih intensif lagi.
Secara makro ekonomi dan energi, harus terus secara konsisten dan bertahap berusaha menekan laju penurunan elastisitas hingga kurang dari 1 persen (<1) dan penurunan tingkat intensitas energi sekitar 1 persen per tahun seiring dengan kenaikan PDB.
Masyarakat secara luas pun juga dapat berpastisipasi dalam pencapaian upaya tersebut salah satu caranya dengan perilaku budaya hemat energi. Mengurangi penggunaan listrik yang tidak perlu serta menggunakan peralatan elektronik yang hemat energi.
Variabel terakhir yang menggambarkan efisiensi energi terhadap perekonomian nasional adalah produktivitas energi. Semakin tinggi nilai produktivitas maka tingkat utilitas energinyanya semakin baik dan efisien. PDB dapat diraih setinggi-tinginya tetapi dengan penggunaan energi primer serendah mungkin.
Pada tahun 2014-2017, produkstivitas energi di Indonesia rata-rata berkisar 5,2 dollar AS/ kg oil equivalent. Artinya, untuk menghasilkan PDB senilai 5,4 dollar AS membutuhkan energi primer setara 1 kg oil (minyak).
Nilai produktivitas Indonesia tersebut relatif lumayan jika dibandingkan sejumlah negara di kawasan ASEAN. Produktivitas energi Indonesia lebih baik dibandingkan Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Ke-4 negara kawasan ASEAN itu rata-rata produktivitasnya di bawah kisaran 4 dollar AS/kg oil equivalent. Bahkan, dengan China sekalipun Indonesia lebih efisien karena produktivitas negara Tiongkok itu berkisar 3 dollar AS/kg oil equivalent.
Namun, bila dibandingkan dengan negara yang sudah maju teknologinya seperti Jepang dan Hongkong SAR produktivitas energi Indonesia kalah jauh. Kedua negara itu, rata-rata produktivitasnya sudah lebih dari 10 dollar AS/kg oil equivalent. Kawasan ASEAN yang produktivitasnya tergolong tinggi adalah Filipina dengan nilai rata-rata tahunan mencapai lebih dari 7 dollar AS/kg oil equivalent.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Panel-panel sel surya pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Sengkol, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kamis (29/8/2019). KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Efisiensi dan Inefisiensi
Ketiga variabel yang terdiri dari elastisitas energi, intensitas energi, dan produktivitas energi tersebut sudah sepatutnya harus dikontrol secara baik guna menghasilkan efisiensi energi di Indonesia. Pemerintah harus tepat dalam merencanakan pembangunan ekonomi
Indonesia di masa depan. Skenario penyediaan energi harus dirancang mampu menopang kemajuan ekonomi tersebut depan secara baik. Jangan sampai terjadi ketimpangan penyediaan energi sehingga target pembangunan ekonomi yang diharapkan tidak dapat tercapai, sehingga akan berakibat timbulnya inefisiensi energi.
Pola pembangunan Indonesia harus dirancang serata mungkin di seluruh wilayah nusantara sehingga tidak menimbulkan ketimpangan dalam suplai energi. Daerah yang maju perekonomiannya mendapat suplai berlebihan, tetapi daerah yang minim kemajuan selalu kekurangan pasokan energi.
Kondisi semacam itu harus segera diminimalisir agar suplai energi yang dihadirkan memberikan manfaat bagi kemajuan wilayah sehingga mampu menekan elastisitas dan intensitas energi antardaerah di Indonesia menjadi kian mengecil.
Apabila kedua variabel ini dapat ditekan maka produktivitas energi akan meningkat sehingga mampu memberikan kontribusi bagi PDB sebesar-besarnya dengan output energi yang seefisien mungkin.
Efisiensi energi menjadi kata kunci yang sangat penting dalam membangun perekonomian nasional. Pasalnya, apabila terjadi inefisiensi maka harapan memperoleh kemajuan ekonomi justru akan tersendat.
Energi yang sifatnya sebagai faktor pendorong pertumbuhan justru akan berbalik arah sebagai “musuh” yang menggerogoti kemajuan nasional. Kondisi Indonesia yang saat ini sebagai net importir migas sangat rawan akan mengalami posisi inefisiensi energi. Dengan kata lain, energi justru akan membebani kemajuan perekonomian. (LITBANG KOMPAS)