Secara bertahap, energi fosil akan mulai dikurangi kontribusinya dalam penyediaan energi listrik di Indonesia. Sebagai pengganti, energi baru terbarukan atau EBT akan terus ditingkatkan volume produksinya di Indonesia.
Oleh
Budiawan Sidik A
·6 menit baca
Kompas
Kompetisi Kincir Angin Indonesia 2013, di Pantai Baru, Bantul, Yogyakarta. Sebuah kegiatan yang diharapkan dapat mendorong riset tentang energi terbarukan, terutama di kalangan mahasiswa. Sejauh ini Indonesia masih berfokus pada pemanfaatan sumber daya fosil yang pada batas tertentu akan habis.
Secara bertahap, energi fosil akan mulai dikurangi kontribusinya dalam penyediaan energi listrik di Indonesia. Dalam beberapa tahun ke depan, energi baru terbarukan atau EBT akan terus ditingkatkan volume produksinya sehingga akan memberikan nilai bauran energi nasional yang semakin besar.
Pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), dan sumber pembangkitan EBT lainnya diproyeksikan akan memberikan sumbangan semakin besar terhadap produksi listrik nasional. Energi bersih akan menjadi prioritas utama pengembangan pembangkitan.
Berdasarkan draft Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 dari PLN, pada kurun 2021-2030 akan terjadi peningkatan produksi jumlah pembangkitan listrik hingga 38,2 Giga Watt (GW). Jadi, pada tahun 2030 nanti jumlah pembangkit listrik terpasang direncanakan sudah bertambah menjadi 98,2 GW.
Penambahan produksi listrik ini sebagian besar masih mengandalkan fosil, yakni dari PLTU sekitar 37 persen dari kelompok PLTG sekitar 18 persen. Sisanya baru dialokasikan dari sumber pembangkitan kelompok EBT. Terdiri dari PLTA sekitar 24 persen; PLTP 6 persen, dan sumber pembangkitan aneka EBT lainnya kisaran 12 persen.
Dalam beberapa tahun ke depan, energi baru terbarukan atau EBT akan terus ditingkatkan volume produksinya.
Dari sejumlah pembangkitan EBT tersebut, PLTP merupakan salah satu industri energi yang menjadi prioritas pengembangan. Sebagai negara yang berlimpah potensi energi panas bumi hingga kisaran 28 GW, mendorong industri pembangkitan geothermal ini akan terus diupayakan untuk terus meningkat dari waktu ke waktu.
Jumlah gunung api aktif terbanyak kedua di dunia, hingga sekitar 146 buah, membuat Indonesia bagaikan berada di kumpulan wilayah kepulauan yang kaya energi panas bumi. Kekayaan alam ini apabila berhasil ditambang akan memberikan berkah energi yang luar biasa.
Selain ramah lingkungan, sumber energi panas bumi akan senantiasa ada sepanjang kehidupan di dunia ini. Jadi, berkah alam yang berlimpah ini sebisa mungkin harus dioptimalkan pemanfaatnya.
Produksi energi panas yang berhasil ditambang dengan kisaran sebanyak 2,1 GW pada tahun 2020 relatif masih kecil apabila dibandingkan dengan potensi sesungguhnya yang lebih dari 25 GW.
Oleh sebab itu, pemerintah jangan ragu untuk mengembangkan industri PLTP ini dengan memberikan sejumlah kemudahan bagi investor yang akan mengembangkan industri pembangkitan ini.
Tanpa diberi kemudahan dari pemerintah, pengembangan pembangkitan geotermal itu relatif akan sulit dilakukan karena industri energi ini memiliki risiko yang tinggi serta pembiayaan yang besar.
Harapannya, dengan kian besar produksi listrik dari panas bumi maka bauran energi dari EBT yang ditargetkan pemerintah sebesar 23 persen pada tahun 2025 dan 32 persen pada tahun 2050 dapat semakin didekati.
Apalagi, jika sumber pembakitan EBT lainnya, seperti dari PLTA, PLTS (surya), PLTB (bayu), PLTBm (biomassa), serta EBT lainnya, dapat kian masif ditingkatkan produksinya, target bauran EBT nasional tersebut dapat terealisasikan.
Tentu saja, dengan semakin bertambahnya produksi maka penyediaan energi listrik nasional akan kian besar, sehingga mampu menopang kemajuan ekonomi di masa mendatang.
Kompas/Priyombodo
Peta area potensi lapangan panas bumi di Pulau Jawa dalam Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2019 di Jakarta Convention Center, Jakarta. Asosiasi Panas Bumi Indonesia mencatat bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Amerika Serikat sebagai produsen panas bumi terbesar dengan potensi pengembangan sumber daya energi panas bumi dengan pemanfaatan total kapasitas terpasang sejumlah 1948,5 megawatt.
Selain itu, peningkatan produksi energi dari EBT ini juga dapat memberikan kontribusi bagi pendapatan negara. Misalnya saja, kontribusi SDA panas bumi yang diterima negara dalam bentuk Penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pada tahun 2015-2020, PNBP panas bumi rata-rata per tahun meningkat sekitar 19 persen. Pada tahun 2018, besaran PNPB masih kurang dari 1 miliar dollar AS, tetapi pada tahun 2020 nilainya sudah meningkat lebih dari 1,1 miliar dollar AS.
Capaian PNBP terbesar dari produksi panas bumi terjadi pada 2018 dan 2019 dengan nilai kontribusi kisaran 2 miliar dollar AS. Jadi, dapat diperkirakan, apabila wilayah kerja panas bumi (WKP) semakin banyak dan produksi panas bumi kian melimpah, kontribusi bagi pendapatan negara juga akan terus meningkat.
Hanya saja, untuk meningkatkan produksi panas bumi dan juga meningkatkan sumbangan pendapatan dari SDA tersebut tidaklah mudah. Ada sejumlah kendala yang dihadapi dalam pengembangan sumber energi ini di Indonesia. Indikasinya terlihat dari tren penambahan kapasitas pembangkitan listrik dari panas bumi relatif tidak terlalu besar.
Sepanjang 2015-2020, rata-rata jumlah penambahan kapasitas pembangkitan listrik geothermal ini hanya berkisar 85 MW per tahun. Besaran ini terpaut cukup jauh dengan penambahan kapasitas pembangkit listrik dari sejumlah tenaga fosil.
PLTD setiap tahun rata-rata bertambah sekitar 150 MW; PLTG naik sekitar 139 MW; dan PLTU setiap tahun kapasitas generation-nya ditingkatkan hingga kisaran lebih dari 200 MW.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengembangan energi panas bumi tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun potensinya sangat besar, tampaknya memiliki rintangan yang sangat kompleks.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Pembangkit Listrik Tanaga Panas Bumi (PLTP) Ulubelu milik PT Pertamina Geothermal Energy yang berada Kabuapaten Tanggamus, Lampung. PLTP tersebut merupakan salah satu sumber energi listrik di Lampung.
Bila merunut dari laporan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN), ada sejumlah permasalahan yang menghambat laju pengembangan usaha panas bumi di Indonesia.
Pertama, sebelum tahun 2014 terdapat peraturan UU No 27/2003 tentang Panas Bumi yang salah satu isinya menyatakan bahwa kegiatan pengusahaan panas bumi termasuk kegiatan pertambangan.
Akibatnya, pengembangan pemanfaatan potensi panas bumi mustahil dilaksanakan karena sebagian besar sekitar 80 persen cadangan panas bumi Indonesia terletak di kawasan hutan lindung dan area konservasi.
Aturan demikian sangat menghambat bagi pengembangan usaha panas bumi karena PLTP menjadi terkesan merusak lingkungan dan mengancam kelestarian alam.
Padahal, kenyataannya usaha pembangkitan energi geothermal ini hanya membutuhkan luasan wilayah maksimal kisaran 3 hektar. Berbeda jauh dengan pembangkitan listrik tenaga uap lainnya yang membutuhkan area hingga lebih dari 7 hektar.
Menyadari bahwa kebijakan pemerintah tersebut kontraproduktif terhadap pengembangan energi, UU tentang panas bumi itu direvisi dan diganti dengan UU No 21/2014.
Aturan baru ini memisahkan kegiatan panas bumi dari kegiatan pertambangan lainnya sehingga memberikan jalan bagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi panas bumi di wilayah hutan lindung dan area konservasi.
Kedua, kondisi infrastruktur yang buruk dan WKP yang umumnya berada di daerah terpencil memberikan hambatan fisik yang tidak mudah untuk usaha eksplorasi energi panas ini.
Belum lagi adanya sejumlah tata kelo birokrasi yang belum baik antara pemerintah pusat dan daerah sehingga menimbulkan proses perizinan yang panjang dan mahal.
Belum lagi adanya kemungkinan penolakan dari masyarakat setempat yang khawatir kualitas lingkungannya akan tereduksi dengan adanya kegiatan industri panas bumi. Hambatan birokrasi dan potensi penolakan ini membuat pengusahaan panas bumi kian tidak kompetitif untuk menarik modal dari para investor.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Gas buang keluar dari pipa panas bumi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Dieng yang dikelola PT Geo Dipa Energi di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Potensi panas bumi di Dieng sebagai energi terbarukan sebenarnya sangat besar, yakni mencapai 400 megawatt.
Ketiga, tarif listrik dari produksi PLTP cenderung mahal dan tidak kompetitif dengan pembangkitan jenis lainnya terutama dari energi fosil.
Adanya monopoli distribusi listrik oleh PT PLN yang mewajibkan energi listrik dari produsen independen dijual kepada PLN membuat tarik-ulur pengembangan industri panas bumi menjadi tidak mudah.
Untuk mengurai permasalahan tersebut, pemerintah memberlakukan kebijakan, di antaranya upaya pengembangan panas bumi di wilayah timur Indonesia; penugasan pengerjaan WKP kepada BUMN (mandatori); dan penyederhanaan perizinan.
Pemerintah juga melakukan kebijakan penugasan untuk survei pendahuluan dan eksplorasi serta membentuk geothermal fund dan government drilling. Upaya demikian diharapkan dapat mendorong pengembangan energi panas bumi menjadi lebih akseleratif lagi.
Semoga saja akan semakin banyak investor terutama dari kelompok swasta yang tertarik untuk mengembangkan PLTP di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)