Setengah Fiksi Pemilu: Pangeran-pangeran untuk Istana 2024
Bursa kandidat calon presiden di 2024 mulai ramai diperbincangkan. Dinamika politik tetap akan menjadi penentu konfigurasi pasangan calon presiden dan wakil presiden jelang pemilihan presiden.
Di tengah rendahnya elektabilitas calon-calon penantang baru untuk Pemilu 2024, sejumlah ”pangeran” tampaknya sedang berada dalam lintasan untuk menjadi putra mahkota. Beberapa peristiwa penting menandai pergerakan bidak menuju posisi terbaik. Jika hari ini gelanggang pertarungan tampak lengang, itu bisa berarti akan ada kejutan di akhir babak.
Sore itu suasana di kantor Litbang Kompas tampak sepi. Usai hujan yang tiba-tiba turun dengan derasnya, angin dingin berembus dari balik jendela yang dibiarkan terbuka.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Masa pandemi memang membuat sebagian peneliti bekerja di rumah. Hanya beberapa peneliti yang bekerja di kantor. Meski hanya beberapa gelintir orang, selalu ada topik obrolan yang dapat menghangatkan suasana.
Tanya: ”Apa peristiwa politik paling penting sepanjang enam bulan terakhir?”
Jawab: ”Pengangkatan Sandiaga Uno menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.”
Tanya: ”Lho, mengapa?”
Jawab: ”Karena, dengan begitu, peluang Anies untuk mencalonkan dan menang di Pemilu 2024 akan berkurang.”
Baca juga : Peluang Anak Presiden Menjadi Presiden
Sandiaga Uno
Pada tanggal 22 Desember 2020, Presiden Joko Widodo melakukan perombakan kabinet dan mengumumkan nama Sandiaga Uno untuk menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, menggantikan Wishnutama.
Terlepas dari kemampuan Sandiaga Uno untuk dapat mengembangkan pariwisata dan ekonomi kreatif di masa pandemi, jelas langkah ini lebih bernilai strategis yang berimplikasi langsung pada Pemilu 2024.
Bidang pariwisata paling sulit untuk dikembangkan pada masa pandemi saat ini karena sejumlah pembatasan dan regulasi ketat yang dilakukan oleh hampir semua negara untuk membatasi penduduk bepergian.
Menempatkan Sandiaga di bidang ini di satu sisi memisahkannya dengan kepentingan politik oposisi, tetapi di sisi lain menguji ketokohannya di kancah yang sulit. Kepiawaiannya dalam memainkan peran sebagai menteri, independensinya sebagai tokoh yang berada dalam kontinum dua sisi, akan sangat menentukan nasib karier politiknya.
Tanya: ”Mengapa langkah Presiden menempatkan Sandiaga ke dalam pemerintahannya sebagai langkah yang sangat strategis?”
Jawab: ”Karena dua hal, yaitu kekuatan Anies Baswedan dan masih lemahnya popularitas kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).”
Dalam konstelasi politik, walaupun popularitas Anies untuk terpilih sebagai presiden hampir selalu diposisikan di urutan nomor dua, peluangnya terpilih dapat melebihi figur urutan pertama.
Prabowo Subianto yang kerap diposisikan di urutan pertama pemenang sangat mungkin terkalahkan oleh Anies jika waktu pertarungan masih cukup panjang. Jalinan dan proses politik yang dimainkan Anies membuat popularitasnya harus dikalkulasikan dua-tiga kali lipat. Ada faktor pilihan terikat selain pilihan bebas yang dapat membuat suara untuk Anies menjadi ”bubble” (gelembung).
Ramuan dari tiga kekuatan Anies, yakni PKS, Sandiaga Uno, dan isu krusial agama, berperan besar dalam kemenangan Anies-Sandiaga pada Pilkada DKI 2017.
Pasangan itu menang di putaran kedua dengan persentase 57,96 persen suara, mengalahkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat yang memperoleh 42,04 persen suara.
Padahal, dalam prediksi-prediksi awal survei, pasangan Anies-Sandiaga kerap diposisikan di urutan ketiga setelah Ahok-Djarot dan Agus Harimurti-Sylviana Murni.
Sandiaga memiliki portofolio yang cukup kuat untuk digandeng terjun ke dunia politik yang lebih luas. Selain daya pikat pada paras dan penampilannya, ia juga dikisahkan sebagai seorang pengusaha sukses yang membangun usahanya dari bawah.
PT Saratoga Investama Sedaya Tbk yang didirikannya bersama Edwin Soeryadjaya pada tahun 1997 menjadi perusahaan yang menggurita, menjadikan Sandiaga salah satu orang terkaya di Indonesia. Pada 2009 Sandi berada di peringkat ke-29 dari daftar 40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes, dengan kekayaan 400 juta dollar AS.
Baca juga : Ke Mana Pemilih Jokowi dan Prabowo Berlabuh?
Berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pada 13 Agustus 2018, saat hendak maju menjadi calon wakil presiden Republik Indonesia di Pilpres 2019, total harta kekayaan Sandiaga mencapai lebih dari Rp 5 triliun.
Selain itu, Sandiaga juga memiliki basis demografis suara yang potensial di wilayah Sumatera, khususnya Riau, tempat kelahirannya. Kekuatan itu terbukti dalam Pemilu 2019, ketika ia digandeng menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Pasangan tersebut memperoleh 61 persen suara, mengungguli pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang hanya memperoleh 39 persen. Dalam pemilu sebelumnya (2014), Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa hanya unggul tipis dengan perolehan 50,12 persen di Riau.
Sandiaga juga tokoh yang berpengaruh di Partai Gerindra. Posisinya sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra yang sempat ditinggalkannya menjelang pemilu lalu kini kembali diembannya.
Dengan memegang dua tokoh penting dalam Gerindra, yaitu Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dalam pemerintahan Jokowi, arah koalisi ke depan sangat mungkin menyekat peluang Anies.
Menyekat peluang, sembari mendongkrak popularitas tokoh-tokoh alternatif, menjadi jalan yang logis diambil oleh Jokowi dan partai penguasa. Terlebih, hingga saat ini, belum ada tokoh di dalam tubuh PDI-P yang dapat mengungguli popularitas Anies secara signifikan.
Dalam survei Litbang Kompas terakhir (April 2021), popularitas tokoh dari unsur PDI-P untuk terpilih masih berada di urutan keempat dari semua tokoh yang dirujuk secara bebas, yaitu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Baca juga : Politik Tikungan Terakhir Anies Baswedan
Urutan pertama disebut masih dipegang oleh Joko Widodo (24 persen), kedua Prabowo Subianto (16,4 persen), ketiga Anies Baswedan (10 persen), dan keempat Ganjar Pranowo (7,3 persen). Calon-calon lain dari PDI-P seperti Ridwan Kamil hanya dipilih oleh 3,4 persen dan Tri Rismaharini (Risma) 2,4 persen.
Di tengah kancah yang masih sangat cair dan terbuka, bukan tidak mungkin, Sandiaga yang memiliki portofolio bisnis dan politik cukup kuat akan turut mengambil bagian dalam kontestasi 2024. Terlebih kalau Prabowo tidak lagi mencalonkan diri, besar peluang tiket pencalonan akan jatuh kepadanya.
Jika Sandiaga berkoalisi dengan partai di bawah naungan PDI-P, besar kemungkinan posisinya akan ditempatkan sebagai wakil calon dari PDI-P. Kemungkinan berpasangan dengan Ganjar cukup besar.
Tanya: ”Lalu, apa peristiwa penting berikutnya yang punya implikasi pada Pemilu 2024?”
Jawab: ”Pertama, ditetapkannya Erick Thohir sebagai Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah. Kedua, dilantiknya Nadiem Anwar Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ketiga, ditolaknya pengesahan kepengurusan Partai Demokrat versi kongres luar biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara, oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dan, keempat, tidak diundangnya Ganjar Pranowo pada acara temu kader PDI Perjuangan Jawa Tengah oleh Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani.”
Erick Thohir
Erick Thohir, lahir di Jakarta, 30 Mei 1970, adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Oktober 2019. Sebelumnya, sejumlah tugas khusus di pemerintahan Jokowi juga telah dilimpahkan kepadanya.
Sejak 27 Januari 2021, Erick juga mendapat tambahan tugas baru sebagai Dewan Pengawas Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Pada Agustus 2020, Erick menempati posisi sebagai Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Sebelumnya, sejak 20 Juli 2020, dia juga telah menempati posisi sebagai kepala tim pelaksana dalam komite tersebut yang membawahkan Satgas Covid-19 dan Satgas PEN. Dengan posisinya yang sangat penting di masa-masa awal pandemi, figurnya cukup menjadi pusat perhatian.
Erick Thohir yang ditunjuk menjadi Ketua Tim Pemenangan Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 adalah seorang pengusaha pendiri Mahaka Group, perusahaan di bidang bisnis media dan entertainment.
Unit-unit usaha Mahaka meliputi radio (Gen FM, Jak FM, Mustang FM, Kis FM, Hot FM, dan Most FM), televisi (Jak TV, TV One, Antv), periklanan (Mahaka Advertising), media cetak (harian Republika), dan berbagai perusahaan lainnya yang bergerak di bisnis olahraga dan hiburan.
Ia mengakuisisi klub sepak bola Inter Milan pada 2013 dan memiliki klub sepak bola Amerika, DC United, dan juga pernah sebagai pemilik klub bola basket NBA, Philadelphia 76ers.
Erick Thohir adalah putra dari Teddy Thohir, seorang pengusaha yang ikut membesarkan Astra International. Ayahnya berdarah Lampung, sedangkan ibunya berdarah Tionghoa asal Majalengka, Jawa Barat.
Pada 23 Januari 2021, Erick ditetapkan sebagai Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah periode 2021-2024. Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) merupakan organisasi nirlaba yang bertujuan untuk mengembangkan dan mempercepat penerapan sistem ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Erick dipilih dalam Musyawarah Nasional Masyarakat Ekonomi Syariah yang tim formaturnya diketuai oleh Ma’ruf Amin, Wakil Presiden RI.
Penunjukan ini menambah portofolio Erick dalam berhubungan dengan jejaring Islam, modal yang sangat penting untuk menghadapi pemilu di Indonesia. Dan, sangat mungkin juga menjadi modal dalam mengimbangi beberapa citra bisnisnya yang bernuansa global serta aspek herediter yang sempat diwacanakan.
Meskipun di masyarakat umum nama Erick Thohir belum diperhitungkan sebagai tokoh yang layak dicalonkan menjadi presiden, peluang menuju kontestasi pilpres sangat mungkin akan diperhitungkan, setidaknya sebagai calon wakil presiden.
Agus Harimurti Yudhoyono
Nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sempat melambung ketika dicalonkan sebagai kandidat gubernur DKI, melawan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sayangnya, ia yang berpasangan dengan Sylviana Murni kalah di putaran pertama Pilkada 2017 dengan perolehan hanya 17,06 persen.
Setelah pilkada, namanya tenggelam. Sempat disebut-sebut sebagai calon pendamping Prabowo Subianto pada Pemilu 2019, tetapi namanya tersingkir oleh tampilnya Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden.
Partai Demokrat yang sejak 15 Maret 2020 dipimpin AHY pun berangsur surut, dari partai papan atas dengan perolehan suara 20,4 persen pada Pemilu 2009 menjadi papan menengah. Pada Pemilu 2014 perolehannya hanya separuh dari sebelumnya, 10,19 persen, dan pada Pemilu 2019 kembali turun menjadi 7,77 persen.
Meski demikian, nama AHY tetap pantas untuk diperhitungkan. Dalam sejumlah survei, namanya tetap muncul meskipun elektabilitasnya berada di jajaran menengah. Dalam survei Litbang Kompas, Januari 2021, namanya disebut oleh 2,2 persen responden dan pada bulan April 3,3 persen.
Ia berada dalam kisaran nama-nama yang selevel dengan Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Basuki Tjahaja Purnama, dan Tri Rismaharini. Memang sejauh ini sulit masuk ke jajaran calon presiden, tetapi memiliki peluang untuk bersaing mendapatkan tiket calon wakil presiden, tergantung bagaimana ia memainkan panggung politik.
Panggung politik itu menjadi terbuka lebih lebar, justru ketika terjadi pergerakan konflik di tubuh partainya. Panggung politik baru dapat memberinya peluang lebih luas dibanding sebelumnya walaupun yang mengemuka berupa isu perpecahan.
Adalah kabar bahwa Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengadakan pertemuan dengan sejumlah kader Demokrat di Hotel Aston Rasuna, Jakarta, 27 Januari 2021, yang membuat AHY bereaksi keras.
Pada 1 Februari 2021, AHY mengungkapkan ada upaya kudeta partai oleh pihak di lingkaran dalam kekuasaan. DPP Demokrat pun memecat tujuh kader senior yang diduga ikut merencanakan kudeta tersebut pada 26 Februari, yaitu mantan Sekjen Partai Demokrat Marzuki Alie, Darmizal, Yus Sudarso, Tri Yulianto, Jhoni Allen Marbun, Syofwatillah Mohzaib, dan Ahmad Yahya.
Meskipun menyanggah akan melakukan kudeta, kongres luar biasa (KLB) yang diadakan kubu Moeldoko di Deli Serdang, Sumatera Utara, pada 5 Maret 2021 kemudian menunjuk Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB.
Namun, kudeta kepengurusan Partai Demokrat kemudian kandas setelah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menolak mengesahkan kepengurusan Partai Demokrat versi KLB. Syarat administratif diselenggarakannya KLB, di antaranya dihadiri dua pertiga perwakilan DPD serta separuh DPC serta adanya mandat dari ketua DPD dan DPC, tidak berhasil dipenuhi oleh kubu Moeldoko.
Kandasnya upaya Moeldoko dan temen-temannya menjadi kurang penting secara politik dibandingkan efek yang ditimbulkannya kepada AHY. Kekisruhan ini menjadikan AHY figur sentral pemberitaan politik.
Namun, sesungguhnya, lewat panggung ini sejumlah parameter politik sedang diuji. Kemampuan intelektual AHY, kepiawaiannya menyelesaikan konflik, dan soliditas partainya menjadi catatan untuk menimbang kadar AHY dalam pemilu mendatang.
Kecamuk di tubuh Partai Demokrat juga menempatkan pemerintah sebagai lembaga politik yang mendapat apresiasi tinggi karena menunjukkan netralitasnya di mata publik. Meski demikian, kemenangan AHY bisa dipandang dari dua sisi.
Pertama, pemerintah kali ini gagal mengakuisisi partai lain ke dalam hegemoni kekuasaannya. Kedua, atau sebaliknya, pemerintah berhasil menjadikan Demokrat dengan segala legalitasnya sebagai mitra.
Munculnya macan baru akan menurunkan posisi tawar macan-macan lainnya di satu kandang, tetapi memperbesar kekuatan pengasuhnya. AHY pantas menjadi ”pangeran” yang diperhitungkan untuk bersaing menuju istana pada 2024 karena sejumlah berkah dan capaian yang telah dimilikinya.
Ia adalah anak dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat selama dua periode serta cucu dari Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, tentara yang cukup dihormati di kalangan militer karena menjadi tokoh kunci dalam pemberantasan G30S.
Sejumlah prestasi telah ia raih sejak masa remaja. Lulus dari SMA Taruna Nusantara, Magelang, tahun 1997, AHY mendapat penghargaan Garuda Trisakti Tarunatama Emas, predikat sebagai lulusan terbaik.
Di Akademi Militer (Akmil), ia lulus pada tahun 2000 dengan predikat terbaik dan meraih Bintang Adi Makayasa. Selain militer, AHY juga memiliki tiga gelar pendidikan pascasarjana: Master of Science in Strategic Studies di Universitas Teknologi Nanyang, Singapura, pada tahun 2006, Master in Public Administration dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, pada tahun 2010, serta Master of Arts in Leadership and Management dari Webster University Amerika Serikat dengan meraih predikat summa cum laude pada tahun 2015 dengan IPK 4.0.
AHY juga lulus pendidikan di sekolah Command and General Staff College (CGSC) di Amerika Serikat dengan predikat summa cum laude. Jabatan terakhir AHY di kemiliteran adalah sebagai Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203 Arya Kamuning, salah satu pasukan elite pengaman ibu kota negara, dengan pangkat mayor. Karier militernya terhenti ketika ia mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta.
Di Partai Demokrat, AHY mulai memegang posisi penting ketika pada 17 Februari 2018 dikukuhkan sebagai Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) untuk Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Ia menjadi juru kampanye dan mengonsolidasikan kader-kader di daerah guna memenangkan calon yang diusung Partai Demokrat pada Pilkada 2018. Pada Oktober 2019, AHY ditunjuk sebagai Wakil Ketua Umum Partai Demokrat dan pada 15 Maret 2020 terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Partai Demokrat periode 2020-2025, menggantikan SBY.
Sebagai ketua umum partai dengan raihan suara partai 7,77 persen, AHY dan Partai Demokrat akan cukup diperhitungkan untuk dipinang sebagai mitra koalisi. Terlebih, kemenangannya atas kubu KLB makin menaikkan pamornya di kancah pemanasan menuju 2024. Posisi tawarnya yang mulai menanjak tampaknya tak ia sia-siakan.
Pada 6 Mei 2021, misalnya, AHY melakukan pertemuan di Balai Kota DKI Jakarta. Pertemuan AHY dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tentu memiliki implikasi politik ke depan dan menaikkan posisi tawarnya di mata kubu lawan Anies.
”Mas Menteri” Nadiem Makarim
Nadiem Anwar Makarim, yang sebelumnya menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dilantik menjadi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi oleh Presiden Joko Widodo pada 28 April 2021. Sosok pendiri Gojek yang akrab dipanggil ”Mas Menteri” ini pun kini memiliki peran yang lebih luas di ranah birokrasi yang penuh tantangan.
Selain memikirkan dan menerapkan kebijakan pendidikan yang tepat, Nadiem harus mendorong kreativitas dalam pengembangan riset dan teknologi. Di bidang pendidikan saja, masalah sudah demikian ruwet dengan gonta-ganti kebijakan. Selain guru, murid paling merasakan sulitnya beradaptasi dengan perubahan-peruhanan yang terjadi.
Komunitas pendidikan mencakup kelompok aspirasi yang besar. Guru di seluruh Indonesia, menurut data statistik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berjumlah 2.698.103 orang pada tahun 2000. Belum lagi siswanya yang berjumlah 45.534.371 orang. Meskipun dalam jalur birokrasi, nyatanya guru memiliki aspirasi politik yang tak mudah dikendalikan.
Terbukti, mayoritas guru (61,7 persen) tidak memilih Jokowi pada Pemilu 2019 berdasarkan hasil survei pasca-pencoblosan Pemilu 2019 oleh Litbang Kompas. Padahal, suara guru sebagai panutan masyarakat cukup berpengaruh pada lingkungan sekitarnya, terlebih di wilayah-wilayah perdesaan.
Sama halnya dengan guru, siswa juga merupakan entitas yang tidak selalu linear dengan aspirasi politik penguasa. Dalam pemilu lalu hanya 53,5 persen yang memilih Jokowi berdasarkan survei yang sama. Dengan kata lain, dunia pendidikan saat ini bukan arena yang mudah untuk membentuk capaian politik.
Meski demikian, Nadiem Makarim terbilang cukup berani membuat gebrakan di awal kerjanya sebagai menteri. Konsep ”Merdeka Belajar” merupakan visi besar yang coba diterapkannya di bidang pendidikan.
Ia membayangkan sebuah nuansa pembelajaran yang lebih nyaman karena murid dapat berdiskusi lebih banyak dengan guru, belajar di ruang terbuka. Tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi lebih membentuk karakter peserta didik yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, sopan, berkompetensi, dan tidak hanya mengandalkan sistem ranking.
Sebagai perwujudan dari konsep tersebut, ia menerapkan kebijakan agar pelaksanaan USBN tahun 2020 dikembalikan ke pihak sekolah dan pada tahun 2021 menghapus sistem UN yang diganti dengan sistem baru, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Nadiem Makarim terbilang cukup berani membuat gebrakan di awal kerjanya sebagai menteri. Konsep ”Merdeka Belajar” merupakan visi besar yang coba diterapkannya di bidang pendidikan.
Selain itu, ia juga melakukan penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Melalui penyederhanaan administrasi, diharapkan waktu guru yang tersita banyak dalam pelaporan RPP dapat dialihkan untuk kegiatan belajar dan peningkatan kompetensi.
Ia juga menekankan agar dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), sistem zonasi diperluas dan kesempatan yang lebih banyak bagi peserta didik yang melalui jalur afirmasi dan prestasi.
Meskipun sampai sejauh ini kemampuan Nadiem dalam mengelola kementerian pendidikan masih kerap dipertanyakan, tetapi membaca jejak kesuksesannya mengembangkan Gojek bukan tidak mungkin prestasi akan kembali diraihnya. Terlebih, modal herediter yang mengalir di tubuhnya mencerminkan daya juang yang cukup kuat.
Nadiem Makarim lahir di Singapura pada 4 Juli 1984 dari pasangan Nono Anwar Makarim dan Atika Algadrie. Nono adalah doktor lulusan Harvard University, Amerika Serikat, yang kemudian menjadi pengacara terkenal. Ia lahir di Pekalongan, dari ayah keturunan Minangkabau dan ibu keturunan Arab. Ayah Nono, Anwar Makarim, adalah notaris ternama.
Atika Algadrie, ibu Nadiem Makarim, berasal dari Pasuruan, Jawa Timur. Atika merupakan anak dari seorang pejuang perintis kemerdekaan Indonesia, Hamid Algadri, yang pada zaman kolonial menjadi salah seorang yang berjasa dalam Perundingan Linggarjati, Perundingan Renville, dan Konferensi Meja Bundar. Hamid Algadri juga menjadi anggota parlemen pada masa awal berdirinya negara Republik Indonesia.
Nadiem Makarim menempuh pendidikan menengah atas di United World College of Southeast Asia di Singapura. Pendidikan S-1 ia tamatkan dari Jurusan Hubungan Internasional di Brown University, Amerika Serikat. Nadiem kemudian melanjutkan S-2 di Harvard Business School, Amerika Serikat, Jurusan Administrasi Bisnis.
Pada tahun 2011 ia menjadi Co-Founder dan Managing Director Zalora Indonesia selama satu tahun. Pada tahun yang sama, ia mendirikan perusahaan ojek daring bernama Gojek.
Perusahaan jasa angkutan orang itu berkembang pesat sehingga pada tahun 2017 namanya masuk dalam majalah Forbes sebagai the rising star. Saat ini perusahaan Gojek telah menjadi decacorn, dengan nilai valuasi mencapai lebih dari 10 miliar dollar AS.
Menjelang Pemilu 2019, nama Nadiem mulai disebut-sebut sebagai tokoh muda sukses yang potensial ditarik ke dunia politik. Pada tahun 2019, Nadiem Makarim pun ditunjuk menjadi Mendikbud oleh Presiden Joko Widodo. Kemudian, ketika pada April 2021 Presiden melakukan penggabungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Riset dan Teknologi, Nadiem menjadi menterinya.
Dalam waktu tiga tahun yang tersisa, Nadiem harus bisa membuktikan bahwa konsep besar Merdeka Belajar akan meningkatkan kualitas lulusan sekolah. Sebuah pekerjaan yang tak mudah dengan termin waktu yang singkat.
Meskipun berada dalam kancah yang sepi dari sorak-sorai, sosok Nadiem tetap menarik untuk masuk ke dalam jajaran pangeran istana. Selain modal material dan inovatif yang melekat pada sosoknya, sebetulnya, ia memiliki modal sosial yang besar. Pasukan Gojek yang menggurita.
Ganjar Pranowo
Sejak hari Minggu, 23 Mei 2021, media daring dan media sosial diramaikan oleh berita tidak diundangnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam acara penguatan soliditas kader di Kantor DPD PDI Perjuangan, Jawa Tengah, Sabtu (22/5/2021).
Bahkan, rundown acara yang mengundang seluruh jajaran DPD dan DPC PDI-P Jawa Tengah itu pun beredar, bertemakan arahan Puan Maharani kepada struktur partai dan inspeksi rangkaian penutup HUT partai. Anehnya, ada penekanan khusus di dalam susunan daftar undangan tersebut, yaitu kata ”kecuali gubernur”. Gubernur ini tentu saja merujuk pada Ganjar Pranowo.
Saat memberi pengarahan kepada para kader di Panti Marhaen, Sabtu, Puan Maharani mengatakan, ”Pemimpin itu, menurut saya, ke depan (yakni) yang memang ada di lapangan, bukan hanya di sosmed (media sosial). Pemimpin yang memang dilihat sama teman-temannya, sama orang-orangnya, yang mendukungnya di lapangan. Medsos dan media perlu, tetapi bukan itu saja, memang nyata kerjanya di lapangan,” ujar Puan (Kompas.id, 23/5/2021).
Baca juga : Ganjar Pranowo Warisi Efek ”Jokowi”?
Sementara itu, Ketua DPP PDI-P Bidang Pemenangan Pemilu Bambang Wuryanto memberi penjelasan tidak diundangnya Ganjar dalam acara tersebut. ”Tidak diundang! (Ganjar) wis kemajon (kelewatan). Yen kowe pinter, ojo keminter (Kalau kamu pintar, jangan sok merasa pintar),” katanya kepada wartawan seusai acara pembukaan Pameran Foto Esai Marhaen dan Foto Bangunan Cagar Budaya di Kantor DPD PDI-P Jawa Tengah, Panti Marhen, Semarang, Sabtu (22/5/2021) malam (Kompas.com, 23/5/2021).
Peristiwa tidak diundangnya Ganjar pada acara tersebut bisa dibaca pada level permukaan dan level sebaliknya. Di permukaan, yang terlihat adalah adanya perpecahan di tubuh PDI-P, berupa rivalitas antara Ganjar dan Puan. Ganjar sedang diingatkan! Ganjar tidak patuh pada garis komando partai! Dan sebagainya.
Namun, politik permukaan tidak selalu menunjukkan substansi sesungguhnya jika itu berkait dengan kontestasi kekuasaan. Politik kontestasi kekuasaan melibatkan banyak variabel yang harus dibaca dalam konteks yang lebih luas. Terkadang, melibatkan konstelasi samar di kancah yang ingar-bingar.
Dalam kacamata yang demikian, peristiwa Ganjar harus dimaknai dalam dimensi yang lebih luas, yaitu peta politik demografis pemilih. Sejauh ini, nyaris tidak ada kader PDI-P yang sangat menonjol ketokohannya untuk dicalonkan menjadi presiden pada Pemilu 2024, terlebih jika dibandingkan dengan popularitas Jokowi saat ini.
Bahkan, jika dibandingkan dengan mantan calon presiden Prabowo Subianto pun popularitas tokoh-tokoh PDI-P masih kalah jauh. Meski demikian, saat ini hanya nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang lebih menonjol di antara kader PDI-P yang lainnya. Dalam sejumlah survei, namanya kerap mengimbangi popularitas Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang diprediksi akan maju dalam pemilu mendatang.
Baca juga : Ganjar Pranowo Akui Tak Diundang pada Acara PDI-P di Semarang
Sayangnya, Ganjar memiliki sejumlah kelemahan, terutama dalam peta demografis pemilihnya. Keberagaman pemilih, seperti yang dimiliki Jokowi, belum terlihat kuat pada figur Ganjar.
Citranya lebih lekat pada kepemimpinan lokal Jawa Tengah, etnis Jawa, kalangan Islam NU, serta PDI-P. Ganjar perlu keluar kandang untuk menjadi penantang yang tangguh. Dalam konteks ini, peristiwa Ganjar dapat dimaklumi sebagai upaya menguji sekaligus menarik Ganjar ke dalam kancah yang lebih luas.
Tidak diundangnya Ganjar juga bisa berarti sebuah upaya pemetaan terhadap kekuatannya. Pertama, tanpa PDI-P, mampukah Ganjar menarik dukungan dari simpatisan partai lain? Kedua, seberapa piawai Ganjar mengelola konflik partai yang tampak di permukaan? Ketiga, apakah dukungan terhadap Ganjar makin mengkristal ataukah luntur setelah peristiwa tersebut?
Meskipun sejauh ini Ganjar lebih berpeluang menjadi putra mahkota, tampaknya kualitas kepemimpinan dan pamornya harus diuji, disapih dari bayang-bayang Jokowi.
Bincang sore itu pun ditutup dengan sebuah kesimpulan tentang realitas politik yang menjadikan pasangan tertentu akan memiliki kans paling besar untuk kursi istana 2024. (LITBANG KOMPAS)