Peluang Anak Presiden Menjadi Presiden
Tidak semua turunan presiden populer di masyarakat. Apabila survei opini publik yang dijadikan rujukan popularitas, hanya Agus Yudhoyono, Puan Maharani, dan Gibran Rakabuming Raka yang mulai dikenali.
Keberhasilan para keturunan presiden menguasai kembali kursi kepresidenan jamak terjadi di banyak negara. Pengalaman yang sama juga terjadi di negeri ini pada turunan Presiden Soekarno. Dalam pemilu mendatang, apakah kultur politik semacam itu kembali berulang?
Reproduksi kekuasaan melalui pertalian darah tidak hanya identik dalam kultur kekuasaan tradisional saja. Dalam corak politik negara yang dikatakan paling demokratis pun, kelanjutan penguasaan tampuk kekuasaan kepresiden kepada generasi turunan terjadi melalui mekanisme pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Di Amerika Serikat, Presiden ke-41 (1989-1993) George HW Bush memiliki putra, George Walker Bush, yang juga menjadi presiden. Putranya itu berhasil dinobatkan menjadi presiden ke-43 dan mampu menjabat dua periode masa kepresidenan (2001-2009).
Terlebih, pada negara dengan kultur patronase politik yang kuat. Kekuatan simbolik leluhur yang diturunkan pada penerus trahnya itu kerap digunakan sebagai modal penguasaan kontestasi politik. Pengalaman di negara jiran Filipina, misalnya, kerap berlangsung pada setiap jenis pemilu.
Hasilnya, sosok Gloria Macapagal-Arroyo berhasil menjadi Presiden ke-14 Filipina (2001-2010). Sebelum menjadi presiden, ia sempat pula menjadi wakil presiden (1998-2001). Ia putri Presiden Filipina Diasdado Macapagal (1961-1965).
Apa yang terjadi pada klan Macapagal di Filipina agak mirip dengan keberhasilan keluarga Soekarno di negeri ini. Tampilnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden ke-5 (2001-2004), setelah sebelumnya menjadi wakil presiden (1999-2001), meneruskan prestasi spektakuler ayahnya, Presiden Soekarno (1945-1967). Megawati dengan PDI Perjuangan yang dibangunnya mampu menjadi pemenang Pemilu 1999, menguasai suara 33,7 persen pemilih.
Keberhasilan para keturunan presiden memenangi pemilu tentu tidak lepas dari modal simbolik turunan. Modal simbolik Bush senior, Macapagal, ataupun Soekarno bernilai politik tinggi dan terwarisi dengan baik.
Para keturunannya, dengan berbekal warisan simbolik tersebut, dan selanjutnya didukung oleh berbagai kelengkapan kapital lainnya, seperti jaringan sosial, kekuatan ekonomi, ataupun kepiawaian yang dimiliki mampu mengalahkan para pesaing politik.
Persoalannya, bagaimana dalam ajang Pemilu 2024 mendatang? Apakah modal simbolik yang terwariskan itu masih punya kekuatan yang signifikan dalam menarik simpati para pemilih?
Apabila faktor keturunan presiden di negeri ini dijadikan sebagai pijakan kajian, maka keturunan Presiden Soekarno, khususnya generasi setelah Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono, dan juga Joko Widodo, yang dapat dikaji peluang keberhasilannya. Kendati, tidak semua dari seluruh keturunan presiden di negeri ini berorientasi pada kekuasaan kepresidenan.
Dari keluarga Presiden Soekarno dan Megawati Soekarnoputri, nama Puan Maharani yang kini menjabat sebagai Ketua DPR cukup menarik untuk dicermati. Begitu pula sepak terjang putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono.
Selain kedua sosok tersebut, terdapat memang, sosok putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Meskipun tergolong pendatang baru dalam politik, Gibran yang baru saja sukses memenangi pilkada wali kota Surakarta itu patut dicermati pula kiprah politiknya.
Selain ketiga sosok di atas, nama putri Presiden KH Abdurrahman Wahid, Zannuba Ariffah Chafsoh, atau lebih dikenal Yenny Wahid, juga menarik dicermati. Ia termasuk sosok politisi dan aktivis Islam yang menonjol di negeri ini. Pernah pula Yenny menjabat sebagai Sekjen PKB (2005-2010) dan punya bermacam prestasi dalam posisi sebagai aktivis sosial.
Pada suatu masa, Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Presiden Soeharto, juga sempat tampil dalam panggung politik. Setelah tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto, ia merintis karier politik dalam Partai Golkar. Sempat menjabat sebagai anggota Dewan Pembina Partai Golkar.
Lepas dari Golkar, mendirikan Partai Berkarya (2016) yang dipersiapkan menjadi kendaraan politik dalam Pemilu 2019. Sempat pula berhasrat ikut pencalonan presiden 2019 lalu, namun selanjutnya redup. Kiprahnya dalam panggung politik kini jarang terdengar.
Dari sejumlah mantan presiden, praktis keturunan Presiden BJ Habibie yang tidak tampak dalam panggung politik. Putra sulungnya, Ilham Akbar Habibie, banyak berkiprah dalam dunia usaha. Sampai sejauh ini, ia lebih banyak mewarisi kiprah ayahnya dalam dunia pengembangan pesawat terbang ketimbang perpolitikan.
Apabila survei opini publik yang dijadikan rujukan, nyatanya tidak semua turunan presiden populer bagi masyarakat. Dari semua tokoh di atas, hanya Agus Yudhoyono, Puan Maharani, dan survei terakhir muncul sosok Gibran Rakabuming Raka yang mulai dikenali. Di samping kurang populer, ketiga sosok itu pun belum banyak dijadikan rujukan sebagai calon presiden pada pemilu mendatang.
Hasil survei secara berkala menunjukkan, hanya Agus Yudhoyono yang saat ini memiliki posisi keterpilihan agak signifikan. Survei terakhir menunjukkan, setidaknya 3 persen responden menyatakan akan memilih Agus Yudhoyono sebagai presiden.
Puan Maharani masih belum tampak riil dukungannya. Ia masuk dalam lapis bawah, dengan proporsi keterpilihan di bawah 1 persen. Bahkan, kadang, dalam beberapa hasil survei, tidak muncul sebagai rujukan bagi masyarakat. Dari segenap capaian mereka, dengan mempertimbangkan margin of error survei, dapat disimpulkan keterpilihan mereka masih di bawah 5 persen.
Dengan proporsi keterpilihan sebesar itu, peluang mereka bersaing dengan sosok calon presiden papan atas survei terbilang kecil. Terlebih, berdasarkan pencermatan berkala survei, tidak tampak tren preferensi positif dari para turunan presiden tersebut.
Dengan performa semacam itu, jika tidak terjadi suatu perubahan radikal di masa mendatang, dapat simpulkan pula bahwa status sebagai keturunan presiden terbilang kurang manjur sebagai daya tarik pemilih dalam pemilu mendatang.
Tentu saja, mencermati seberapa efektifnya faktor keturunan sebagai modal penarik dukungan politik akan selalu berkait dengan kualitas kekuatan simbolik yang diturunkan oleh para presiden. Bagaimanapun, kualitas dari modal simbolik Soekarno, Soeharto, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono berbeda-beda.
Penerimaan masyarakat yang terkonstruksikan dalam imaji mereka bervariasi. Terkadang, lantaran selama kepemimpinan presiden dirasakan kurang memberikan kontribusi yang melekat dalam benak masyarakat, maka kualitas modal simbolik yang diturunkan pun kurang bermakna.
Sebaliknya, jika ketokohan yang ditampilkan selama masa kekuasaannya berkualitas, dengan mudah pula diturunkan sebagai modal simbolik yang kuat. Tidak jarang pula, tingginya modal simbolik yang diturunkan terwujud dalam format pengultusan tokoh.
Selain kualitas simbolik yang diturunkan, kualitas para penerusnya pun menjadi penentu. Bagaimanapun, dalam kultur politik rasional, mekanisme pengalkulasian terhadap kemampuan sosok dominan berlangsung, yang kadangkala menepikan berbagai pertimbangan latar keturunan. Artinya, justru kualitas dari Agus Yudhoyono atau Puan Maharani yang ditunjukkan selama ini menjadi pertimbangan publik.
Dengan demikian, fakta masih kecilnya preferensi publik kepada para tokoh turunan presiden tersebut tidak semata disebabkan pertimbangan kualitas modal simbolik yang diturunkan, tetapi berkait pula dengan performa para turunan presiden dalam benak masyarakat.
Namun, sekalipun tampak kecil, tidak berarti pupus sudah harapan keberlanjutan reproduksi politik mereka. Pasalnya, selain modal simbolik turunan yang mereka miliki, khususnya pada Agus Yudhoyono dan Puan Maharani, juga mengusai jaringan kepartaian yang juga menjadi modal paling potensial dalam meloloskan keduanya pada arena persaingan politik pemilu.
Posisi Agus Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat jelas menjadi salah satu modal penting. Jabatan ketua umum partai yang lebih kental ”diturunkan” dari ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono, itu menjadi posisi tawar politik paling bernilai pada dirinya.
Partai Demokrat, yang di era Presiden Yudhoyono mampu menjadi pemenang Pemilu 2009 (20,8 persen), tetapi pada beberapa pemilu terakhir menurun dukungannya, saat ini masih memiliki pendukung loyal. Pada Pemilu 2019 lalu, misalnya, penguasaan politiknya mencapai 7,7 persen suara pemilih, atau sebesar 10,8 juta pemilih.
Hasil survei preferensi publik terbaru juga menunjukkan, masih cukup signifikan dukungan responden terhadap Demokrat. Semua kelebihan ini menjadi modal politik Agus Yudhoyono yang tidak dimiliki oleh calon presiden lain sekalipun berada pada papan atas pilihan publik.
Selain modal politik kepartaian, Agus Yudhoyono pun sudah memiliki latar pengalaman berkontestasi politik dengan kualitas pertarungan setingkat nasional. Pertarungan politik dalam Pilkada DKI 2017 saat ia berpasangan dengan Sylviana Murni menjadi ajang pengalaman politik yang paling emosional.
Ia memang dikalahkan oleh pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi. Namun, peristiwa Pilkada DKI itu menjadi suatu pijakan bagi langkah politiknya dalam memasuki panggung politik nasional.
Pengalaman berkontestasi politik lebih banyak dihadapi Puan Maharani. Awal berkarier politik dan keberhasilan mengumpulkan dukungan ia peroleh dalam ajang pemilu legislatif. Menariknya, sepanjang berkontestasi, hasilnya terbilang spektakuler.
Peningkatan secara konsisten dukungan pemilih ia buktikan. Terkait ini, Puan Maharani pun selalu dinobatkan menjadi sosok peraih suara terbanyak. Pada Pemilu Legislatif 2019 lalu, misalnya, ia menjadi peraih suara terbanyak dengan mengumpulkan 404.034 pemilih dari daerah pemilihan Jawa Tengah V.
Begitu pula dalam Pemilu Legislatif 2014, ia meraih 369.927 dukungan, sekaligus duduk di peringkat ke-2 suara terbanyak nasional. Pada Pemilu 2009, ia mengumpulkan 242.504 suara.
Berbeda dengan Agus Yudhoyono yang berkutat di luar pemerintahan, jalur politik Puan Maharani selain di partai juga merambah dalam pemerintahan. Selain berpengalaman sebagai wakil rakyat, ia juga meningkatkan pengaruh politik dalam panggung politik nasional sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada Kabinet Kerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dalam Pemilu 2019 yang kembali mendudukkan PDI-P sebagai pemenang, Puan Maharani didaulat sebagai Ketua DPR periode 2019-2024. Posisinya saat ini sebagai pemimpin parlemen dari partai pemenang pemilu jelas membawanya selangkah lebih dekat pada kursi kepresidenan.
Keistimewaan yang dimiliki pada kedua turunan presiden ini tidak berarti juga terbebas dari beban. Bagi Agus Yudhoyono, dalam Pemilu 2024 terbilang berat langkah politiknya. Tidak berada dalam pusaran kekuasaan saat ini, dan menjadi tokoh di luar panggung utama politik (pemerintahan), membuatnya seolah ”teralienasi” dalam panggung politik yang saat ini masih terpusat pada kekuasaan negara.
Peluang memperluas dukungan politik dalam posisi semacam itu dengan sendirinya menyempit. Ia bersama partainya yang harus berjibaku dalam memperluas pengaruh politik.
Kondisi yang tidak kalah berat dihadapi Puan Maharani. Sekalipun dukungan politik riil pemilih kepadanya dari setiap ajang pemilu semakin membesar dan berbagai jabatan politik ia dapatkan, tidak serta-merta keberhasilan itu menjadi jaminan penobatan sebagai calon presiden PDI P.
Baca juga : Pertarungan Anak Mantan Presiden di Pemilu 2019
Ia harus berhadapan dengan para kader PDI-P lainnya, yang bahkan tampak lebih kompetitif dalam peta persaingan politik nasional. Keberadaan Ganjar Pranowo, misalnya, dengan preferensi publik yang lebih besar, akan menjadi rival terberat.
Dengan berbagai beban yang mengganjal, pada Pemilu 2024 mendatang, tampaknya jalan politik yang dilalui kedua turunan presiden itu teramat terjal. Sejauh ini, keduanya belum dapat sepenuhnya menjadi rujukan yang mampu menggenapi reproduksi kekuasaan kepresidenan dari para pendahulunya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kalkulasi Faktor Jokowi dalam Pilpres 2024