Jokowi menjadi pertimbangan dalam pilihan politik, termasuk dalam memilih sosok di pemilu. Terlepas apakah sosok yang dipilih adalah memang Jokowi sendiri ataupun merupakan sosok yang merepresentasikannya.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Pemilu Presiden 2024 memang masih tiga tahun lagi. Namun, bagi siapa pun yang bersiap maju dalam pertarungan, bukan waktu yang terbilang lama. Bukan pula terlambat jika sejak inilah kalkulasi politik dimatangkan.
Sisi terpenting dalam mengkalkulasi, dengan mencermati kehadiran faktor “Jokowi” dalam peta persaingan penguasaan suara pemilih. Apa itu faktor Jokowi? Mengapa pula faktor ini menjadi sedemikian signifikan yang perlu dikaji dalam memperbesar peluang penguasaan suara pemilih pada pemilu mendatang?
Faktor Jokowi yang dimaksud sebenarnya merujuk pada suatu entitas politik yang termanifestasikan dalam figur Presiden Joko Widodo. Sedemikian dominan manifestasinya, baik melalui gambaran sosok, karakter, dan kinerja kepemimpinannya, sehingga entitas politik dalam format tokoh ini menjadi variabel pendeterminasi preferensi pilihan para pemilih.
Singkatnya, sosok Jokowi menjadi pertimbangan seseorang dalam menjatuhkan pilihan politik, seperti dalam memilih sosok pada pemilu. Terlepas apakah sosok yang dipilih adalah memang Jokowi sendiri ataupun merupakan sosok yang merepresentasikan Jokowi, keduanya menjadi pertimbangan para pemilih.
Harus diakui, tidak banyak sosok presiden di negeri ini yang berhasil menjadikan dirinya sebagai entitas politik berpengaruh dan sekaligus sebagai variabel determinan dalam pemilu selepas kekuasaannya berakhir. Bahkan, selepas era politik Orde Baru, dapat dipastikan hanya Jokowi yang terbilang mampu mempertahankannya.
Mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan periode dan lama kekuasaan pemerintahan yang sama, pun tidak sekuat faktor Jokowi. Terbukti, partai Demokrat yang terbentuk dan dalam banyak hal dipersonalisasikan sebagai dirinya, tidak mampu menguasai panggung politik selepas kepemimpinan Yudhoyono.
Faktor semacam ini pula yang tidak melekat pada mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, KH Abdurrahman Wahid, ataupun BJ Habibie. Megawati Soekarnoputri yang menjadi sosok sentral dalam PDI Perjuangan, juga tidak mampu mempertahankan kekuasaan kepresidenannya.
Sekalipun selanjutnya PDI Perjuangan berhasil menguasai setiap panggung politik pemilu, namun tidak semata-mata lantaran faktor Megawati menjadi pendeterminasi. Ada faktor Jokowi di sini, yang melanggengkan penguasaan suara PDI P.
Sebagai entitas politik, faktor Jokowi tidak hanya melekat pada PDI Perjuangan. Ia juga terbukti bersifat lintas partai. Terhadap partai-partai politik lain, faktor Jokowi masih dapat dirasakan. Artinya, ia bersifat inklusif.
Dalam berbagai survei opini publik, misalnya, terdapat irisan yang tergolong signifikan pada para pemilih partai politik dengan preferensi mereka terhadap sosok kepemimpinan Jokowi (Grafik 1). Begitu pula dalam pemerintahannya, kinerjanya tergolong diapresiasi secara positif oleh sebagian besar simpatisan dari berbagai partai politik (Grafik 2).
Saat ini, inklusivitas Jokowi tidak hanya tertambat pada partai politik. Pada lapis identitas sosio-demografi masyarakat pun cukup tersebar merata yang sekaligus menunjukkan penerimaan sosoknya pada piramida penduduk negeri ini.
Sebagai gambaran, dalam perimbangan geopolitik dikotomi Jawa dan Luar Jawa, karakteristik pemilih Jokowi tersebar dengan perimbangan yang proposional pada keduanya (Grafik 3). Kendati pun pada beberapa propinsi terdapat kantong-kantong dukungan terhadap Jokowi ataupun justru sebaliknya penolakan yang cukup besar dalam pemilu lalu, namun dalam konteks Jawa-Luar Jawa masih tampak proporsional.
Kondisi demikian juga semakin diperkuat dalam penilaian terhadap kinerja kepemimpinannya. Hasil survei terakhir di bulan April 2021 menunjukkan sebaran apresiasi terhadap kinerja kepemimpinannya yang relatif merata, termasuk di wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi basis penolakan (Grafik 4).
Apabila ditelusuri lebih jauh lagi, terhadap variabel-variabel identitas sosial seperti jenis kelamin, agama, pendidikan, hingga kelas ekonomi responden, semakin tampak penerimaan sosok Jokowi yang merata. Sekalipun dalam beberapa persoalan tampak pula konsentrasi identitas politik yang besar ataupun sebaliknya terlampau kecil, yang sekaligus menunjukkan kecenderungan eksklusivitas dukungan, namun dalam kinerja kepemimpinan semua kendala tersebut terhapuskan.
Semua ini semakin menegaskan jika faktor Jokowi bersifat inklusif dan melampaui sekat-sekat identitas politik maupun non politik yang terbangun di negeri ini.
Dengan kondisi yang terbangun sebesar itu, dapat dikatakan jika faktor Jokowi ini menjadi modal politik yang signifikan. Modal ini pula yang menjadi argumentasi penjelas, mengapa sosoknya masih terbilang berperan dalam ajang perpolitikan saat ini hingga mendatang.
Pembuktian terhadap kekuatan Jokowi dapat dicermati dari berbagai hasil survei sepanjang periode kedua pemerintahannya. Sejatinya, berdasarkan konstitusi, periode kedua kepemimimpinan Jokowi merupakan periode terakhir kekuasaannya. Dengan demikian, berdasarkan legalitas formalnya, ia tidak lagi berkompetisi dalam pemilu presiden 2024 mendatang.
Akan tetapi, merujuk pada berbagai hasil survei, namanya masih menjadi sosok teratas yang menjadi rujukan responden sebagai calon presiden pilihannya jika pemilu digelar saat ini (Grafik 5). Dibandingkan dengan sosok-sosok lain yang juga menjadi referensi publik, posisi keterpilihan Jokowi masih cukup jauh terpaut.
Dengan pola dukungan yang masih terbilang kuat, tidak mengherankan pula jika terdapat sebagian kalangan akhir-akhir ini melontarkan gagasan melanjutkan periode kepemimpinan untuk kali ketiga. Berkaca pada hasil survei, memang tergolong cukup besar pula yang menyetujui jika jabatan presiden lebih dari dua periode. Sedikitnya, 42 persen responden menyambutnya.
Walaupun, bagian terbesar lainnya (54,9 persen) menyatakan ketidaksetujuannya. Khusus terhadap para pemilih Jokowi, jika gagasan tiga periode kepresidenan diusulkan, maka tidak kurang dari 59,2 persen yang menyatakan kesetujuan mereka.
Jika berdasarkan perundangan ia tidak lagi dapat melanjutkan kepemimpinannya, maka tidak berarti pula faktor Jokowi menjadi pudar. Berdasarkan pada uraian di atas, tampak jelas jika capaian positif yang ditunjukkan Jokowi selama pemerintahannya maupun besaran kekuatan para simpatisan pendukung yang dikuasainya, menjadi modal kekuatan yang belum tertandingi.
Kondisi demikian tetap menempatkannya sebagai variabel yang berpengaruh dan berkelanjutan. Hanya persoalannya, kepada siapa kelanjutan faktor Jokowi ini melekat? Dari segenap nama-nama calon presiden yang saat ini muncul, siapa saja yang paling berpeluang mendapatkan limpahan faktor Jokowi tersebut? (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas).