Ganjar Pranowo Warisi Efek ”Jokowi”?
Penguasaan Ganjar yang terkonsentrasi pada wilayah Jawa ataupun kalangan identitas Jawa semacam ini menjadi kekuatan, tetapi sekaligus titik lemah.
Di antara tokoh calon presiden yang menjadi rujukan publik saat ini, sosok Ganjar Pranowo tidak menjadi yang teratas. Posisi keterpilihannya, dari beberapa survei yang dilakukan, masih jauh di bawah Prabowo Subianto, yang memang sejak awal bertengger pada posisi atas, di bawah Presiden Joko Widodo. Penguasaan Ganjar masih kurang separuh bagian dari proporsi responden yang memilih Prabowo.
Jika disejajarkan, pesaing terdekatnya saat ini Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Tiga hasil survei periodik Kompas menunjukkan persaingan di antara mereka tetap terjaga stabil. Terdapat pula kecenderungan peningkatan dukungan pada keduanya, sekalipun tidak terlalu signifikan. Namun, Anies masih relatif unggul, terpaut hanya sekitar 3 persen (Grafik 1).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dengan kondisi seperti ini, menarik dicermati selanjutnya, bagaimanakah peluang Ganjar dalam peta persaingan penguasaan pemilih dalam Pemilu 2024? Apakah terbuka baginya ruang penguasaan baru yang memungkinkannya bersaing dengan tokoh-tokoh papan atas pilihan publik?
Kalkulasi terhadap kelengkapan kapital yang dikuasai Ganjar, sebagai modal penguasaan arena politik persaingan jabatan kepresidenan, saat ini memang belum tampak menonjol. Secara simbolik, misalnya, sosok Ganjar masih belum jelas tergambarkan sebagai pemimpin dalam simbol-simbol rujukan tertentu yang sanggup mengikat secara emosional masyarakat. Sejauh ini, panggung politik yang ia miliki, dalam kapasitas sebagai Gubernur Jawa Tengah misalnya, belum cukup memadai dalam pengakumulasian modal simbolik dirinya.
Dalam pola kepemimpinannya di Jawa Tengah, Ganjar memang tergolong berhasil meningkatkan kualitas wilayahnya. Prestasi Jawa Tengah, dari sisi kualitas kesejahteraan masyarakat, tidak berada pada barisan atas dari 34 provinsi di negeri ini. Namun, dalam kepemimpinan Ganjar, terjadi peningkatan indikator kesejahteraan yang relatif tinggi, di atas rata-rata nasional pada setiap tahunnya.
Jawa Tengah dalam kepemimpinan Ganjar juga dikenal sebagai provinsi paling produktif dalam mendapatkan penghargaan nasional. Penghargaan sebagai provinsi terbaik dalam perencanaan dan pembangunan daerah oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), terbaik dalam menarik investasi dan kemudahan berusaha oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), keberhasilan menata birokrasi, hingga berbagai penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pelaporan harta kekayaan pejabat publik dan pelaporan gratifikasi. Begitu pun dalam urusan pelayanan publik, provinsi ini pun dikenal melimpah dengan kreasi inovasi layanan publik.
Semua sisi keberhasilan tersebut, jika dikaji lebih jauh, menempatkannya sebagai ”enzim” yang mengatalisasi jalannya perubahan. Tidak mengherankan jika ia pun menyatakan dirinya sebagai ”jembatan perubahan”.
Namun, persoalannya, secara simbolik, posisi sebagai katalisator semacam ini dirasakan masih kurang optimal dalam menopang pengakumulasian modal simbolik dirinya. Berbeda misalnya jika ia mampu menyimbolkan dirinya sebagai sosok yang mampu mendeterminasi suatu perubahan melalui segenap kreasi kebijakan dan tindakannya. Masyarakat melihatnya sebagai figur otentik yang menginisiasi, menciptakan perubahan, sekaligus memperlakukannya sebagai patron dalam perubahan.
Posisi sebagai ”jembatan perubahan” yang cenderung menjadi mediator perubahan bisa jadi lantaran kondisi semacam itulah yang paling mungkin dilakukan Ganjar dalam panggung gubernur Jawa Tengah. Sebagai kepala daerah provinsi, kewenangannya terbatas dan bukan penguasa mutlak daerah otonom. Semenjak desentralisasi diterapkan, khususnya munculnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 dan selanjutnya UU Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah semacam bupati dan wali kota memiliki kewenangan riil.
Sementara gubernur menjadi jembatan kewenangan pemerintah pusat ke daerah. Wewenang sebagai gubernur Jawa tengah ataupun provinsi lainnya pun berbeda, misalnya, dengan kekuasaan yang dimiliki jabatan gubernur di DKI Jakarta yang mengikat sekaligus berdampak nasional.
Sisi keterbatasan semacam itu pula yang tecermin dalam kekuatan modal sosial yang dikuasai Ganjar. Sebenarnya, di antara kepala daerah lainnya, Ganjar tergolong yang aktif melebarkan jaringan sosial. Melalui saluran media informasi, baik media massa maupun media sosial yang digelutinya, tidak kurang banyak produksi isu yang ia lakukan. Ia pun dikenal aktif menanggapi berbagai persoalan yang tengah mencuat dan membuka ruang interaksi.
Selain itu, sebagai sosok yang dibentuk dan dibesarkan dalam kultur politik kebangsaan yang cukup kental, Ganjar tergolong beruntung berkiprah dalam wilayah yang menjadi basis kekuatan politik nasionalis. Itulah mengapa ia tampak leluasa dalam menjalin interaksi dengan masyarakat. Kesan menjadikannya sebagai sosok tidak berjarak dengan masyarakat tampak dalam segenap perilakunya.
Akan tetapi, semua jaringan sosial yang terbentuk belum cukup menempatkannya sebagai sosok dengan pengaruh yang bersifat nasional. Hasil survei menunjukkan, preferensi pemilih Ganjar masih terfokus pada wilayah Jawa. Mayoritas pemilih Ganjar bermukim di Jawa dan dari sisi kelompok suku pun dominan Jawa (Grafik 2).
Penguasaan Ganjar yang terkonsentrasi pada wilayah Jawa ataupun kalangan identitas Jawa semacam ini menjadi kekuatan, tetapi sekaligus titik lemah. Penguasaan Jawa dapat berarti penguasaan porsi pemilih yang terbesar di negeri ini, mengingat sekitar 60 persen pemilih berdomisili di seluruh provinsi di Pulau Jawa. Namun, terkonsentrasi hanya di Pulau Jawa dan pada kalangan pemilih Jawa saja menunjukkan eksklusivitas dukungan yang berpotensi menghambat sepak terjang politiknya secara nasional.
Apabila dibandingkan dengan pemilih Jokowi, tampak kontras perbedaannya. Jokowi dalam posisinya sebagai presiden diterima secara inklusif pada setiap lapis kalangan. Distribusi penerimaan pada mereka bermukim di Pulau Jawa ataupun Luar Jawa, misalnya, tampak proporsional dengan kondisi latar belakang penduduk di negara ini. Begitu juga dari distribusi kelompok suku bangsa relatif proporsional.
Hanya saja, dibandingkan dengan berbagai sosok calon presiden lainnya, Anies Baswedan misalnya, terdapat sisi lebih Ganjar yang berkait dengan Jokowi. Hasil survei menunjukkan, kecuali dari sisi domisili dan suku bangsa, pemilih Ganjar lebih banyak kedekatannya dengan para pemilih Jokowi (Grafik 3).
Paling kentara kedekatan dari sisi identitas sosial seperti pendidikan. Baik Jokowi maupun Ganjar lebih banyak dipilih oleh kalangan berpendidikan bawah. Pada kedua tokoh ini, setidaknya dua pertiga pemilih termasuk berpendidikan dasar. Kalangan berpendidikan tinggi, tamatan perguruan tinggi, relatif rendah di bawah 10 persen. Distribusi semacam ini lebih menunjukkan karakteristik pendidikan masyarakat di negeri ini.
Sangat berbeda dengan karakteristik pemilih Anies yang terkonsentrasi pada kalangan berpendidikan menengah ke atas. Pada lapis pendidikan tinggi saja tidak kurang dari 26 persen menjadi pemilihnya. Keterpilahan pendidikan semacam ini secara langsung menunjukkan perbedaan pendukung di antara Ganjar dan Anies.
Di sisi lain, faktor pembeda mencolok lainnya tidak hanya pada identitas sosial, tetapi juga terletak pada bangunan persepsi dari masing-masing pendukung. Hasil survei menunjukkan para pemilih Jokowi dan Ganjar tampak satu suara penilaian terhadap kinerja pemerintahan. Mayoritas dari para pemilih Jokowi ataupun Ganjar merasa puas ata kinerja yang dihasilkan pemerintahan Jokowi.
Baca juga: Kalkulasi Faktor Jokowi dalam Pilpres 2024
Sebaliknya, bagi para pemilih Anies justru sebaliknya. Dua pertiga bagian pemilih Anies menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintah saat ini. Dengan kekontrasan penilaian ini semakin menunjukkan pendukung Ganjar dan Jokowi relatif berkarakter sama dan berbeda dengan pendukung Anies.
Kemiripan lain tampak dalam potensi modal politik yang dimilikinya. Kelekatan dengan kekuatan politik partai, misalnya, baik Jokowi maupun Ganjar berada dalam ceruk yang relatif sama. Kendati demikian, terdapat sisi menarik lain dari Ganjar. Meskipun PDI-P menjadi partai terbesar dari latar belakang politik para pemilih Ganjar, sisi pendukung yang berasal dari partai politik lain pun juga tampak (Grafik 4).
Hasil survei menunjukkan keragaman pendukung Ganjar ditunjukkan dengan keberadaan para pendukungnya yang mengaku menjadi pemilih partai-partai politik yang bukan penyokong pemerintahan Jokowi. Terdapat sebagian pendukungnya merupakan pemilih Gerindra, PKS, hingga Demokrat. Dengan demikian, sosok Ganjar sejauh ini tidak diposisikan eksklusif hanya tertambat pada satu kekuatan politik.
Kondisi ini jelas memberikan keuntungan tersendiri bagi Ganjar. Dapat dikatakan, meskipun preferensi keterpilihannya saat ini tergolong kecil, ruang penguasaan politiknya potensial luas. Ia berpotensi mewarisi faktor Jokowi yang terbukti menjadi daya tarik riil pemilih.
Ia juga berpotensi diterima kalangan di luar kekuatan pendukung Jokowi. Jika ia mampu mengapitalisasikan semuanya secara jitu, dan terbukti pada masa mendatang preferensi publik terdongkrak signifikan, jelas menjadi modal politik terbesar yang perlu dikhawatirkan oleh para pesaing politiknya. (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)
Baca juga: Profil Ganjar Pranowo