Tipologi Konflik Partai Politik
Setidaknya sudah ada 10 kali konflik partai politik berujung pada dualisme kepengurusan. Sebuah pola konflik partai yang berulang dan mestinya menjadi pelajaran bagi pengelolaan partai politik di masa depan
Sepanjang usia kemerdekaan Indonesia, terdapat 10 kali konflik partai politik yang berujung pada dualisme kepengurusan. Persoalan ini memiliki pola yang berulang, sehingga semestinya menjadi pelajaran mencegah konflik dalam internal partai.
Harold Lasswell, pakar komunikasi dan ahli politik dari Amerika Serikat, berpandangan bahwa politik kerap kali berkaitan dengan “siapa mendapatkan apa”. Konsep ini selalu berkelindan dalam perkembangan politik tradisional maupun modern di dunia.
Cukup sulit untuk melepaskan pandangan ini, terutama dalam kehidupan partai politik di Indonesia. Dalam organisasi partai yang menjadi muara dari perwujudan cita-cita politik, setiap perdebatan selalu dipicu oleh kepentingan, sehingga wajar saja jika berujung pada keterbelahan yang jamak disebut sebagai konflik kepentingan.
Apalagi, sebagai negara yang menganut sistem multipartai, Indonesia memang tidak dapat luput dalam berbagai persoalan dalam kepengurusan partai politik. Perbedaan pikiran, konsep, dan tujuan yang dituangkan dalam satu wadah organisasi, kerap kali berujung pada keterbelahan yang mengganggu stabilitas negara.
Kondisi ini sebenarnya sejak lama telah diingatkan oleh Juan Linz (1978), yang menegaskan bahwa sistem presidensial dan multipartai bukanlah perpaduan yang cocok. Sebab, hal ini akan memicu berbagai persoalan stabilitas, bahkan dapat mengancam eksistensi demokrasi di sebuah negara.
Namun, bagi Indonesia, perpaduan sistem presidensial dan multipartai adalah warisan dan amanat para pendiri negara. Sejak Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan maklumat pada 3 November 1945, Indonesia resmi menjadi negara yang menganut sistem multipartai. Hatta saat itu memang sangat menentang gagasan Soekarno untuk membentuk sebuah partai negara atau staatpartij sehingga melahirkan konsep multipartai. Inilah cikal bakal Indonesia memasuki periode demokrasi yang menganut sistem multipartai.
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Riak Jelang Kemerdekaan (Bagian Pertama)
Terpaan konflik
Namun, persis seperti yang disampaikan oleh Harold Lasswell dan Juan Linz, kondisi serupa dialami oleh Indonesia sepanjang sejarah kemerdekaan bangsa ini. Konflik internal partai tidak terelakkan. Meski tidak serta-merta menimbulkan gangguan stabilitas dalam pemerintahan, kondisi ini cukup membuat gaduh alam demokrasi Indonesia.
Jika menengok catatan sejarah partai politik di Indonesia, konflik terkait partai dapat dibagi menjadi dua, yakni konflik strata satu yang tidak berujung pada keterbelahan kepengurusan, konflik strata dua yang berujung pada keterbelahan kepengurusan.
Konflik strata satu cukup jamak ditemui sejak Pemilu 1955 hingga saat ini. Salah satunya adalah saat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengalami guncangan ketika Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan tidak lagi terkait partai politik dalam muktamar yang diadakan di Situbondo, Jawa Timur, pada tahun 1984. Padahal, saat itu suara warga NU adalah kekuatan politik yang sangat penting bagi PPP. Namun, kondisi ini mampu dilalui oleh PPP tanpa adanya keterbelahan kepengurusan.
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Tragedi Berdarah di Ibu Kota (Bagian Kedua)
Pada konflik strata dua, terdapat konflik skala menengah yang berujung pada keterbelahan kepengurusan partai politik. Persoalan ini selalu ditemui pada setiap rezim di Indonesia.
Pada era kepemimpinan Soekarno atau Orde Lama, keterbelahan kepengurusan partai sempat dialami oleh Partai Nasional Indonesia (PNI). Saat itu, partai pemenang Pemilu 1955 ini terbelah antara sayap kanan dan sayap kiri, salah satunya ketika menanggapi Undang-Undang Pokok Agraria. Konflik ini berujung pada terbentuknya PNI kubu Osa Maliki-Usep Ranawidjaja dan Ali Sastroamidjojo-Surachman.
Memasuki era kepemimpinan Soeharto atau Orde Baru, konflik yang berujung pada dualisme kepengurusan juga dialami oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Polemik antara PDI kubu Soerjadi dan Megawati Soekarnoputri berujung pada konflik jalanan dalam perebutan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 (kasus “kudatuli”).
Pada era reformasi, konflik serupa kian banyak ditemui. Total ada enam partai yang mengalami konflik dualisme sepanjang reformasi, dua di antaranya adalah partai yang telah eksis sejak Orde Baru, yakni Golkar dan PPP. Pengalaman panjang dalam mengelola partai selama beberapa dekade ternyata tidak serta-merta menjadi jaminan bagi kedua partai ini untuk terhindar dari konflik internal.
Secara keseluruhan, terdapat 10 konflik dari delapan partai yang bermuara pada dualisme kepengurusan. PKB menjadi satu-satunya partai yang mengalami tiga kali konflik dualisme kepengurusan. Selain PKB, tiga partai lainnya yang lahir pada era reformasi juga mengalami hal serupa, yakni Hanura, Berkarya, dan Demokrat.
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Antara Batu Tulis dan Kuningan (Bagian Ketiga)
Jejak yang terulang
Dari delapan partai yang mengalami konflik, enam di antaranya telah mampu menyelesaikan persoalan dengan beragam cara, yakni PNI, PDI, PKB, PPP, Golkar, dan Hanura. Sementara Partai Berkarya dan Demokrat masih berjuang untuk keluar dari kemelut dualisme partai.
Jika menilik berdasarkan penyebab, pemecatan kader partai adalah persoalan utama yang mendorong terjadinya konflik internal. Dari total delapan konflik dualisme kepengurusan yang dialami oleh enam partai (PNI, PDI, PKB, PPP, Golkar, dan Hanura), tujuh di antaranya bermula dari lahirnya keputusan untuk memberhentikan kader partai, baik ketua umum maupun anggota.
Kondisi ini bahkan dialami secara berulang kali oleh PKB. Dalam tiga kali konflik pada tahun 2001, 2004, dan 2008, seluruhnya diawali dengan keputusan untuk memberhentikan ketua umum partai. Matori Abdul Djalil, Alwi Shihab, dan Muhaimin Iskandar, adalah tiga ketua umum yang terdampak kebijakan pemberhentian hingga berujung pada dualisme kepemimpinan partai.
Sementara jika mengamati berdasarkan upaya penyelesaian, enam dari delapan konflik bermuara pada ranah hukum di tingkat kasasi. Putusan tertinggi di Mahkamah Agung menjadi jalan terakhir yang dinanti oleh kedua kubu kepengurusan demi memperoleh legitimasi dari negara.
Hanya PNI dan PDI yang menyelesaikan konflik dengan cara berbeda. Pada tahun 1966, PNI menyelesaikan persoalan dualisme kepengurusan partai dengan cara melakukan kongres yang dihadiri oleh kedua kubu yang berseteru. Kongres ini tidak terlepas dari adanya campur tangan Soeharto yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat (Kaligis, 2014).
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Benteng Pertahanan yang Terkoyak (Bagian Keempat)
Sementara konflik PDI bermuara pada pembentukan PDI-Perjuangan yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Dalam Pemilu 1999, organisasi politik hasil fusi 1973 ini terbelah dalam wujud PDI dan PDI-Perjuangan.
Durasi konflik juga tidak kalah menarik untuk diamati. Secara rata-rata, konflik berhasil dilalui setelah partai bergelut dalam dualisme kepengurusan selama 21 bulan. Upaya penyelesaian konflik tercepat berhasil ditempuh oleh PKB saat menyelesaikan dualisme kepemimpinan antara PKB kubu Muhaimin Iskandar dan Abdurrahman Wahid. Dalam jangka waktu empat bulan setelah konflik, Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan yang memenangkan PKB kepengurusan Muhaimin.
Konflik terlama dialami oleh PPP, yakni dari 2014 hingga 2017. Selama 39 bulan, PPP kubu Romahurmuziy dan Djan Faridz berseteru akibat pemberhentian Suryadharma Ali sebagai ketua umum. Konflik ini bermuara pada keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan PPP di bawah kepengurusan Romahurmuziy.
Masuknya Demokrat dalam gelanggang dualisme konflik partai sekaligus melengkapi daftar kisah partai pemenang pemilu sebelumnya. Kini, semua partai pemenang pemilu di Indonesia sejak 1955-2019, yakni PNI, Golkar, PDI-Perjuangan, dan Demokrat, telah memiliki pengalaman sejarah terkait dualisme kepengurusan partai.
Akankah dualisme kepengurusan partai menghampiri partai politik lainnya? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Beringin dalam Badai Reformasi (Bagian Kelima)