Jejak Dualisme Partai Politik: Antara Batu Tulis dan Kuningan (Bagian Ketiga)
Sejarah mencatat, sejak kelahirannya tahun 1998, PKB telah tiga kali mengalami konflik internal yang berujung pada dualisme kepemimpinan.
Tidak lama berselang setelah dualisme PDI mereda, konflik internal kepengurusan partai berpindah tangan ke PKB. Sejak kelahirannya tahun 1998, PKB telah tiga kali mengalami konflik internal yang berujung pada dualisme kepemimpinan.
Gegap gempita reformasi turut dirasakan oleh segala lini kehidupan politik di Indonesia, terutama oleh partai politik. Segera setelah mundurnya Soeharto dari jabatan presiden, partai politik baru bermunculan. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah partai yang ikut serta dalam Pemilu 1999, yakni 48 partai. Inilah pemilu dengan jumlah partai terbanyak di Indonesia sejak 1955 hingga saat ini.
Hadirnya partai baru saat itu merupakan wujud euforia dalam reformasi. Pengekangan gerakan politik selama tiga dekade segera diluapkan jelang penyelenggaraan pemilu pertama setelah runtuhnya rezim Orde Baru.
Salah satu partai yang lahir pada awal periode reformasi adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai ini dideklarasikan pada 23 Juli 1998 di Ciganjur, Jakarta, dengan corak kejuangan, kebangsaan, terbuka, dan demokratis.
Menurut catatan harian Kompas pada 24 Juli 1998, deklarasi partai ini dihadiri oleh sejumlah tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan sekitar 1.000 warga NU atau yang disebut nahdliyin. Deklarasi ini juga merupakan yang terbesar dibandingkan sekitar 40 partai lain yang telah berdiri sejak berakhirnya pemerintahan Soeharto.
PKB dan NU merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Memang, dalam Muktamar NU Ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984, disepakati bahwa NU tidak terkait dengan partai politik mana pun. Namun, jumlah nahdliyin yang saat itu mencapai 40 juta orang kerap kali tidak begitu diperhatikan dalam kehidupan politik berbangsa sepanjang Orde Baru (Kompas, 24 Juli 1998).
Inilah yang mendorong Pengurus Besar NU membentuk Tim Lima yang ditugaskan untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim Lima ini diketuai KH Ma’ruf Amin, dengan anggota KH M Dawam Anwar, KH Said Aqil Siroj, Rozy Munir, dan Achmad Bagdja. Tim ini juga dibantu oleh tim asistensi untuk merangkum usulan warga NU dalam mendirikan partai baru.
Pada awal pendiriannya, PKB dipimpin oleh Matori Abdul Djalil sebagai ketua umum. Partai ini juga memiliki Dewan Syuro yang dipimpin oleh KH Ma’ruf Amin.
Berbekal basis massa yang dimiliki, PKB mencoba peruntungan dalam Pemilu 1999. Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid, atau yang kerap disapa Gus Dur, bahkan mengimbau seluruh warga NU untuk mencoblos PKB dalam pemilu.
Hasil yang diraih cukup mengejutkan dalam Pemilu 1999. PKB mampu menyodok ke posisi teratas di bawah PDI-P dan Golkar. Dengan raihan 13,3 juta atau 12,6 persen suara, PKB bahkan mampu unggul dari PPP, partai yang telah ada sejak 1973, dengan selisih 2 juta suara.
Namun, menurut catatan PKB dalam buku PKB & Pemilu 2004 yang diterbitkan oleh Lembaga Pemenangan Pemilu DPP PKB pada 2003, partai ini semestinya mampu memperoleh suara hingga 20 persen. Perhitungan ini berdasarkan raihan suara NU dalam Pemilu 1955 dan 1971 yang masing-masing menguasai 18 persen dan 19 persen suara.
Artinya, jika semua suara warga NU berlabuh ke PKB, seharusnya raihan suara dalam Pemilu 1999 akan lebih besar. Apalagi, saat itu jumlah warga NU diperkirakan mencapai 40 juta orang atau 38 persen dari total pemilih. Namun, hal ini tentu tidak mudah untuk dicapai mengingat status PKB sebagai partai baru. Selain itu, eksistensi PPP yang merupakan fusi dari NU tahun 1973 juga tidak dapat dipandang sebelah mata.
Baca juga : Jejak Dualisme Partai Politik: Riak Jelang Kemerdekaan (Bagian Pertama)
Konflik perdana
Posisi PKB sebagai partai baru pada satu sisi kian diuntungkan dengan terpilihnya Gus Dur sebagai presiden pada Oktober 1999. Namun, partai ini harus berhadapan dengan guncangan yang berujung pada dualisme internal partai sejak tahun 2001.
Konflik ini bermula dari Sidang Istimewa (SI) MPR pada Juli 2001. Awalnya, SI MPR akan dilakukan pada 1 Agustus 2000. Namun, penyelenggaraan sidang dipercepat dengan alasan Presiden telah menyalahi Ketetapan (Tap) Nomor VII/MPR/2000 dengan menetapkan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai Pemangku Sementara Jabatan Kepala Polri dengan pangkat jenderal.
Rapat Paripurna MPR akhirnya dilakukan pada 21 Juli untuk menyelenggarakan SI MPR dengan agenda meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelumnya, Fraksi PKB MPR melarang anggotanya hadir dalam sidang ini. Namun, Matori Abdul Djalil yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua MPR sekaligus Ketua DPP PKB tetap memutuskan untuk hadir.
PKB memang bersifat lebih keras dalam menyikapi SI MPR yang hendak meminta pertanggungjawaban Gus Dur sebagai presiden. Bahkan, Ketua Departemen Pembelaan Hukum PKB Rodjil Ghufron saat itu mengatakan adanya kemungkinan presiden kembar jika MPR memaksakan kehendak meminta pertanggungjawaban Presiden (Kompas, 22 Juli 2001).
Kehadiran Matori Abdul Djalil berbuntut panjang. Sore harinya, Matori diberhentikan sebagai Ketua Umum PKB dan digantikan untuk sementara oleh Alwi Shihab.
Keputusan ini diambil oleh Tim Enam PKB yang mengadakan pertemuan di Istana Merdeka. Tim ini terdiri dari Ketua Dewan Syuro Abdurrahman Wahid, Wakil Ketua Dewan Syuro KH Cholil Bisri, Sekretaris Dewan Syuro Arifin Junaidi, Sekjen PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Fraksi PKB MPR KH Yusuf Muhammad, dan Ali Masykur Musa. Tindakan Matori dianggap sebagai bentuk indisipliner.
Keputusan ini dapat dipahami oleh Matori. Menurut dia, kehadiran dalam Rapat Paripurna MPR bukanlah atas nama fraksi, melainkan sebagai unsur pimpinan MPR (Kompas, 22 Juli 2001).
Walakin, Matori menegaskan bahwa dirinya masih menjabat sebagai Ketua Umum PKB. Menurut Ketua Dewan Syuro PKB KH Abdurrahman Wahid, Matori telah melanggar disiplin organisasi karena menulis surat ke daerah-daerah dengan menyebut dirinya sebagai Ketua Umum DPP PKB. Dampaknya, Matori dipecat dari keanggotaan PKB dalam rapat pleno yang dilakukan oleh DPP PKB pada 4 Agustus 2001.
Pada Oktober 2001, Alwi Shihab mencanangkan untuk memberikan tawaran islah atau damai kepada Matori. Menurut rencana, Matori ditawari posisi mustasyar atau penasihat DPP PKB. Namun, saat itu hal ini masih wacana dan belum dibahas dalam rapat resmi PKB (Kompas, 4 Oktober 2001).
Pada November 2001, Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKB diadakan di Jakarta oleh Matori. Menurut catatan penyelenggara, mukernas tersebut dihadiri oleh 25 dewan perwakilan wilayah PKB. Tampak pula dua ulama berpengaruh NU, KH Maksum Djauhari (Lirboyo, Kediri) dan KH Dimyati Rais (Kendal, Jawa Tengah), hadir dalam pertemuan.
Namun, kehadiran tokoh ini tidak dimaksudkan untuk memihak salah satu kubu. Menurut KH Maksum, kehadirannya justru untuk melihat celah mendamaikan kedua kubu. ”Kalau kita punya anak, jangan kita buang. Kalau ditanya ikut siapa, saya tidak ikut siapa-siapa. Yang dua itu satu, yang satu itu dua,” kata KH Maksum, seperti yang diberitakan Kompas pada 13 November 2001.
Keterbelahan dalam tataran internal PKB semakin terlihat saat diselenggarakan muktamar luar biasa (MLB) oleh kedua kubu pada Januari 2002. Dari kubu Matori, MLB diadakan di Hotel Borobudur, Jakarta, pada 14-16 Januari 2002. MLB ini melahirkan kesepakatan penunjukan Matori sebagai pemimpin PKB hingga tahun 2005.
MLB juga dilakukan oleh PKB kubu Alwi Shihab yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, pada 17-20 Januari 2002. Dalam MLB ini, Alwi Shihab ditunjuk sebagai Ketua Umum PKB.
Dualisme kepemimpinan ini dikenal dengan sebutan PKB Batu Tulis dan Kuningan. PKB Batu Tulis merujuk pada kubu Matori. Pada November 2001, setelah dipecat dari keanggotaan PKB, Matori pernah menyerahkan surat pemberhentian pimpinan Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR masa bakti 1999-2001 pimpinan KH Yusuf Muhammad kepada pimpinan MPR. Surat ini memiliki kop PKB dengan alamat Jalan Batu Tulis Raya Nomor 51, Jakarta.
Sementara PKB Kuningan adalah sebutan bagi partai di bawah kepemimpinan Alwi Shihab. Kata Kuningan merujuk pada lokasi kantor DPP PKB yang dipimpin oleh Alwi.
Baca juga : Jejak Dualisme Partai Politik: Tragedi Berdarah di Ibu Kota (Bagian Kedua)
Upaya penyelesaian
Sebagai langkah penyelesaian, konflik ini akhirnya bermuara pada ranah hukum. Titik terang dalam dualisme ini mulai terlihat dari putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dalam putusan tingkat banding nomor 60/PDT/ 2003/PT.DKI pada 18 Maret 2003.
Majelis hakim yang diketuai oleh Ridwan Nasution menyatakan, pemberhentian Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum PKB oleh DPP PKB adalah sah dengan segala akibat hukumnya. Secara hukum, tindakan Matori untuk menggunakan lambang dan atribut partai lain dinilai tidak sah.
Keputusan ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung pada 17 Juni 2003. PKB Kuningan di bawah kepemimpinan Alwi Shihab menang di tingkat kasasi atas gugatan Matori Abdul Djalil. Artinya, secara legal, partai inilah yang diakui oleh negara.
Seperti PNI dan PDI sebelumnya, seusai terlibat dalam dualisme kepemimpinan, suara PKB juga mengalami penurunan dalam pemilu yang dilakukan seusai konflik. Jika partai ini memperoleh 13,3 juta suara pada Pemilu 1999, raihannya turun menjadi 11,9 juta suara pada Pemilu 2004.
Baca juga : Damai di Kala Beda, Kisah Perdebatan Para Pendiri Bangsa
Konflik kedua
Putusan MA dan Pemilu 2004 ternyata tidak serta-merta mengakhiri dualisme dalam lingkup internal PKB. Kamarudin, pengajar Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, dalam buku Konflik Internal PKB (2008) menuliskan, konflik yang lebih berat justru dialami oleh PKB setelah Pemilu 2004.
Saat itu, DPP PKB memberhentikan dengan hormat Alwi Shihab dari jabatan Ketua Umum DPP PKB dan Saifullah Yusuf dari jabatan Sekretaris Jenderal DPP PKB pada 26 Maret 2004. Hal ini berhubungan dengan keputusan dalam rapat gabungan antara Dewan Syuro dan Tanfidz PKB pada 21 September 2004. Dalam pertemuan itu disepakati, pengurus PKB yang masuk dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus menanggalkan jabatannya dalam lingkup internal partai (Kamarudin, 2008).
Namun, PKB saat itu belum menerima surat pengunduran diri dari Alwi yang dilantik sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Saifullah yang dilantik menjadi Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal oleh SBY.
Sama seperti pemecatan ketua umum pada tahun 2001, konflik ini juga bermuara pada dualisme dalam lingkup internal partai. Jabatan Ketua Umum PKB disandang oleh Muhaimin Iskandar setelah terpilih dalam Muktamar PKB di Semarang pada April 2005.
Pada Oktober 2005, giliran Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf yang menggelar muktamar PKB di Surabaya, Jawa Timur. Dalam muktamar ini, Choirul Anam terpilih sebagai Ketua Umum PKB. Dengan demikian, PKB kembali terbelah menjadi dua kubu.
Dualisme kepengurusan PKB kembali berujung pada ranah hukum. PKB kubu Abdurrahman Wahid-Muhaimin Iskandar menggugat keabsahan Muktamar PKB Surabaya versi Alwi Shihab-Saifullah Yusuf. Gugatan ini kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Putusan ini direspons dengan permohonan kasasi dari Choirul Anam.
Pada 24 Agustus 2006, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Choirul Anam. Untuk kedua kalinya, PKB dari kubu Abdurrahman Wahid menang di MA dalam menghadapi dualisme kepemimpinan partai.
Baca juga : Menanti Gerakan Politik Muhaimin
Konflik ketiga
Jika PKB di bawah komando Gus Dur menang di MA dalam dua konflik sebelumnya, tidak demikian dengan konflik ketiga yang terjadi pada tahun 2008. Polanya serupa, yakni terkait pemberhentian ketua umum. Namun, saat itu Muhaimin Iskandar tidak dipecat seperti pada dua konflik sebelumnya, melainkan diminta untuk mundur dari jabatan ketua umum partai.
Permintaan ini disampaikan oleh PKB melalui rapat pleno yang dihadiri Dewan Syuro dan Dewan Tanfidz pada 26 Maret 2008. Salah satu alasan Muhaimin diminta untuk mundur adalah agar dapat lebih berkonsentrasi menjalankan tugasnya sebagai Wakil Ketua DPR. Menurut Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Syuro PKB, keputusan ini sudah sesuai dengan prosedur dan AD/ART partai (Kompas, 28 Maret 2008).
Keputusan ini segera ditanggapi oleh Muhaimin. Pada 28 Maret 2008, Muhaimin membentuk tim investigasi untuk menelisik latar belakang munculnya keputusan permintaan mundur dari jabatan ketua umum.
Keputusan tegas akhirnya diambil oleh Muhaimin dengan menolak untuk mundur pada 4 April 2008. Keputusan ini dibacakan langsung oleh Muhaimin dalam pidato politiknya di Kantor DPP PKB, Jakarta, setelah melakukan istikharah dan konsultasi dengan para kiai di lingkungan NU dan PKB.
Pidato politik ini berbuah kesepakatan pemberhentian sementara Muhaimin sebagai Ketua Umum PKB. Hal ini disepakati dalam rapat pleno gabungan Dewan Tanfidz dan Dewan Syuro PKB pada 5 April 2008. Tugas ketua umum untuk sementara diemban oleh Wakil Ketua Umum DPP PKB Ali Masykur Musa.
Konflik ini akhirnya kembali berujung pada keterbelahan internal PKB. Kedua kubu segera melakukan muktamar luar biasa (MLB). PKB versi Gus Dur melakukan MLB di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor, Jawa Barat, pada 30 April-1 Mei 2008. Muktamar ini memutuskan Ali Masykur Musa sebagai Ketua Umum PKB periode 2008-2010.
Muktamar dari kubu Gus Dur segera direspons oleh kubu Muhaimin. Satu hari setelah pelaksanaan muktamar, PKB kubu Muhaimin mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan yang diajukan adalah terkait penyelenggaraan muktamar kubu Gus Dur serta pemberhentian Muhaimin sebagai Ketua Umum PKB yang dinilai tidak sesuai dengan AD/ART partai.
Pada 3 Mei 2008, PKB kubu Muhaimin juga menggelar MLB PKB di Hotel Mercure Ancol, Jakarta. Pertemuan ini sepakat mengubah sejumlah isi AD/ART PKB, salah satunya menempatkan dewan syuro bukan pada posisi tertinggi partai.
Berbeda dengan dua konflik sebelumnya, dualisme ketiga yang dihadapi oleh PKB bisa diselesaikan lebih cepat. Pada 12 Juni 2008, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memutuskan pemberhentian sementara Muhaimin Iskandar dari jabatan ketua umum melanggar AD/ART partai. Artinya, PKB kubu Muhaimin memenangi gugatan.
Putusan ini segera direspons oleh PKB kubu Gus Dur dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, majelis hakim menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangkan PKB kubu Muhaimin. Berdasarkan putusan ini, pemerintah akhirnya mengakui PKB yang sah adalah kepengurusan dari Muhaimin Iskandar.
Konflik internal masih membekas jelang Pemilu 2009. PKB terbelah dalam menyikapi dukungan. Di Surabaya, Jawa Timur, misalnya, PKB pendukung Gus Dur mengalihkan dukungannya kepada PDI-P. Di Klaten, Jawa Tengah, simpatisan PKB pendukung Gus Dur memberikan dukungan kepada Gerindra (Kompas, 27 Januari 2009).
Dalam Pemilu 2009, konflik internal partai juga berdampak pada capaian PKB. Suara PKB merosot dari 11,9 juta suara pada Pemilu 2004 menjadi 5,1 juta suara dalam Pemilu 2009. Akibatnya, penguasaan kursi di parlemen juga turun drastis dari 10,6 persen pada tahun 2004 menjadi 4,9 persen pada tahun 2009.
Kondisi ini semakin menegaskan bahwa konflik internal memang berbanding lurus dengan raihan suara partai dalam pemilu. Hal ini telah dialami oleh PNI dalam Pemilu 1971, PDI dalam Pemilu 1997, serta PKB dalam Pemilu 2004 dan 2009.
PKB bukanlah satu-satunya partai yang mengalami konflik pada era Reformasi. Persoalan internal yang berujung pada dualisme kepemimpinan partai juga dialami oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), organisasi politik yang telah lahir sejak tahun 1973. Di tengah segudang pengalaman dalam kepengurusan partai selama empat dekade, mengapa stabilitas dalam PPP terkoyak? (LITBANG KOMPAS)
Baca tulisan selanjutnya : Jejak Dualisme Partai Politik: Benteng Pertahanan yang Terkoyak (Bagian Keempat)