Jejak Dualisme Partai Politik: Riak Jelang Kemerdekaan (Bagian Pertama)
Dualisme kepengurusan partai bukan hal baru bagi Indonesia. Embrionya dapat dilacak sejak zaman pergolakan, hampir satu abad silam.
Perbedaan pemikiran dan kepentingan yang berujung pada dualisme dalam internal partai bukanlah hal baru bagi Indonesia. Embrionya dapat dilacak sejak zaman pergolakan, hampir satu abad silam. Inilah awal kisah dualisme dalam kepengurusan partai di Indonesia.
Polemik dualisme dalam internal kepengurusan Partai Demokrat kembali membuka memori tentang catatan panjang konflik serupa di negeri ini. Keterbelahan yang terjadi ibarat pita kaset yang diputar berulang kali, tetapi dengan zeitgeist atau jiwa zaman atau yang berbeda.
Partai, dalam artian organisasi politik yang bertujuan untuk mencapai cita-cita bersama, telah ada di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan. Kelahirannya dapat dilacak ketika pembentukan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada Juli 1927.
PNI lahir di tengah terjadi kekosongan gerakan politik yang masif guna melawan pemerintahan kolonial. Pendirinya merupakan anggota kelompok terpelajar, Algemeene Studie Club, yang dibentuk oleh Soekarno.
Hal menarik dari PNI adalah tanggal pendiriannya, yakni 4 Juli, bertepatan dengan hari kemerdekaan Amerika Serikat. Konon, sebagian sumber sejarah mengungkapkan bahwa tanggal ini memang dipilih secara sadar oleh Soekarno sebagai simbol perlawanan terhadap para penjajah untuk mencapai tujuan kemerdekaan (Hering, 2003).
Sebagai organisasi yang dibentuk secara sadar memiliki tujuan politik, PNI berganti nama dari Perserikatan Nasional Indonesia menjadi Partai Nasional Indonesia dalam Kongres I PNI di Surabaya, Jawa Timur, pada Mei 1928.
Lahirnya PNI disambut baik oleh sejumlah tokoh saat itu. Bahkan, Mohammad Hatta, dalam pidato pembelaannya di pengadilan Den Haag pada Maret 1928, secara gamblang telah menyebut PNI sebagai sebuah harapan untuk mencapai masa depan yang baru bagi Indonesia.
Baca juga: Kudeta dalam Partai Politik
Goncangan
Dalam anggaran dasarnya, PNI secara tegas menetapkan tujuan partai untuk bekerja demi mencapai kemerdekaan Indonesia. Asas yang dianut adalah percaya pada kemampuan bangsa sendiri. Artinya, partai ini telah memutuskan untuk bergerak dengan cara nonkooperatif terhadap pemerintah kolonial.
Hingga Desember 1929, anggota PNI telah berjumlah sekitar 10.000 orang. Kehadiran sosok Soekarno sebagai pemimpin PNI serta adanya keputusan dalam kongres PNI pada Mei 1929 untuk menjalin hubungan dengan Perhimpunan Indonesia di Belanda turut mempertajam kecurigaan pemerintah kolonial terhadap gerakan dari PNI.
Di tengah pesatnya perkembangan PNI, muncul desas-desus bahwa pihak keamanan saat itu juga telah menerima propaganda dari partai ini. Puncaknya, entah dari mana rimbanya, tersiar kabar bahwa PNI akan melakukan pemberontakan pada 1930.
Rangkaian dugaan inilah yang pada akhirnya dijadikan alasan oleh pemerintah kolonial untuk melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh PNI. Pada 29 Desember 1929, Soekarno bersama sejumlah tokoh PNI lainnya ditangkap di Yogyakarta.
Sejak Agustus hingga September 1930, Soekarno bersama Sekretaris II PNI Gatot Mangkoepradja, Sekretaris II PNI Bandung Markoen Soemadiredja, dan anggota PNI cabang Bandung, Soepriadinata, dibawa ke pengadilan Bandung. Para tokoh PNI akhirnya dijatuhi hukuman penjara oleh pemerintah kolonial.
Kondisi ini berdampak pada guncangnya internal PNI. Kepemimpinan partai untuk sementara diambil alih oleh tokoh lainnya, Sartono dan Anwari. Sebagai respons atas tindakan pemerintah kolonial, anggota PNI diminta menghentikan segala kegiatan politik (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008).
Pada kongres luar biasa pada April 1931, pengurus besar PNI mengambil langkah penting untuk membubarkan partai ini. Vonis terhadap pimpinan PNI saat itu dinilai tidak hanya sebagai hukuman terhadap petinggi organisasi, tetapi juga terhadap organisasi itu sendiri.
Baca juga: Reformasi Partai Politik
Beda pendapat
Keputusan untuk membubarkan PNI tidak serta-merta memadamkan semangat para anggota yang dimiliki sejak awal pendirian partai. Sebagai tindak lanjut perjuangan, pada 29 April 1931, atau empat hari berselang setelah pembubaran PNI, dibentuk Partai Indonesia atau Partindo. Pimpinannya adalah Sartono, tokoh yang sebelumnya mengambil alih kepemimpinan PNI setelah Soekarno ditangkap oleh pihak kolonial.
Sama halnya dengan PNI, tujuan dari Partindo adalah mencapai kemerdekaan dengan kemampuan sendiri dari bangsa Indonesia. Bermodalkan dukungan sebagian anggota dari internal PNI, hingga Februari 1932, anggota Partindo telah berjumlah sekitar 3.000 orang.
Pembubaran PNI dan pembentukan Partindo ternyata tidak disambut positif oleh semua anggota PNI. Sejumlah pihak dalam internal partai sejak awal tidak begitu mengindahkan imbauan Sartono untuk menghentikan kegiatan politik saat sejumlah pimpinan PNI ditangkap. Kelompok ini disebut sebagai ”golongan merdeka”.
Internal PNI yang termasuk kubu golongan merdeka masih rutin menjalin komunikasi dengan Mohammad Hatta, tokoh Perhimpunan Indonesia yang saat itu berada di Belanda. Hatta memang kerap mengkritik PNI karena tidak memiliki kader keanggotan yang kuat.
Menurut Hatta, dibutuhkan pendidikan politik dan kaderisasi demi mencapai tujuan PNI dalam hal kemerdekaan Indonesia. Gagasan ini bersebrangan dengan pemahaman Soekarno yang lebih mementingkan gerakan partai dibandingkan dengan kaderisasi (Kaligis, 2014).
Pada Desember 1931, golongan merdeka memisahkan diri dan membentuk Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI-Baru. Tujuan dari PNI-Baru tidak jauh berbeda dari Partindo, yakni berusaha mencapai kemerdekaan Indonesia dengan kekuatan sendiri.
Hanya saja, cara agitasi yang pernah diterapkan oleh PNI lama dianggap tidak efektif oleh kaum gerakan merdeka. Oleh sebab itu, PNI-Baru melakukan upaya dengan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat sebelum membentuk organisasi yang kuat.
Kondisi ini menggambarkan bahwa perbedaan pemikiran yang berdampak pada terpecahnya organisasi telah terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka. Namun, saat itu bukan konflik kepentingan individu atau kelompok yang mengemuka. Latar belakang pecahnya PNI menjadi Partindo dan PNI-Baru secara tegas dipisahkan oleh corak perjuangan untuk mencapai tujuan yang sama, yakni kemerdekaan Indonesia.
Setelah bebas dari hukuman pada akhir tahun 1931, Soekarno sempat berupaya kembali menyatukan Partindo dengan PNI-Baru. Namun, upaya ini gagal setelah dicoba selama sekitar enam bulan. Pada akhirnya, Soekarno bergabung dengan Partindo.
Baca juga: Damai di Kala Beda, Kisah Perdebatan Para Pendiri Bangsa
Gejolak berulang
Upaya perjuangan terus dilakukan oleh sejumlah organisasi pada dekade 1930-an hingga 1945. Langkah yang dilakukan secara perlahan mulai membuahkan hasil dan bermuara pada proklamasi kemerdekaan.
Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945, ditetapkan pembentukan Partai Nasional Indonesia sebagai staatpartij atau partai negara. Pembentukan ini merupakan gagasan Soekarno yang menilai dibutuhkannya partai nasionalis untuk menggalang kesadaran bersama. Gagasan ini tidak terlepas dari pemikiran Vladimir Lenin bahwa dibutuhkan partai pelopor untuk membentuk kesadaran bersama kaum proletar.
Akan tetapi, gagasan ini ditentang oleh Hatta, persis seperti perbedaan pandangan tentang PNI di pengujung dekade 1920-an. Akibatnya, persiapan pembentukan PNI urung dilakukan. Hatta sebagai Wakil Presiden akhirnya mengumumkan maklumat pada November 1945 tentang pembentukan partai politik.
Maklumat ini menjadi pintu gerbang bagi Indonesia untuk memasuki sistem multipartai. Sejumlah partai, termasuk PNI, akhirnya bertarung dalam mimbar bebas demi meraih suara dalam Pemilu 1955. Hasil pemilu itu menempatkan PNI sebagai pemenang pemilu dengan raihan 8.434.653 suara atau 22,3 persen dari total pemilih saat itu.
Dominasi PNI ternyata gagal terulang dalam pemilu daerah pada 1957. Raihan suara PNI mulai merosot saat basis dukungan terhadap PKI membesar. PKI saat itu dinilai sebagai ancaman oleh sebagian pihak dalam internal PNI karena memiliki massa hingga tingkat daerah. Akibatnya, muncul suara dari tokoh pimpinan PNI di daerah untuk menghentikan kerja sama dengan PKI.
Sejak saat itu, internal PNI mulai terbelah meskipun belum terlalu mencuat ke permukaan. Golongan yang tidak begitu menyukai PKI, atau golongan kanan, secara perlahan mulai menjalin hubungan politik dengan Masyumi dan NU.
Menyadari lemahnya kekuatan dan loyalitas di daerah, pada tahun 1960 PNI mulai melakukan pelatihan untuk kaderisasi di tingkat daerah. Namun, upaya ini dilakukan pada saat internal PNI semakin terbelah. Salah satunya adalah dalam hal menyikapi UU Pokok Agraria.
Tokoh PNI yang saat itu berada di pemerintahan dinilai oleh sebagian internal partai tidak memuaskan dalam menjalankan agenda reforma agraria. Sebagian anggota PNI yang kecewa memilih merapat ke PKI untuk berjuang bersama dalam menuntut penerapan UU Pokok Agraria.
Baca juga: Korupsi Politik
Puncak keterbelahan
Keterbelahan ini semakin meruncing jelang peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau Gestapu. Pada Mei 1965, DPP PNI mengeluarkan keputusan untuk meminta mundur dan melakukan pemecatan sementara kepada sejumlah anggota yang dinilai termasuk golongan sayap kanan.
Wakil Ketua II PNI Osa Maliki, Ketua I PNI Kudus Sutopo, Ketua I PNI Cilacap Sugeng, dan Wakil Ketua DPD PNI Jawa Tengah Umar Said adalah sederet nama yang terdampak pemecatan sementara.
Keputusan ini memicu reaksi dari golongan kanan PNI. Pada 6 Oktober 1965, PNI golongan kanan memutuskan membentuk DPP PNI baru. Osa Maliki, tokoh PNI yang sebelumnya dipecat sementara, menjadi pemimpin dari DPP PNI ini bersama Usep Ranawidjaja yang ditunjuk sebagai sekretaris jenderal.
Kepengurusan ini merupakan tandingan dari DPP PNI sebelumnya yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Dengan demikian, PNI terbelah menjadi dua kubu, yang dikenal dengan sebutan PNI Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja (PNI Osa-Usep) serta PNI Ali Sastroamidjojo dan Surachman (PNI Asu).
Baca juga: Asa Politik 2021
Upaya penyelesaian
Sebagai jalan tengah untuk menyelesaikan dualisme ini, Soeharto, yang saat itu masih menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat, segera berinisiatif meminta penyelenggaraan kongres. Keputusan menjalankan kongres disepakati oleh PNI kubu Ali Sastroamidjojo dan kubu Osa Maliki pada Maret 1966.
Kongres diadakan 24-27 April 1966 dan membuahkan kesepakatan untuk melakukan ”pembersihan” PNI dari anggota yang dinilai terlibat dalam Gestapu atau PKI. Sejumlah aktivis yang pro kepada Ali Sastroamidjojo dan Surachman, atau yang sebelumnya menentang golongan sayap kanan PNI, ditangkap.
Pemberitaan harian Kompas pada 11 Maret 1967 mengungkapkan, Surachman ditembak mati dalam sebuah operasi militer. Konon, operasi itu dilakukan di daerah Blitar Selatan dengan tujuan menumpas sisa golongan orang-orang yang diduga sebagai anggota PKI.
PNI masih mencoba eksis dalam kancah politik elite di Indonesia. Setelah diberi syarat oleh Soeharto untuk menanggalkan identitas ”Bapak Marhaenisme” bagi Soekarno, pergolakan sempat terjadi di internal PNI. Namun, pada Desember 1967, PNI akhirnya sepakat menanggalkan gelar tersebut kepada Soekarno. PNI, penguasa Pemilu 1955, akhirnya tunduk di bawah kuasa Orde Baru.
Secara perlahan, popularitas PNI mulai meredup seiring dominasi Golkar dalam kancah politik pada awal era Orde Baru. Hal ini terlihat dalam Pemilu 1971 saat PNI hanya mampu meraih 6,9 persen suara, jauh lebih rendah dibandingkan dengan raihan suara Golkar (62,8 persen) dan NU (18,7 persen).
Fusi partai pada 1973 menghilangkan identitas PNI sebagai sebuah partai otonom. PNI kemudian melebur bersama partai lainnya menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada era Orde Baru, di tengah pengekangan gerakan politik, PDI justru mengalami riak serupa seperti yang dialami oleh PNI sebelumnya. Bagaimana kisahnya? (LITBANG KOMPAS)
Baca tulisan selanjutnya: Jejak Dualisme Kepengurusan Partai di Indonesia: Tragedi Berdarah di Ibu Kota (2)